
Islam dan Yahudi mempunyai banyak kesamaan. Tetapi, dari masa ke masa ketegangan di antara keduanya terus memanjang.
“Hey, hey, hey… maaf, anda salah masuk. Ini tempat perempuan. Anda harus keluar. Tempat laki-laki di sebelah sana,” tegur seorang perempuan dengan seragam keamanan Israel kepada saya, sambil mengarahkan telunjuknya ke lokasi umat Yahudi laki-laki berdoa.
Saya sontak tersadar, Tembok Ratapan Yahudi itu tempat berdoa, antara laki-laki dan perempuan dipisah.
Para pemeluk taat kedua agama hanya mengonsumsi makanan halal atau kosher, yang jenis-jenisnya sudah ditentukan dan harus diolah dengan menyebut nama Tuhan. Perempuan dan laki-laki dipisah dalam doa atau ibadah berjamaah di tempat suci seperti masjid, mushalla demikian pula sinagog. Tak terkecuali di Tembok Ratapan, Kota Tua, Yerusalem, laki-laki di sebelah kiri dan perempuan bagian kanan. Dalam menjalankan ibadah, perempuan dari kedua agama ini harus menutup kepalanya (terutama bagi perempuan Yahudi yang sudah menikah yang sembahyang di sinagog).
Sebagai tempat yang dianggap suci, di Tembok Ratapan orang-orang Yahudi dari berbagai negara dan bangsa menempelkan bagian-bagian tubuhnya menyesali dosa-dosa yang telah lewat dan memanjat doa-doa terbaik. Banyak di antara mereka kemudian menuliskan doa di kertas dan menyelipkannya di sela-sela tembok.
Tetapi, tahukah anda kiblat ibadah orang Yahudi menghadap ke Temple Mount (al-Haram al-Sharif), tepatnya ke Dome of the Rock?
Adalah sebuah bangunan suci berbentuk oktagonal atau persegi delapan dengan arsitektur khas Bizantium yang dibangun Khalifah Abdul Malik bin Marwan, Dinasti Umayyah, di akhir abad ke-7. Dome of the Rock berkubah emas ini satu kompleks dengan Masjid al-Aqsa. Bangunan ini sempat pula dijadikan gereja ketika Yerusalem di bawah kekuasaan Kristen, pada masa Perang Salib.
Di dalam Dome of the Rock terdapat Batu Asali yang sangat besar. Umat Islam meyakini batu ini sebagai pijakan Nabi Muhammad naik ke langit dalam perjalanan Isra Mi’raj.

Di atas Batu Asali ini Ibrahim mengorbankan Ismail (dalam tradisi Islam) atau Ishak (Isaac dalam tradisi Yahudi dan Kristen). Dan dari Batu Asali ini pula, menurut keyakinan Yahudi, bumi tercipta dan dari tanah dan debu batu inilah Adam diciptakan Tuhan.
Karena sangat disucikan, hanya rabbi-rabbi tertinggi yang diperbolehkan menginjakkan kakinya di Temple Mount. Orang-orang Yahudi banyak yang mengimani Temple Mount yang terdiri Dome of the Rock dan Masjid al-Aqsa berdiri di atas reruntuhan Kuil Sulaiman yang sangat disucikan.
Akan tetapi, Temple Mount kini hanya boleh dimasuki non-Muslim pada Senin-Kamis dari pukul 08.30 -11.00 pagi. Mereka pun dilarang berdoa atau beribadah di Dome of the Rock dan Masjid al-Aqsa. Kedua tempat ini hanya digunakan tempat ibadah sehari-hari umat Islam.
Inilah yang sampai sekarang menjadi salah satu alasan pemeluk Yahudi ultra-ortodoks ingin kembali “menguasai” tempat suci mereka. Temple Mount tidak lain identitas keagamaan orang Yahudi juga.

Adakah Masa Depan Perdamaian?
Ketika penganut Yahudi, di Israel maupun yang tersebar di penjuru dunia lainnya, dan Muslim, baik di Palestina maupun negara-negara Islam lainnya, mendasarkan keyakinan agama sebagai politik identitas, maka perdamaian menjadi musykil. Apabila penguasaan atas
Temple Mount atau al-Haram al-Sharif adalah tujuan utama yang terus diwariskan umat Yahudi dan Islam, niscaya kekerasan demi kekerasan tak berkesudahan.
Padahal, dalam menghadapi perbedaan, selalu ada ruang dialog dan perjumpaan yang didasarkan dari spirit agama. Sebagaimana warga Palestina terdiri dari Islam yang konservatif, moderat, liberal bahkan sekuler, beberapa beragama Kristen, di Israel juga warganya sangat plural, ada Yahudi ultra-ortodoks, ortodoks moderat, liberal, sekuler, tidak sedikit yang Kristen, Katolik, Muslim, Islam Ahmadiyah, Baha’i bahkan tak jarang pula yang ateis. Banyak sekali umat Yahudi dan Islam yang merindukan perdamaian.
“Bagaimanapun, manusia membutuhkan identitas,” ujar Rabbi David Rosen dalam sebuah diskusi bersama beberapa influencer Indonesia pada Jumat pagi (13/9/2019) sebelum saya berziarah ke Kota Tua Yerusalem, tempat bangunan atau situs-situs bersejarah yang disucikan tiga agama Abrahamik: Yahudi, Kristen dan Islam.

Namun begitu, sambung pemuka Yahudi Ortodoks yang liberal ini, agama sebagai identitas primordial harus menjadi sumber-sumber moral dalam menciptakan perdamaian. David Rosen juga memandang terlalu banyak hal-hal baik dari ajaran dan sejarah, dalam Yahudi maupun Islam, yang penting untuk terus digali dan didorong demi membangun pemahaman yang lebih baik dari agama.
“Selalu ada harapan bagi hubungan damai dua negara, Israel-Palestina, jika menjadikan agama bagian dari solusi. Tetapi politik identitas justru mengeras di antara kedua belah pihak, apabila menyeret agama sebagai bagian dari problem,” ujar rabbi yang merupakan direktur urusan antar-agama di sebuah lembaga internasional.
Mungkinkah Kerja Sama?
David Rosen tidak berminat sama sekali menjadikan agama sebagai gerakan politik. Kendati begitu, ia menyadari realitas di kedua belah pihak selalu saja muncul upaya untuk terus memperuncing konflik dan memprovokasi kekerasan. Begitupun dalam Yahudi ada beberapa penganut ultra-ortodoks yang menjadikan politik identitas sebagai gerakannya. Baginya, orang-orang Israel maupun Palestina yang bereaksi atas perbedaan agama dengan cara kekerasan itu sama-sama menyedihkan.

Maka, ia pun tak berhenti mengajak banyak pihak mendesakkan niat baik dalam menghidupkan prinsip-prinsip universal dari agama yang anti-kekerasan dengan mengadopsi nilai-nilai baru atau modern yang universal dan mengutamakan kemanusiaan.
Saya sendiri, sebagai orang Indonesia yang dibesarkan oleh keluarga santri, bersyukur banyak berjumpa dengan warga Israel yang religius maupun tidak, Yahudi ataupun Muslim, juga orang-orang Arab (Islam) di Israel dan Palestina, yang mengutuk konflik dua negara bertetangga ini. Mereka tak berhenti bermimpi segera tercipta damai demi anak-cucu mereka.
Bahkan beberapa yang saya temui tengah mengamalkan kerja sama di antara mereka, warga Palestina dengan Israel, baik dalam urusan pembangunan rumah, wisata, maupun bisnis profesional lainnya. Ada perempuan Arab inspiratif, Dr. Dalia Fadila, yang mengembangkan lembaga pendidikan Q School di Israel dengan murid-murid dari berbagai latar sosial, ekonomi dan agama. Sementara, ketika ke Palestina, saya juga melihat orang-orang Arab dan Israel bersama-sama menjalankan dan meluaskan perusahaan internasional berbasis online, Freightos, yang berpusat di Ramallah.
“Keberagaman adalah ciptaan Tuhan. Karena itu agama harus merefleksikan semangat keberagaman itu sendiri yang tercermin dalam kebenaran universal, (mengeksplorasi) keramahtamahan, hospitality, terhadap perbedaan,” papar Rabbi Rosen dengan penuh harap terhadap masa depan yang lebih damai. []