Peserta workshop pers mahasiswa SEJUK bersama rabi Yahudi di depan sinagog di Tondano, Sulawesi Utara (Foto: Kabar Sejuk 21/5/2016)
Pilkada serentak di 171 daerah baru selesai. Sebagaimana diperkirakan banyak pihak, politisasi agama dan etnis yang merebak sejak Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017 juga meningkahi gelaran Pilkada di beberapa daerah seperti Jawa Barat, Sumatera Utara, dan lainnya. Di Kalimantan Barat bahkan sempat disertai ketegangan dua hari setelah Pilkada.
Bagaimanpun, proses politik mutakhir memberi ruang yang semakin luas bagi kekuatan konservatif ataupun populis berbasis agama dan etnis. Hal ini disebabkan mobilisasi politik yang terjadi tidak di jalanan saja, tetapi juga di ranah digital yang mengikat emosi atau sentimen sepemahaman (echo-chamber). Sehingga, ruang publik Indonesia tidak sepi dari serbuan kebencian dan permusuhan yang mengatasnamakan SARA.
Akibatnya, kerusakan Pilkada “brutal” DKI Jakarta (2017) yang menunggangi isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) belum sempat mereda, sementara intoleransi dan diskriminasi dari hari ke hari terus menajamkan polarisasi di tingkat masyarakat maupun elit politik. Kasus-kasus persekusi pun tidak kunjung berakhir. Sebab, banjir hoax dan ujaran kebencian beriringan dengan meningkatnya akses masyarakat Indonesia terhadap internet dan terutama media sosial yang begitu saja (dipercaya) menjadi bagian dari sumber (informasi) nilai-nilai.
Hasil penelitian nasional (2016 dan 2017) Lembaga Survei Indonesia (LSI) melansir bahwa kecenderungan intoleransi di kalangan Muslim Indonesia terus meningkat. Sementara Freedom House 2018 juga melaporkan bahwa kebebasan sipil Indonesia melorot di skor 4, kategori Partly Free.
Pengabaian atas situasi di atas akan semakin mempersempit dan terus menggerus prinsip-prinsip demokrasi yang hari-hari ini mendapat tantangan sangat keras dari menguatnya populisme sektarian agama. Kecenderungan serupa terjadi di belahan dunia lainnya di mana media juga memainkan peran sangat besar, terlebih media sosial, dalam mengeraskan identitas. Brexit Inggris dan kemenangan Trump di Amerika Serikat, menguatnya gerakan politik anti-imigran dan anti-Uni Eropa di Perancis, Belanda dan Jerman dalam pemilu merupakan perubahan lanskap politik yang semakin konservatif ditingkahi taburan fake news dan hoax serta ujaran kebencian yang sangat kental di media sosial.
Dalam konteks Indonesia, bermunculannya media paska-Reformasi – terutama online dan televisi lokal, yang mengandaikan semakin banyak pula jurnalis – menghadirkan tantangan yang tidak sederhana. Sistem regulasi yang kurang mendukung demokrasi digital dan kebebasan pers di satu sisi serta kepadatan lalu-lintas informasi yang lebih mendahulukan kecepatan, viral, dan rating atau clickbait ketimbang kualitas pemberitaan yang setia terhadap prinsip-prinsip dan standar jurnalisme di sisi lainnya, berakibat pada rentannya produk-produk jurnalistik yang tergelincir pada fake news.
Media dan jurnalis lokal juga mempunyai tantangan tersendiri dalam meliput isu keberagaman. Terlebih lagi ketika isu keberagaman “digunakan” dalam proses politik seperti Pilkada maupun Pilpres, kerja-kerja jurnalistik di daerah yang terlalu “dekat” dan sulit berjarak dari narasumber seperti, di antaranya, pimpinan atau pejabat pemerintah daerah, aparat, pengurus partai, dan DPRD, bahkan tokoh-tokoh agama berdampak pada pemberitaan yang cenderung bias kekuasaan dan mayoritas. Sementara, permasalahan SARA yang kerap timbul di daerah direspon pemerintah melalui proses politik lokal dengan kebijakan atau aturan dan manuver-manuver politik yang diskriminatif dan intoleran terhadap kelompok-kelompok rentan.
Mengacu pada situasi di atas, maka mendesak untuk dilakukan upaya-upaya bersama demi membangun kesadaran dan kerjasama yang melibatkan kalangan muda yang aktif di media kampus dan media sosial serta kelompok minoritas dalam mendorong dihidupkannya prinsip-prinsip toleransi atau penghargaan serta memberikan ruang bagi kelompok rentan/minoritas, giving voice to the voiceless. Selain itu, penting juga melalui kerja-kerja jurnalistik pers mahasiswa dan jurnalis kampus yang independen membangun komitmen menangkal hoax dan fake news bernuansa SARA menjelang kampanye calon anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Untuk itu, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Yayasan Tifa, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Profesi Universitas Negeri Makassar (UNM), Penerbitan Kampus (PK) Identitas Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, LPM Justisia dan IDEA UIN Walisongo Semarang mengundang rekan-rekan jurnalis kampus untuk terlibat aktif dalam Workshop Meliput Isu Keberagaman di Tahun Politik. Kegiatan yang akan digelar di Makassar dan Semarang ini merupakan ikhtiar bersama dengan kalangan pers mahasiswa merespon situasi kebinekaan mutakhir dan bagaimana merumuskan strategi kampanye jurnalisme keberagaman sekaligus menangkal hoax dan ujaran kebencian bernuansa SARA melalui media kampus dan media sosial dalam proses-proses politik.
Workshop ini akan digelar pada 30 Agustus – 2 September 2018 di Makassar dan 26 – 30 Oktober 2018 di Semarang. Lokasi workshop akan diinformasikan langsung kepada peserta terpilih.
Cara mendaftar:
Bagi rekan-rekan jurnalis kampus yang ingin bergabung, sila mengirimkan ke daftar.sejuk@gmail.com:
- CV dengan menyertakan posisi atau jabatan saat ini di lembaga pers mahasiswa beserta nomer telpon/WA;
- Tulisan bertema keberagaman (gender, agama/keyakinan, etnis, LGBT, dan isu-isu minoritas lainnya) berupa reportase, opini, resensi buku maupun film, yang sudah ataupun belum dipublikasikan;
- Pernyataan Lembaga Pers Mahasiswa yang memberikan jaminan bahwa, jika terpilih menjadi peserta, hasil praktik reportase dalam workshop ini akan diterbitkan di medianya (ini menjadi pertimbangan panitia seleksi yang sifatnya tidak wajib).
Bagi rekan-rekan jurnalis kampus yang ingin bergabung, sila mengirimkan ke daftar.sejuk@gmail.com : 1. CV dengan menyertakan posisi atau jabatan saat ini di lembaga pers mahasiswa beserta nomer telpon/WA; dan 2. tulisan bertema keberagaman (gender, agama/keyakinan, etnis, dan isu-isu minoritas lainnya), yang sudah ataupun belum dipublikasikan. Para pendaftar sebelumnya yang tidak lolos seleksi pada workshop SEJUK yang sudah lewat silakan mendaftar lagi.
Subyek email ditulis: Workshop Persma-(tempat workshop)-(nama pengirim)-2018.
CV dan tulisan untuk workshop Makassar paling akhir dikirim 18 Agustus 2018 dan peserta-peserta terseleksi diumumkan 21 Agustus 2018. Sedangkan CV dan tulisan untuk workshop Semarang paling akhir dikirim 14 September 2018 dan peserta-peserta terseleksi diumumkan 18 September 2018.
Pengumuman peserta workshop hasil seleksi akan dipublikasikan di Sejuk.org, IG: kabarsejuk2008, FB: Kabar Sejuk dan SEJUK.
Panitia menanggung akomodasi dan transportasi peserta Workshop Pers Mahasiswa: Jurnalisme Keberagaman di Tahun Politik.
Demikian undangan ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, 5 Juli 2018
Hormat kami,
Ahmad Junaidi
Direktur SEJUK
Untuk informasi lebih lanjut hubungi Kabar Sejuk di WA: +62 812 1865 2420/ IG: kabarsejuk2008 /FB: Kabar Sejuk