![](https://sejuk.org/wp-content/uploads/2019/11/IMG_0962-1024x683.jpg)
Cania Citta Irlanie (Dok. SEJUK)
Ketika teknologi semakin canggih dan lebih terbuka dalam mengekspresikan tubuh sementara regulasinya masih mewarisi sopan-santun jaman kegelapan, maka yang terjadi adalah kriminalisasi dan pembatasan-pembatasan yang merugikan perempuan. Bahkan, dari celah atau ketimpangan tersebut, yang kemudian muncul justru pelecehan seksual dan perendahan terhadap perempuan maupun kelompok identitas lainnya yang dianggap bertentangan dengan agama ataupun tradisi. Demikianpun yang terjadi di ranah digital, terutama media sosial.
Maka, Cania Citta Irlanie menegaskan bahwa pelecehan dan kekerasan seksual disebabkan oleh paradigma orang-orang yang tidak rasional dan saintifik, lebih karena sisa-sisa dorongan primitif dari proses evolusi seksualitas manusia jutaan tahun lamanya.
“Ketika mereka melakukan pelecehan di media sosial dasarnya lebih ke agama, dengan tujuan merusak image perempuan itu,” papar perempuan yang merupakan Head of Content Geolive dalam seminar bertema Pelecehan Seksual di Media Sosial Senin sore (11/11/2019) di kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang, Jakarta.
Hal ini ia sampaikan sambil menunjukkan pengalamannya di Instagram maupun Geolive. Awalnya hampir semua yang muncul di kolom komentar nadanya melecehkan karena isi postingan atau penampilannya.
Sex Eduction
Ia melihat kini berubah. Banyak pengikutnya yang justru menentang dan melawan komentar-komentar yang melecehkan.
“Jadi cara yang aku lakukan selama ini dengan memperbanyak konten-konten yang mengaddress isu-isu seksualitas dengan paradigma rasional dan saintifik,” kisah Cania.
Sehingga, sambungnya, yang penting dilakukan adalah memberikan pendidikan seksual, sex education, pada anak-anak bahkan sejak sebelum masa sekolah.
Hal tersebut ditempuh agar pelan-pelan mengubah dorongan primitif dalam proses evolusi manusia untuk lebih menghargai ekspresi, orientasi maupun identitas seksual setiap orang.
“Sejak kecil anak-anak harus diajarkan biologi untuk mengenalkan fakta-fakta yang ada dalam tubuhnya, tentang gender, dengan menghapus takhayul-takhayul tentang seksualitas; menyampaikan pentingnya menghormati, tidak mencampuri, privasi atau hak-hak individu orang lain,” tegasnya.
Ia memandang bahwa pelecehan dan kekerasan seksual terjadi karena laki-laki memercayai warisan takhayul-takhayul seputar superioritas atau dominasinya atas perempuan yang mengakar kuat dalam keyakinan agama dan tradisi.
![](https://sejuk.org/wp-content/uploads/2019/11/Lidya-1024x696.jpg)
Melawan pelecehan seksual di internet
Dalam diskusi yang merupakan rangkaian “International Seminar & Workshop on Video Journalism: Dealing Digital Rights and Freedom of Expression” kerjasama antara Program Studi Ilmu Komunikasi UKI, The Media Project dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) narasumber tuan rumah, Formas Juitan Lase, juga menunjukkan meningkatnya pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di online, sebagaimana dilaporkan oleh Komnas Perempuan.
Tahun 2018 terdapat 97 kasus pelecehan terhadap perempuan di internet yang dilaporkan ke Komnas Perempuan. Pelaku pelecehan di media sosial yang terbanyak adalah orang terdekat yang di ranah offline kemudian menjelma kekerasan terhadap perempuan.
“Pasti, banyak sekali perempuan yang mengalami pelecehan di media sosial jika mereka melapor ke Komnas Perempuan,” ujar Formas.
Sementara, Maulidya, penyintas atas pelecehan seksual yang dialaminya di media sosial memaparkan di hadapan para peserta pilihan-pilihan untuk melawan secara langsung dengan lebih berani bersuara atau melaporkannya jika sudah mengarah pada keselamatan diri, menuliskannya, menyebarkan upaya-upaya “jahat” pelaku di media sosial dan penting mencari dukungan yang bisa memahami (support group).
Perempuan yang pernah didoxing hingga berdampak pada pengurungan dirinya oleh keluarga, diruqyah, dikucilkan dan berkali-kali mencoba bunuh diri ini pada akhirnya merasa lebih nyaman “lari” dari rumah. Untuk itulah ia memilih melawan jika mendapat pelecehan di media sosial. Sebab, jika dibiarkan akan banyak perempuan yang menjadi korban.
Perempuan yang kini bekerja di SEJUK ini kemudian membuat platform @akujuga.id. Palform ini menjadi ruang aman para korban pelecehan seksual di internet maupun offline tanpa merasa takut penilaian dari pengguna medsos lainnya.
“@akujuga.id bersifat anonym sehingga platform ini aman bagi korban yang ingin mencari tempat bercerita,” jelas Lidya. []