Menjadi jurnalis kampus tidak cukup mengambil posisi netral dalam mengangkat isu-isu minoritas. Media harus memihak kepada kelompok rentan dan yang menjadi korban.
Pandangan ini disampaikan Safitri, jurnalis dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Tintamas Universitas La Tansa Mashiro (Unilam), Lebak, Banten, dalam workshop Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang digelar di bilangan Carita, Pandeglang, Banten, 23-26 Februari 2024.
“Jika sebelumnya memegang prinsip bahwa media harus netral, setelah mengikuti kegiatan SEJUK saya sekarang meyakini media harus berpihak kepada kelompok rentan,” ujar perempuan yang akrab disapa Pipit.
Sementara, dalam isu keberagaman gender dan seksualitas, Pipit menuturkan dirinya tidak suka dengan LGBT, tetapi kini Pipit mulai menghargai warga negara lainnya dari kelompok queer.
“Awalnya tidak suka LGBT, tetapi sekarang saya paham bahwa LGBT bukan penyakit dan kita harus menghargainya, bukan menghindari mereka,” tegas Pipit di penghujung workshop yang didukung oleh Internews dan USAID dan bekerja sama dengan LPM Sigma UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, LPM Institut UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Aliansi Pers Mahasiswa Serang (APMS).
Salah satu peserta dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta Abdul Hamid Dhaifullah mengatakan kini perspektifnya lebih luas, sebelumnya ia hanya melihat perempuan sebagai korban diskriminasi dari sistem. Kini Abdul memahami ada rentetan kelompok yang belum dipenuhi haknya oleh negara, misalnya minoritas agama yang kesulitan membangun rumah ibadah akibat peraturan yang sulit.
Saidiman Ahmad, Manager Program Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), menekankan bahwa kebebasan bukanlah situasi di mana seseorang bisa memperlakukan orang lain semena-semena. Baginya, kebebasan adalah kondisi di mana setiap orang tidak terancam, tertekan, dan mendapatkan kekerasan dari orang atau pihak lain. Karena itu, kebebasan selalu identik dengan kepatuhan pada hukum dan demokrasi yang melindungi hak-hak setiap individu.
“Ketika seseorang hak-haknya dibatasi, dikurangi, bahkan hilang, maka ia menjadi manusia yang tidak bebas,” sambung Saidiman yang berlaku sebagai narasumber dalam workshop dan pada 2008 ikut mendirikan SEJUK.
Aktivis dan advokat hak asasi manusia Asfinawati juga menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki dasar yang beragam namun sayangnya negara belum memperlakukannya secara adil dan setara.
“Jika ada orang sama tapi diperlakukan berbeda, itu diskriminatif. Begitupun orang yang berbeda tapi diperlakukan sama juga diskriminatif,” ujar Asfin yang pernah menjabat sebagai Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia periode 2017–2021.
Selain Saidiman dan Asfinawati, peserta workshop juga diberi penguatan oleh 6 narasumber lainnya, yakni Ahmad Junaidi (Direktur SEJUK & Dosen Univ.Tarumanegara), Feby Indirani (penulis independen dan aktivis perempuan), Goen Goenawan (praktisi media), Khanis Suvianita (GAYa Nusantara) Nurul Bahrul Ulum (Content Creator dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia), dan Shinta Maharani (JurnalisTempo & AJI Indonesia).
Seluruh peserta workshop melakukan field trip atau berkunjung ke komunitas rentan di Banten dan sekitarnya untuk lebih memahami situasi yang dialami oleh komunitas. Komunitas yang ditemui adalah umat Kristen Protestan di Gereja Pantekosta Rahmat, umat Katolik di Labuan, umat Buddha di Vihara Ratana, pekerja seks dari Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), dan komunitas disabilitas.
Masing-masing komunitas menyampaikan situasi mereka. Umat Kristen Protestan yang harus memperbaharui izin rumah ibadah setiap tahun, umat Katolik beribadah di gedung sekolah dasar karena tidak memiliki rumah ibadah, umat Buddha yang beribadah di tengah keramaian pasar, pekerja seks harus alami kecemasan karena tidak ada perlindungan, dan teman-teman disabilitas tidak difasilitasi hak dasarnya oleh negara.
Beasiswa Liputan
Dalam workshop ini, peserta training juga mempresentasikan masing-masing rancangan peliputan keberagaman kepada para mentor. Dari proses pitching seluruh rancangan feature isu keberagaman, para mentor story grant memilih 10 proposal yang masing-masing berhak mendapat Rp3.000.000.
Berikut adalah daftar penerima Beasiswa Liputan Pers Mahasiswa:
1. Dampak RUU Ketahanan Keluarga pada Minoritas pada Ragam Identitas Gender dan Seksualitas – Intan Shabira Sumarsono, Pers Suara Mahasiswa UI
2. Dilema Religiusitas Individu Minoritas Gender dan Seksualitas – Dian Amalia Ariani, Pers Suara Mahasiswa UI
3. Disabilitas dalam Pemilu Minim Akses – Izam Komaruzaman, LPM Didaktika UNJ
4. Kekerasan Seksual Orang dengan Disabilitas – Muhammad Fiqri, LPM Extama Univ. Bina Bangsa
5. Menuju Unindra yang Setara, Aksesibilitas untuk Disabilitas – Ariqah Fahira, LPM Progress Unindra
6. Perempuan-perempuan Pekerja Retail – Wati Anggraeni, LPM Extama Univ. Bina Bangsa
7. Polemik Berpakaian di Kampus UIN Banten – Suci Amelia, LPM Sigma UIN Banten
8. Syi’ah Kabuyutan Dayeuhkolot di tengah Diskriminasi – Zahra Pramuningtyas, LPM Didaktika Universitas Negeri Jakarta
9. Tak Ada Rumah Ibadah Minoritas di Cilegon – Nabila Alsabila, LPM Sigma UIN Banten
10. Terbatasnya Akses Transpuan dalam Bekerja di Jakarta – Valensiya, LPM Progress Unindra
Fasilitator workshop dan story grant jurnalisme keberagaman ini: Yuni Pulungan dan Tantowi Anwari. Mentor produksi konten keberagaman: Shinta Maharani dan Feby Indirani.[]