Serial Gadis Kretek yang tayang di Netflix mendapat atensi yang cukup tinggi dari publik, menceritakan Dasiyah (Dian Sastrowardoyo) perempuan muda yang berambisi menjadi peracik saus kretek, mengambil latar tahun 60an diceritakan kala itu perempuan dilarang terlibat dalam meracik saus karena akan mengakibatkan rasa asam pada kretek. Selain persoalan kretek dan perempuan, serial Gadis Kretek juga menyoroti kisah cinta Dasiyah di tengah tragedi pembantaian 1965.
Dasiyah atau Jeng Yah adalah salah satu putri pengusaha kretek Merdeka bernama Idroes Moeria (Rukman Rosadi), namun ia dibatasi terlibat dalam industri kretek karena statusnya sebagai perempuan. Keluarganya mendorong Jeng Yah agar berperilaku sebagaimana ‘perempuan’, yang penurut, cakap dalam pekerjaan domestik, dan memberikan keturunan. Padahal Jeng Yah memiliki bakat dan kemampuan meracik saus yang akan mempertahankan keunggulan kretek Merdeka dari kretek Proklamasi milik Soedjagad (Verdi Solaiman).
Soeraja (Ario Bayu) memahami bakat Jeng Yah, ia diselamatkan dan diangkat menjadi pegawai oleh Idroes, selain itu ia juga mencintai Jeng Yah dan satu-satunya orang yang memahami Jeng Yah. Raja kemudian menjadi partner dalam meracik saus meski harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Petualangan Jeng Yah dan Raja harus terhenti tatkala keluarga Idroes dituduh sebagai antek Partai Komunis Indonesia (PKI). Idroes dan Jeng Yah kemudian ditangkap oleh militer, ibu dan adiknya (Rukayah) dikecualikan. Setelah sekian lama, Jeng Yah kembali pulang, namun Idroes menghilang tak pernah kembali.
Stigma Keturunan PKI yang Melekat
Kehidupan Dasiyah dan keluarganya berubah, mereka harus menyembunyikan identitasnya sebagai keluarga eks tahanan politik (tapol). Dasiyah membuka usaha kretek dengan menggunakan atas nama orang lain agar dia tak terlacak. Mereka saling menjaga, ketakutan, dan tidak mudah percaya pada orang lain. Gambaran Dasiyah dan keluarganya adalah realitas yang terjadi pada orang-orang yang dicap terlibat sebagai simpatisan PKI, terbukti maupun tidak.
Stigma dan diskriminasi keluarga PKI juga kerap diterima oleh keturunannya, yang bahkan lahir jauh-jauh hari setelah tragedi 1965. Sebagaimana yang dialami Arum (Putri Marino) yang tidak mengetahui sejarah keluarganya, siapa ayahnya, dan mengapa Rukayah selalu histeris ketika ditanya perihal Dasiyah. Rukayah tentu trauma dengan apa yang dialami oleh keluarganya dan ingin menutupinya, Rukayah juga ketakutan Arum akan mengalami stigma dan diskriminasi apabila identitasnya diketahui oleh publik.
Di akhir cerita, diketahui Dasiyah dan keluarganya adalah korban dari Soedjagad yang menitipkan nama Idroes serta Dasiyah kepada TNI agar ditangkap sebagai simpatisan PKI. Soedjagad menggunakan taktik licik untuk merebut kepopuleran merk kretek dengan menghancurkan satu generasi.
Hingga saat ini, bukan dalam kisah fiksi, eks tahanan politik 65 dan keluarganya masih menyembuhkan luka yang tidak dilakukan oleh negara. Presien Joko Widodo memang pernah menginginkan adanya perbaikan terhadap korban HAM berat dan menyesalinya, namun menolak tuntutan lainnya seperti meminta maaf, mengungkapkan kebenaran, penindakkan hukum terhadap pelaku, serta mencabut TAP MPRS XXV/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme yang dinilai sebagai penyebab lekatnya stigma terhadap para korban peristiwa 1965.