Inisiatif-inisiatif damai dalam perbedaan agama di Indonesia tidak pernah berhenti dihadirkan. Salah satunya adalah Peace Train, sebuah upaya masyarakat sipil melibatkan secara aktif generasi muda menatap optimis bangsa ini.
“Peace Train merupakan program traveling lintas-iman dengan menggunakan kereta api menuju ke satu kota yang telah ditentukan,” papar salah satu inisiator Peace Train Ahmad Nurcholish.
Pengampu program Studi Agama dan Perdamaian di Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) ini menjelaskan bahwa Surabaya akan menjadi kota tujuan, setelah pada program Peace Train pertama Semarang menjadi pilihan. Sebagaimana dilakukan di Semarang 15-17 September lalu, Peace Train kedua di kota pahlawan ini menjadi ruang bagi 25 peserta terpilih dari berbagai agama dan kepercayaan untuk berjalan bersama mengunjungi komunitas agama-agama, komunitas penggerak perdamaian, rumah-rumah ibadah, dan tokoh-tokoh yang dianggap sebagai aktor penting toleransi dan perdamaian antaragama.
“Surabaya merupakan kota multikultur, baik budaya maupun agama. Dari situlah tumbuh komunitas-komunitas perawat kebinekaan dan pegiat perdamaian,” ujar Nurcholish menjelaskan alasan penyelenggara memilih ibukota Jawa Timur.
Ia juga menambahkan, istimewanya Surabaya dikarenakan banyak rumah ibadah yang menunjukkan adanya akulturasi budaya.
“Lihat saja Mesjid Ceng Ho yang kental dengan arsitektur dan ornamen khas Tionghoa! Tentu banyak lagi yang lainnya. Jadi, tunggu saja apa yang akan kami suguhkan kepada para peserta sehingga mereka dengan cara bersenang-senang dan bahagia menggali bersama-sama nilai damai dalam fakta keberagaman masyarakat kita,” tutur penulis yang sudah menelurkan lebih dari 30 judul buku, antara lain Agama Cinta, Pendidikan Perdamaian Gus Dur dan Pendidikan HAM, Demokrasi dan Konstitusi.
Karena itu, salah satu penggerak Peace Train, Destya Nawriz, mengajak para peminat program agar segera mendaftar kegiatan yang rencananya digelar 3-5 November 2017. Untuk pendaftaran masih berjalan sampai 10 Oktober 2017 dengan berkirim ke peacetrain.id@gmail.com.
“Waktu di Semarang para peserta sangat antusias dan menikmati sekali proses saling belajar, bekerja bersama mengelola perbedaan dan kemudian menuliskan pengalaman perjumpaan itu,” Destya mengisahkan respon-respon peserta Peace Train pertama yang diikuti 15 peserta dari Jakarta, 3 Raja Ampat, Papua, 2 Semarang dan Salatiga, bahkan 2 lagi dari Afrika (Malawi dan Lesotho).
Sebagai perempuan aktivis perdamaian Destya berharap dengan Peace Train generasi muda bangsa ini mendapat bekal perspektif pluralisme melalui pengalaman berinteraksi langsung dengan kelompok lain yang berbeda, baik selama di kereta api maupun saat kunjungan. Sebab, menurutnya, program ini adalah proses membangun bina damai dan penanganan intoleransi dari para aktivis dan tokoh yang telah berpengalaman.
“Selain itu, kalangan muda akan diajak berdiskusi tentang kesadaran literasi damai dalam konteks bersosial media dan memanfaatkan dunia digital untuk membangun kampanye damai antaragama,” pungkas alumni Program Studi Apoteker di salah satu universitas di Jakarta ini. []