Workshop Pers Mahasiswa SEJUK di Medan (4/5/2017)
Kebebasan beragama sangat penting buat kelangsungan agama. Sebab, agama bisa hidup sampai sekarang karena ada prinsip kebebasan beragama dalam sistem demokrasi.
Sebaliknya, dalam negara yang menerapkan ketidakbebasan beragama dan bertujuan menyatukan seluruh umat berdasarkan satu agama saja, seperti khilafah yang hendak menggantikan negara-negara di dunia menjadi sistem kekuasaan tunggal, yang terjadi justru perpecahan, bukan mempersatukan. Karena sistem tersebut akan mempraktikkan otoritarianisme di tangan satu pemimpin dunia.
Gagasan-gagasan kebebasan beragama di atas mengemuka dalam Workshop Meliput Isu Keberagaman di Era Digital untuk pers mahasiswa, Kamis malam (4/5/2017), yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) di Medan.
“Dalam kepemimpinan yang otoriter, seperti kasus perpecahan MMI, Majelis Mujahidin Indonesia, perbedaan tidak bisa berkembang. Sehingga, yang tidak puas dan tidak setuju dengan kepemimpinan tersebut akan memisahkan diri dan membentuk kelompok sempalan,” demikian peneliti dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad sebagai narasumber sekaligus pemandu diskusi menegaskan pandangannya merespon pendapat para peserta yang sebelumnya ia bagi dalam tiga kelompok.
Sementara Daniel Awigra dari Human Rights Working Group (HRWG) yang membawakan tema HAM Kebebasan Beragama mengingatkan kepada 25 jurnalis kampus yang berasal dari berbagai wilayah Indonesia (Medan, Aceh, Bali, Makassar, Riau, Pontianak, Kepulauan Riau, dan beberapa wilayah Jawa) tentang bahaya dari kecenderungan dunia yang sedang terjangkiti virus populisme dengan penggunaan isu-isu sektarian berdasar agama, ras atau etnis. Dengan mengacu kemenangan Trump di Amerika Serikat dan pemilihan gubernur DKI Jakarta yang baru selesai, menurut pria yang juga pendiri SEJUK ini, trend semacam itu mengkhianati gerakan Reformasi yang memperjuangkan demokrasi.
“Maka, dalam memberitakan isu keberagaman, pers mahasiswa menjadikan negara sebagai pihak yang dituntut tanggung jawabnya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM,” tegas Awigra.
Suasana Workshop Persma SEJUK di Medan (4/5/2017)
Berbagai ide, pengalaman dan harapan bermunculan di hari pertama workshop. Bagi perwakilan LPM DETaK (Universitas Syiah Kuala, Aceh) Rio Alfindo, kegiatan ini diharapkan bisa membantunya memdapatkan wawasan keberagaman dan bekal teknis untuk memberitakannya, mengingat isu keberagaman di daerahnya merupakan sebuah tantangan. Sedangkan pengalaman hidup di Bali sebagai muslimah membuat Noviana Windri Rahmawati dari LPM Visi Universitas Pendidikan Ganesha di hadapan para peserta mengajak agar penghargaan terhadap perbedaan agama dan keyakinan benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Warga mayoritas mestinya tidak mengintimidasi kelompok minoritas,” demikian Noviana menaruh mimpinya untuk negeri ini.
Kegiatan SEJUK yang diselenggarakan 4-7 Mei 2017 ini bekerjasama dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara USU (Universitas Sumatera Utara), LPM Kreatif Universitas Negeri Medan, dan EngageMedia yang didukung oleh Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF).