Wakil Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional MUI Pusat Dr. Syafiq Hasyim menunjukkan kekeliruan-kekeliruan aparat negara dalam menyikapi fatwa MUI, termasuk dalam kasus Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
“Sebagaimana fatwa-fatwa yang dibuat NU, Muhammadiyah, dan lainnya, kedudukan fatwa MUI juga merupakan pendapat biasa. Secara hukum dan konstitusi, fatwa MUI tidak mengikat. Not legally binding!” ungkap Syafiq dalam diskusi yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bertema Gafatar dalam Perspektif Media di LBH Jakarta, Senin (25/1/2016).
“Karena itu,” lanjut salah satu pengurus PBNU ini, “fatwa MUI tidak harus dipatuhi negara dan aparat-aparatnya, terutama polisi yang selama ini paling sering menggunakannya dalam isu-isu keagamaan.”
Terkait Gafatar, Syafiq menegaskan bahwa MUI belum mengeluarkan fatwa sesat, meskipun organisasi ini dihubung-hubungkan dengan Ahmad Mushadeq pemimpin paham al-Qiyadah al-Islamiyah yang telah difatwa sesat oleh MUI.
Di depan para jurnalis Syafiq juga mendorong agar media tidak begitu saja mengidentikkan setiap pernyataan orang ataupun pengurus di MUI sebagai fatwa MUI. Sebab, MUI mempunyai mekanisme yang ketat dalam menerbitkan fatwa.
Dalam kesempatan yang sama pakar komunikasi Universitas Indonesia Ade Armando mengajak agar jurnalis mengedepankan kritisisme dalam memberitakan Gafatar. Sebab, apa yang disampaikan media mempunyai pengaruh besar bagi masyarakat. Akibat pemberitaan media yang tidak kritis, dalam pandangan Ade Armando, kasus Gafatar kini menjadi tragedi kemanusiaan. Pengusiran ribuan warga yang terdiri dari anak-anak dan ibu-ibu dari tempat tinggal mereka.
“Media harus bisa membuktikan kebenaran, bukan hanya berhenti mengutip pernyataan-pernyataan MUI maupun aparat,” tegas Ade.
Melanjutkan prinsip kritisisme dan verifikasi yang harus dipenuhi dalam pemberitaan, selaku moderator sekaligus penanggung jawab diskusi Andy Budiman menggaris bawahi pentingnya jurnalis untuk mengejar pernyataan-pernyataan yang dilontarkan aparat pemerintahan.
“Jurnalis harus mengejar setiap pernyataan aparat, sekalipun mengacu pada fatwa MUI, dengan mempertanyakan dasar-dasar konstitusi atau hukum dan HAM-nya,” ujar Andy.
Maka, sambil menutup diskusi, Direktur SEJUK Ahmad Junaidi terus mengingatkan agar jurnalis dan media dalam memberitakan konflik keagamaan untuk lebih sensitif mengawal kasus dengan menghidupkan jurnalisme keberagaman, mengembangkan prinsip-prinsip jurnalistik yang mendorong perdamaian.
“Untuk memberitakan kasus Gafatar media mestinya lebih banyak lagi memberikan ruang kepada para korban, giving voice to the voiceless,” pungkasnya. (Thowik SEJUK)