Oleh SEJUK
Wajah intoleransi di negeri ini makin sulit tertutupi. Maret ini setidaknya terdapat tiga isu terkait persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang tidak putus-putusnya dipotret media cetak. Secara garis besar, peristiwa-peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama menimpa tiga kelompok minoritas yang berbeda. Pertama, tindakan intoleran terhadap jemaat Ahmadiyah menambah daftar panjang kekerasan yang mereka terima sebagai anak bangsa yang hak-hak dan kebebasannya dalam beragama dan berkeyakinan makin jauh terpenuhi dan terlindungi. Kedua, kekerasan yang justru dilakukan pemerintah, dalam hal ini Wali Kota Bogor yang melarang jemaat GKI (Gereja Kristen Indonesia) untuk menunaikan ibadah di gereja mereka dengan cara menyegel gereja tersebut. Dampaknya, mereka terpaksa melaksanakan ibadah di trotoar. Ketiga, kasus penyerangan Yayasan Pendidikan Islam di Pasuruan, Jawa Timur.
Dari ketiga kasus ini yang paling banyak diberitakan adalah isu terkait dengan jemaat Ahmadiyah. Peliputan yang dilakukan beberapa media cetak seperti The Jakarta Post, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Indopos, Rakyat Merdeka, Tempo, dan Gatra, yang paling sering memberikan tempat terhadap isu-isu keberagamaan dengan kecenderungan mendorong semangat pluralisme adalah The Jakarta Post, Media Indonesia, Koran Tempo, Kompas, dan Tempo. Sementara, koran-koran seperti Indopos dan Rakyat Merdeka tampak abai pada persoalan ini. Di sisi lain, Republika, meskipun kerap memberitakan isu-isu keagamaan, tetapi posisinya lebih menyuarakan pandangan Islam mainstream sehingga bias dan malah jauh keberpihakannya pada korban.
Negara Langgar HAM
Yang memprihatinkan lagi, pada berita-berita seputar diskriminasi dan kekerasan atas nama agama bulan ini justru yang menjadi pelakunya adalah negara, yakni kebijakan pimpinan daerah dan peraturan-peraturan daerah yang restriktif dan diskriminatif. Aturan diskriminatif itu bergulir di beberapa daerah dengan melarang jemaat Ahmadiyah beraktivitas, sebagaimana dikeluarkan Gubernur Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten. Demikianpun Wali Kota Bogor yang melarang jemaat GKI (Gereja Kristen Indonesia) Yasmin untuk menunaikan ibadah di gereja mereka dengan cara menyegel gereja tersebut.
Namun demikian, hanya sedikit media yang meliput dampak yang ditimbulkan dari penerapan aturan tersebut. Sebab, secara umum media cetak masih sekadar memberitakan peristiwa. Sehingga, informasi-informasi yang disuguhkan tidak cukup menggambarkan situasinya secara lebih baik, mendalam, dan terverifikasi bukan saja dari pihak pemerintah dan tokoh atau kelompok-kelompok Islam mainstream, tetapi semestinya memberi tempat kepada pihak-pihak yang menjadi korban. Berita-berita yang diangkat seperti tidak peduli bahwa pihak minoritas yang justru menjadi korban dalam konflik tafsir keagamaan maupun konflik antaragama yang terjadi di masyarakat kemudian dijadikan pelaku. Korban dikorbankan lagi.
Berita-berita yang disajikan pun pada akhirnya hanya menjadi kepanjangan suara pemerintah dan, sebaliknya, tidak memberikan ruang buat rintihan para korban. Hal yang paling kentara bahwa media jauh dari bersimpati maupun berempati pada korban adalah ketika mereka menyuguhkan rangkaian kasus kekerasan yang menimpa jemaat Ahmadiyah. Karena pemberian porsi narasumber yang berlebih kepada pihak-pihak pemaksa atau pelaku kekerasan yang merampas hak-hak dan kebebasan jemaat Ahmadiyah untuk menunaikan aktivitas keagamaannya