Perempuan-perempuan eks Gafatar dan pendamping dalam konferensi pers di LBH Jakarta (8 Juni 2016)
Petani mandiri yang dengan swadaya dan swadana membuka lahan di beberapa tempat di Kalimantan mendapatkan stigma eks Gafatar yang dianggap aliran sesat. Prakondisi pengusiran mereka dimulai dengan diangkatnya isu penculikan dr. Rika yang hingga detik ini tidak terbukti karena dr. Rika memang berangkat ke Kalimantan atas kemauannya sendiri.
Bahkan setelah mendengar pemberitaan penculikan dirinya, ditemani saudaranya pulang ke daerah asal tetapi polisi menahan saudara yang menemaninya ini dengan tuduhan penculikan.
Mengantisipasi kekerasan dan pengusiran yang indikasinya besar, kelompok ini mendatangi polsek setempat untuk melapor, tetapi tidak diterima dan diminta ke Polres. Laporan mereka juga tidak diterima Polres. Terjadi pula intimidasi dalam perundingan dan itikad tidak baik menuruti perundingan tersebut dari pelaku.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak terkait dengan latar belakang di atas dan akan dibagi dalam beberapa tahap sesuai peristiwa.
I. Sebelum Pengusiran
• Peringatan dan ancaman diusir dalam waktu 3 hari. Kesaksian seorang perempuan ia didatangi 20-an orang.
II. Saat Pengusiran/Evakuasi Paksa
• Ibu-ibu dan anak-anak harus bersembunyi ke tengah hutan dalam keadaan gelap dan hujan
• Pembakaran tapi didiamkan polisi
• Dibawa dengan mobil terbuka sehingga korban merasa dipertontonkan
Warga di Desa Pasir Mempawah misalnya, dibawa dengan dump truck terbuka angkutan pasir melalui kericuhan kerumunan massa dengan cuaca hujan gerimis menuju Pontianak. Warga termasuk anak-anak, balita dan orang tua sejak pukul 09.00 WIB pagi tidak makan sampai dengan kedatangan di Pontianak menjelang tengah malam setelah pendataan di pengungsian. Sebelumnya di pemukiman sejak pagi kegiatan di dapur sudah dipaksa dihentikan.
III. Saat di Penampungan Kalimantan
• Mereka ditempatkan di ruangan terbuka tidur dengan alas seadanya, dengan pakaian yang hanya melekat di badan dengan diawasi aparat bersenjata lengkap yang membentak-bentak.
• kondisi penampungan yang buruk: tempat tidur, sanitasi, mck minim
• Disekap yaitu ruang gerak dibatas
• Makanan yang tidak sehat berupa nasi, mie instan dan sarden selama 2 minggu
• Pembatasan pembelian keperluan pribadi
• Tidak disediakan barang pribadi khususnya untuk perempuan & anak seperti pembalut & makanan bayi
• Kekerasan fisik, psikologis oleh aparat yang membentak-bentak, tidak dibuka dialog sama sekali dengan warga pengungsi, semua diawasi ketat. Anak-anak yang bernyayi dengan gitar, gitar dirampas dan dirusak.
• Upaya untuk menemui pejabat untuk berkomunikasi diawasi ketat dan selalu dihalangi. Puncaknya saat kehadiran Menteri Sosial ada aksi demonstrasi mengenai nasib mereka dengan potongan kardus dan potongan spanduk, langsung di rebut dan diamankan oleh aparat secara kasar dan setelah kejadian tersebut para penggerak aksi diintimidasi bahkan hingga setelah dipulangkan ke daerah asal meraka dipanggil dan diperiksa berulang-ulang oleh aparat dan barang-barang disita tanpa dikembalikan.
• pemaksaan pulang ke daerah asal pada saat malam hari berupa pemadaman lampu di tenda pengungsian, kekerasan verbal, pencekikan, penendangan termasuk kepada ibu hamil
• Berpindah-pindah tempat pengungsian sehingga anak 2,5 tahun meninggal
• Kekerasan fisik, psikologis sehingga terdapat ibu hamil yang keguguran
IV. Proses Dipulangkan ke Daerah Asal
• Menggunakan kapal perang yang kelebihan kapasitas: 400 diisi 800
• Tidak diberi makan sejak makan terakhir pukul 18.00 hingga 15.00. saat diberi makan lauknya sama dengan di pengungsian Kalimantan yaitu nasi, mie instan dan sarden
V. Saat Penampungan di Daerah Asal
• Ditempatkan dulu di pengungsian di Jakarta dan sekitarnya
• Ditempatkan di pengungsian di daerah asal
• Di penampungan ada kejadian anak sakit yang oleh petugas menjamin biaya ditanggung pemerintah, tetapi setelah kepulangan dari rumah sakit ternyata saat ini masih dikirim tagihan opname dari rumah sakit.
• Dipulangkan dengan proses yang dipersulit. Harus lebih dulu ke Pemda Kabupaten atau Pemprov setempat, lamanya proses tersebut yang membuat penderitaan pengungsi korban semakin bertambah.
VI. Saat Pemulangan
• Dari kabupaten/ kota setempat dikumpulkan dahulu untuk didata kemudian di pulangkan ke rumah kerabat masing-masing dengan diantar mobil Dinsos, kepolisian dan TNI dengan pengawalan puluhan petugas bersenjata lengkap, serta terlebih dahulu mengadirkan RT, RW, Lurah, bahkan Camat yang membuat kegaduhan dan keresahan masyarakat atas tindakan berlebihan dari aparat tersebut.
• Terjadi pelabelan kepada pengungsi sebagai kriminal yang sangat berbahaya. Akibatnya:
a. memberi dampak psikologis yang sangat besar.
b. ada beberapa warga yang diusir atau tidak diterima pulang kembali.
• Diskriminasi di rumah sakit. Pasien rumah sakit yang sakit berasal dari penampungan ditandai dalam berkasnya “Tahanan Gafatar”
• Tidak mendapatkan layanan administrasi kependudukan. Warga kesulitan memperoleh KTP dan KK baru setelah status kependudukan dicabut sepihak dari Kalbar
• Penggeledahan Kepolisian kepada hampir seluruh orang yang diperiksa sebagai saksi
a. Penggeledahan dilakukan secara berlebihan yaitu satu rumah digeledah hingga 25 petugas bersenjata lengkap yang justru membuat keresahan di lingkungan dan kondisi sangat tidak nyaman bagi keluarga.
b. Pengambilan barang-barang yang berlebihan yang tidak beralasan untuk dibawa. Setelah ada barang yang ditentukan sebagai barang bukti, barang-barang lain tidak dikembalikan.
• Sering dilakukan pengecekan di rumah korban pengusiran oleh Kepolisian ataupun dari TNI. Dalam pengecekan kadang hadir 1 mobil penuh dengan senjata lengkap, yang justru terkesan menteror hingga membuat resah baik korban pemulangan ataupun warga sekitar.
• Pemeriksaan Kepolisian
a. Pemanggilan istri-istri orang-orang di penampungan, yang belum sempat diberangkatkan, oleh kepolisian untuk diperiksa secara mendadak yang membuat panik dan tertekan (pemanggilan rata-rata diserahkan h-1 atau kurang dari 24 jam, surat sampai malam untuk pemanggilan pagi, bahkan ada surat kadaluarsa untuk pemanggilan pagi namun surat baru diserahkan malam)
b. Pemanggilan untuk dimintai keterangan sebagai saksi terhadap sekitar 15 Orang, untuk pemanggilan sendiri dilakukan secara menyalahi prosedur. Pemanggilan tidak memperhatikan tenggang waktu yang wajar dan layak (pasal 227 KUHAP (1)) pemanggilan H-1 tanggal pemeriksaan
c. Pemeriksaan tidak manusiawi, 1 orang diperiksa oleh 4-5 petugas dari pukul 09.00 – 03.00 WIB hari berikutnya. (18 Jam tanpa istirahat), tekanan dan intimidasi dilakukan saat saksi terperiksa dalam kondisi kelelahan fisik dan psikis, sehingga dalam BAP yang ditandatangani sangat mungkin terjadi kesalahan.
VII. Pencerabutan 3 orang korban kriminalisasi kebebasan beragama/berkeyakinan dari anak dan istri.
• Penentuan tiga orang, yaitu Ahmad Musaddeq, Mahful Muis dan Andry Cahya, menjadi tersangka penodaan agama adalah kriminalisasi terhadap keyakinan yang dijamin konstitusi dan undang-undang
• 3 orang yang menjadi tersangka ditahan tanpa alasan karena selama ini mereka selalu melalui pemeriksaan dengan kooperatif.
• Ketiganya memiliki anak-anak yang dua di antaranya memiliki anak balita. Seorang di antara mereka memiliki 7 anak. Tentu penghidupan anak dan istri mereka terancam karena penahanan ini.
Jakarta, 8 Juni 2016
Cp:
Nia Sjarifudin, Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika: 081807576698
Dinda Nuurannisaa Yura, Solidaritas Perempuan: 081380709637
Ratna Batara Munti, LBH Apik: 0818758089
Ilma Sovri Yanti Ilyas, Satgas Perlindungan Anak: 087838703730
Asfinawati, Tim Penasihat Hukum eks Gafatar: 08128218930