Lesbian, gay, biseksual, transgender, interseksual dan queer/questioning (LGBTIQ) sering tidak diterima dunia layaknya yatim piatu sebagaimana halnya Roh Kudus yang diperlakukan demikian. Namun Yesus berjanji untuk tidak membiarkan muridnya seperti yatim piatu.
Demikian kesimpulan diskusi di Gereja Komunitas Anugerah (GKA). Kegiatan ini merupakan ruang bersama yang rutin digelar GKA Reformed Baptist Salemba: Diskusi Jumatan yang diadakan setiap Jumat malam khusus mendiskusikan gender dan teologi queer.
Ada yang menarik dari Diskusi Jumatan GKA yang kali ini diselenggarakan di bilangan Jakarta Selatan, Jumat (5/7/2019), pukul 20.00–22.00 WIB. Jika mayoritas komunitas keagamaan bersikap anti atau menolak segala hal yang terkait LGBTIQ, namun diskusi Jumatan GKA ini mendiskusikan ulang penolakan terhadap LGBTIQ dan sikap gereja terhadap LGBTIQ. Tema khusus yang dibahas dalam diskusi kali ini yaitu Roh Kudus dan Queer Theology. Kegiatan diawali dengan berdoa bersama dan pembacaan ayat secara berurutan.
Pemrasaran diskusi Rinto Pangaribuan (35) menyuguhkan daftar pertanyaan untuk didiskusikan oleh peserta yang terdiri dari berbagai latar belakang pekerjaan seperti dosen, pekerja di organisasi LGBTIQ, pendeta, dan mahasiswa.
“Queer theology adalah teologi yang membuka wawasan bahwa banyak spektrum dalam berteologi,” ungkap Rinto memberi alasan atas pentingnya pertanyaan-pertanyaan muncul di ruang diskusi yang diikuti sekitar lima belas jemaat.
Kristen Menerima LGBT?
Diskusi berlanjut dengan pendalaman Alkitab dari Yohanes 14: 15-31 yang ditafsirkan dari sudut pandang teologi queer. Dari hasil observasi dan interpretasi, terdapat beberapa poin penting yang disimpulkan: seseorang bisa melakukan perintah Tuhan karena kita mengasihi Tuhan, maka kita juga mengasihi perintah-Nya. Perintah Tuhan tersebut mengacu pada penggenapan hukum Taurat yaitu supaya saling mengasihi. Ketaatan akan perintah dan mengasihi Allah itu berjalan beriringan.
Kemudian diskusi memasuki pembahasan ihwal Yesus yang meminta kepada Bapa seorang Penolong yaitu Roh Kebenaran yang bertugas untuk menyertai, mengajarkan dan mengingatkan manusia meski dunia tidak dapat menerima. Dari hasil interpretasi tersebut, Yesus meminta Penolong kepada Bapa karena para murid tidak dapat bekerja sendiri dan butuh pertolongan.
Pembahasan berikutnya mengenai yatim piatu, ada ayat yang berkata Yesus akan datang kembali. Nasihat Yesus kepada para murid saat tidak ada bersama Yesus agar tidak gentar dan gelisah; agar para murid mengasihi Yesus; dan percaya pada-Nya. Yesus juga menilai bahwa penguasa dunia tidak berkuasa sedikitpun pada Yesus. Maka Yesus memastikan muridnya tidak dibiarkan menjadi yatim piatu.
Penolakan Gereja
Memasuki perbincangan mengenai LGBTIQ+ sebagai manusia modern yang religius, masing-masing peserta diskusi memiliki pengalaman yang berbeda dalam kepercayaan kepada Roh Kudus. Ada yang memahami Roh Kudus sebagai kebudayaan dan menanggap Tuhan sebagai sesuatu yang bisa dilihat dan dialami. Ada juga orang yang tidak percaya Tuhan tapi dalam pengalaman hidupnya dia merasakan ada pengalaman subjektif yang menyebabkan ia menjadi percaya.
Beberapa jemaat membagikan pengalamannya terkait hal ini. Salah seorang peserta transgender laki-laki menceritakan pengalamannya ditolak oleh keluarga dan jemaat di tempat ia tinggal karena ekspresinya. Cara ia menghadapi penolakan adalah dengan memberikan edukasi dimulai dari hal yang sederhana seperti ekspresi laki-laki yang tidak harus selalu maskulin, begitupun sebaliknya dengan perempuan. Salah seorang perserta gay menceritakan bahwa ia tidak terbuka mengenai statusnya sebagai gay untuk menghindari konflik di keluarganya.
Dalam kaitannya dengan dukungan terhadap LGBTIQ+, pendeta GKA Suarbudaya Rahadian (40) menyatakan dirinya sebagai bagian dari gerakan LGBTIQ+ karena tanda plus (+) dalam singkatan LGBTIQ+ bisa termasuk allies di dalamnya.
“Ada gereja yang menyatakan bahwa ia menerima LGBTIQ+ tapi tidak mau disebut sebagai bagian dari gerakan LGBTIQ+. Hal itu seolah-olah membuat batasan gereja sebagai posisi yang superior (yang kuat dan melindungi) dan LGBTIQ+ sebagai posisi yang inferior (yang dilindungi dan dianggap lemah) padahal seharusnya setara,” papar Suarbudaya yang secara terbuka menjadikan gerejanya sebagai yang pertama menerima jemaat dengan orientasi seksual yang berbeda-beda di Indonesia.
Mengacu pada seluruh tantangan di atas Rinto mengingatkan peserta diskusi yang adalah LGBTIQ+ untuk bersikap hati-hati dengan selalu melihat realitas dan konteksnya secara lebih utuh. Cara yang demikian, menurutnya, harus ditempuh agar semakin banyak gereja dan jemaat yang terbuka dan menerima LGBTIQ+.
“Kita sebagai LGBTIQ+ juga harus tetap mampu menempatkan diri dan memetakan lawan dan kawan, karena edukasi sulit dilakukan jika kita tidak mengetahui konteks penerimaan orang lain dan membuat strategi,” tegasnya.[]
Penulis: Audy dan Okta Prima Putra