Sejak ketahuan identitasku sebagai lesbian, perlakuan keluarga menjadi berubah, terutama mama. Aku dilarang bepergian jauh, diberi nasehat setiap pagi dan sore soal azab neraka, diberi doa-doa, dan dibawa ke praktisi kesehatan mental karena dianggap menyimpang.
Usaha yang paling gencar dari mama adalah menuntut agar aku segera menikah. Menurutnya, pernikahan adalah satu-satunya solusi yang paling manjur untuk menyembuhkan ke-lesbian-anku.
Langkah berikutnya yang dilakukan orang tuaku adalah menyembunyikan semua dokumen, mulai dari akta sampai ijazah-ijazahku, sehingga aku tidak akan bebas pergi. Setidaknya aku hanya akan bepergian ke dalam negeri saja.
Di kemudian hari aku baru tahu, jika anak laki-laki yang ketahuan identitasnya sebagai gay cenderung diusir, maka anak perempuan yang ketahuan identitasnya sebagai lesbian akan dikurung. Semua itu ditempuh orang tuaku mulai Maret 2018, ketika sebuah akun Instagram yang homofobia dan intoleran mengunggah foto dan dentitasku dengan keterangan yang sangat memusuhi dan melecehkanku.
Dari penggalan hidupku itu, mari aku perkenalkan dengan lima hal yang membuat kamu akan terhindar dari diskriminasi. Berikut ini urutannya: (1) laki-laki, (2) muslim, (3) suku Jawa, (4) kaya dan (5) heteroseksual. Jika dirunut satu-satu, maka aku hanya memenuhi syarat kedua dan ketiga: muslim dan Jawa.
Memiliki dua hak istimewa dari lima sebenarnya bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan karena masih ketiga hak istimewa yang tidak aku miliki menjadi bayang-bayang. Perempuan muslim jreng, Jawa, yang terlahir dari keluarga pesantren di Jawa Timur yang sangat religius, tetapi pada saat yang bersamaan aku bukan laki-laki, bukan pula heteroseksual.
Dalam tradisi beberapa agama, adat dan budaya, tubuh perempuan selalu diperlakukan dengan khusus, yakni berupa penolakan keterlibatan perempuan dalam upacara-upacara keagamaan ketika mengalami siklus bulanan karena dianggap tidak suci dan menjijikkan. Dalam sejarah pun menunjukkan bahwa perempuan kemudian selalu dianggap sebagai makhluk yang tak bermoral, tidak bersih, lemah, atau inferior. Tidak heran jika sampai saat ini kultur patriarki menganggap perempuan harus ditundukkan dan diatur sesukanya oleh laki-laki.
Sebagai perempuan Jawa dan muslim, tuntutan dari keluarga amat besar: harus menurut, tunduk, dan menganut prinsip dapur, sumur dan kasur. Hal yang terpenting menurut keluarga tipe ini adalah: makin cepat menikah, makin baik. Selain menghindarkan perempuan-perempuan muda ini dari zina, tentunya menikah berarti jalan lebar menuju surga. Dengan catatan: taat pada suami apapun yang terjadi.
Sayangnya, aku adalah anak perempuan yang tidak memenuhi persyaratan menuju anak perempuan sempurna versi keluargaku yang konservatif ini. Sebab, aku adalah seorang lesbian dan dianggap pemberontak.
Orang tua selalu percaya bahwa ia lebih tahu jalan hidup yang terbaik untuk anak-anaknya. Karena itu, mereka merasa paling berhak menentukan jalan hidup anaknya. Anak dianggap berhutang budi karena telah dilahirkan dan dibesarkan dengan baik olehnya. Sehingga, pengekangan, perjodohan bahkan pengusiran kepada anak yang tidak berbakti adalah sah.
Mama, maafkan aku yang sementara ini harus mengambil jarak darimu. Akhir tahun 2018 dengan sangat terpaksa aku “kabur” dari keluarga dan dari bawah mencoba peruntungan di Jakarta.
Untuk merayakan International Day Against Homophobia, Biphobia, and Transphobia (IDAHOBIT) 2019 aku menulis ini.
Mama, aku lesbian dan aku tetap putrimu.[]
**Sesuai permintaan, identitas penulis kami rahasiakan.