Menempuh pendekatan yang bertanggung jawab secara sosial, yang tidak sekadar melaporkan tentang konflik dan kehancuran, tetapi juga pencapaian dan kolaborasi adalah semangat yang diusung jurnalisme konstruktif.
Penekanan terhadap model pemberitaan yang tidak terjatuh pada bias-bias negatif ini disampaikan oleh Pemimpin Redaksi Magdalene.co Devi Asmarani dalam training dan story grant bertema “Mengubah Narasi Gender di Media melalui Jurnalisme Konstruktif,” yang digelar di Bogor 6-7 Agustus 2022.
Di hadapan 25 jurnalis yang berasal dari wilayah Jabodetabek dan Jawa Barat, Devi menjelaskan bahwa jurnalisme konstruktif yang ia tawarkan menjadi salah satu perangkat jurnalistik dari beberapa yang sebelumnya sudah ada, seperti jurnalisme investigatif, jurnalisme solusi, jurnalisme damai, atau lainnya.
Ihwal Jurnalisme Konstruktif
“Ini genre jurnalisme yang menjadi bagian dari solusi, berorientasi pada solusi, bukan hanya mengetengahkan masalah, sehingga relevan sekali mengangkat isu-isu keberagaman,” sambung pendiri Magdalene yang mengaku tahun ini mulai menerapkan jurnalisme konstruktif dalam pemberitaan-pemberitaan di Magdalene.co maupun konten-konten di akun Instagram @magdaleneid.

Penggalian nuansa juga mencirikan jurnalisme konstruktif, yaitu pemberitaan yang berusaha memperoleh konteks. Model jurnalisme ini, lanjut Devi, tidak menyamarkan sudut pandang yang kritis dan ditandai pula dengan mendorong percakapan bersama pembacanya. Karya jurnalstik yang hadir dari keterlibatan audiens.
Fitri Nuraeni jurnalis Radar Garut merasa sangat beruntung dapat terlibat dalam proses training yang diselenggarakan Magdalene bekerja sama dengan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang didukung Australian Government dan Investing in Women.
“Ini sangat bermanfaat untuk meliput kasus-kasus kekerasan seksual dan pelecehan terhadap perempuan yang kian marak di Garut. Lebih dari 100 jurnalis yang ada di Garut, hanya 5 jurnalis yang perempuan,” ungkap Fitri yang berharap kerja-kerja jurnalistik mampu mengungkap kasus kekerasan seksual di wilayah liputannya secara lebih sensiitif dan berperspektif korban.

Penjelasan gagasan-gagasan baru seputar jurnalisme konstruktif dapat ditangkap dengan baik oleh Iriene Natalia, jurnalis Kantor Berita Radio (KBR). Meskipun merasa beroleh pencerahan, perempuan yang akrab disapa Aika ini menyayangkan waktu yang sangat membatasi, sehingga sesi praktik jurnalisme konstruktif yang diagendakan tidak sempat dilakukan.
Karena itu, ia dan banyak peserta lainnya merasa masih perlu mendalami lagi genre jurnalisme yang baru dikembangkan di Indonesia ini oleh Magdalene.
Merespon hal tersebut, Devi Asmarani mengakui bahwa training jurnalisme konstruktif secara offline di Indonesia baru pertama kali diadakan dan waktunya memang kurang. Selain praktik, contoh-contoh pemberitaan yang berbahasa Indonesia, termasuk dalam bentuk audio visual masih belum banyak dipaparkan dalam pelaksanaan dua hari training.
“Bagi kawan-kawan yang ingin mengeksplor jurnalisme konstruktif lebih dalam lagi, kami menawarkan untuk mengagendakan pertemuan online setelah kegiatan ini,” ajak Devi yang langsung direspon oleh para peserta.
Selain Devi yang memaparkan pentingnya jurnalisme konstruktif mengubah narasi gender yang bias menjadi lebih memberdayakan perempuan maupun komunitas gender dan seksualitas yang marginal, media dan isu-isu keberagaman, yang di dalamnya meliputi perempuan, HAM, sampai prinsip-prinsip Sexual Orientation, Gender Identity and Expression, and Sex Characteristic (SOGIESC) turut dibawakan oleh Ahmad “Alex” Junaidi (Direktur SEJUK), Daniel Awigra (Human Rights Working Group), dan Sri Agustine (Ardhanary Institute).
Story Grant Berperspektif Gender

Di ujung training, Magdalene dan SEJUK menggelar coaching rencana peliputan berperspektif gender bagi para peserta untuk menerapkan jurnalisme konstruktif. Setelah proses coaching yang dikawal tim Magdalene (Devi Asmarani, Purnama Ayu Rizki, Siti Parhani, dan Paul Emas) dan SEJUK (Ahmad “Alex” Junaidi, Yuni Pulungan, Daniel Awigra, dan Tantowi Anwari) terpilih 6 proposal liputan yang meraih story grant masing-masing Rp7.000.000.
Di bawah ini adalah para peraih story grant berperspektif gender:
- Aditya Widya Putri, tirto.id (Kekerasan Seksual pada Pekerja Seks Perempuan dan Transpuan)
- Bambang Arifianto, Pikiran Rakyat: Janda Berdaya Menepis Stigma
- Diyanah Nisa Halimatussa’diah, kutub.id: Queer dan Kepercayaan: Hidup Seorang Queer di Sekolah Islam
- Hasanudin, Harian Umum Rakyat Cirebon: Media Sosial Sebagai Ruang Baru Kekerasan Berbasis Gender Online
- Karina Eka Dewi Salim, prohealth.id (Dilema Penyandang Autoimun: Dicap Pura-pura Sakit Hingga Pengobatan Terancam Berhenti)
- Zainur Mahsir Ramadhan, Republika: Menantang Pekik Penolak Perempuan di Ruang Kerja
Selamat buat 6 jurnalis yang terseleksi para coach untuk melanjutkan proposalnya dalam program story grant. Bagi yang proposalnya belum berhasil, kami berharap akan tetap diteruskan menjadi karya-karya jurnalistik yang penting dipublikasikan secara luas.
Untuk para peraih story grant, sila menghubungi Manager Program SEJUK Yuni Pulungan untuk konfirmasi maupun beroleh informasi selanjutnya.[]
#SEJUK #Magdalene #StoryGrantSEJUK #JurnalismeKonstruktif #ConstructiveJournalism #JurnalismeKeberagaman #StoryGrantKeberagaman