Bagaimana komunitas LGBTIQ di daerah berhadapan dengan media yang kerap menyudutkannya? Apakah mungkin jurnalis di daerah bekerja sama dengan komunitas LGBTIQ?
“Kami tidak diberi peluang untuk hidup layak. Yang kami butuhkan ruang aman, (orang) melihat kami sebagai manusia, as human!” ujar Sam transgender pria atau transman, di hadapan 20 jurnalis Kalimantan.
Hal tersebut disampaikan untuk menjawab tuduhan yang menurut Sam tidak berdasar bahwa kalangan LGBTIQ di Indonesia menuntut same sex marriage (pernikahan sejenis) dan ini yang kemudian dijadikan alasan banyak orang untuk membenci dan menyerang komunitasnya. Baginya, hak dasar untuk hidup, bekerja, dan berekspresi dengan aman saja belum mereka dapatkan, buat apa komunitas LGBTIQ berjuang untuk hal yang sangat jauh dan tidak mungkin itu.
“Jangan-jangan orang membenci karena tidak paham,” lanjut Sam yang juga berpesan agar para jurnalis tidak terus-menerus ikut memberitakan secara negatif tentang LGBTIQ.
Inisiator dan penggerak Trans Sociopreneurs Community, Samarinda, ini pun membuka diri kepada jurnalis atau media yang ingin lebih mengetahui isu LGBTIQ di Kalimantan Timur (Kaltim) dan gagasan SOGIESC, sexual orientation, gender identity and expression, and sex characteristic. Dalam ruang dialog yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Balikpapan dan didukung International Media Support (IMS) ini Sam sangat menyadari besarnya tantangan media di daerah dalam memberitakan isu LGBTIQ.
“Saya sangat marah ketika media mem-blow-up nama lahirku,” kata pria asal Samarinda mengisahkan kembali cara salah satu media di Kaltim yang tidak menghormati hak-hak komunitas LGBTIQ dengan memberitakan tanpa persetujuan narasumber.
Namun begitu, kerja sama media dengan komunitas LGBTIQ di Kalimantan Timur, lanjut Sam, sangat mungkin dilakukan selama jurnalis dan medianya mempunyai niat baik. Ia pun mengapresiasi rekan-rekan jurnalis yang selama ini mau menjadi “sekutu” bagi minoritas gender dan seksual di Kaltim.
Dialog antara jurnalis dengan kelompok minoritas ini diikuti juga perwakilan disabilitas, Sugianto dari Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kota Balikpapan dan Jamaluddin Feeli dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) cabang Balikpapan. Sesi ini digelar di Balikpapan, Kaltim, sebagai rangkaian Worksshop & Story Grant Jurnalisme Keberagaman: Mengembangkan Ruang Aman Keberagaman di Media, 17-19 Desember 2021.
Diskusi tentang media dan LGBTIQ menjadi perdebatan yang sangat hidup selama proses workshop. Kesalingan membuka diri, baik di kalangan jurnalis dan komunitas LGBTIQ menjadi jalan keluar yang perlu dibangun agar media dapat menjalankan perannya dalam mengedukasi publik dan mengawasi tanggung jawab negara untuk melindungi dan memenuhi hak-hak segenap warga dan manusia yang hidup di Indonesia.
Peran Media: Penerang Isu LGBTIQ
Di awal-awal diskusi, kalangan jurnalis mempunyai kecemasan, jika medianya memberitakan LGBTIQ secara positif akan dituduh mempromosikan LGBTIQ. Tetapi Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Z. Lubis menegaskan pentingnya para jurnalis untuk menyelami dengan baik pemahaman tentang keberagaman gender dan seksualitas ini sebelum meliput LGBTIQ. Langkah tersebut menjadi keharusan, sambung Ketua Umum Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) ini, agar dalam memberitakan tidak terjatuh dengan menghakimi LGBTIQ.
“Memberitakan LGBT itu tidak menyuruh meniru atau mempromosikan (LGBT), tetapi lebih menceritakan sosok manusia,” jelas Uni Lubis, mantan anggota Dewan Pers dua periode ini, kepada jurnalis yang berasal dari wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Utara.
Maka, sambung Uni, media dan jurnalis dapat mengambil peran “explainer” yang mengedukasi masyarakat secara lebih terang sehingga dapat menghapus prasangka-prasangka buruk, stigma, dan kebencian terhadap LGBTIQ.
Melalui kegiatan ini Dwi Setyaningsih Halid, salah satu jurnalis peserta workshop, merasa memperoleh bekal untuk menulis isu gender dan seksualitas dengan lebih berhati-hati. Bagaimanapun, di Kalimantan Timur tidak banyak komunitas LGBTIQ yang berani terbuka kepada publik, apalagi kepada wartawan.
“Penggunaan diksi dalam memberitakan LGBT jangan sampai menguatkan stigma dan kebencian terhadap mereka,” ucap perempuan yang akrab disapa Disya merefleksikan proses workshop yang diikutinya.
Selain Uni Lubis, narasumber workshop SEJUK kali ini adalah Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, Direktur SEJUK Ahmad “Alex” Junaidi, Manager Program Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad, dan Deputy Director Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra.
Peraih Story Grant
Di penghujung workshop para peserta mempresentasikan proposal liputannya masing-masing kepada Tim SEJUK. Proses SEJUK meng-coaching rencana liputan dari 20 peserta ini adalah upaya mendiskusikan agar ketika proposal mereka diturunkan menjadi berita sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalisme keberagaman.
SEJUK menyeleksi proposal peserta menjadi 8 yang berhak meraih Story Grant Liputan Keberagaman. Masing-masing proposal liputan terpilih mendapatkan beasiswa terbatas Rp7.000.000.
Berikut adalah peraih Story Grant Liputan Keberagaman:
1. Edwin Agustyan (Kaltim Post) – Umat Buddha yang Terpinggirkan di Bontang
2. Erik Alfian (Prokal.co) – Ragam Cerita Atlet Difabel di Balikpapan
3. Lutfi Rahmatunnisa (Bontangpost.id) – Sudahkah Akses Pekerjaan di Kota Industri Ramah Disabilitas?
4. M Rahim (Jejakrekam.com) – Pemimpin Perempuan Adat Pantai Mangkiling di Pegunungan Meratus
5. Miftah Aulia Anggraini (Tribun Kaltim) – Balikpapan Beriman Tapi Tidak untuk LGBT
6. Riani Rahayu (IDN Times Kaltim) – Masyarakat Adat Dayak Paser di Tengah Isu Pemindahan IKN
7. Yuda Almerio (Intuisi.co/CNN) – Akses Lapangan Kerja bagi Transgender di Samarinda
8. Zakarias Demon Daton (Kompas.com) – Trinity dan Dampak Panjang Bom Oikumene
SEJUK mengucapkan selamat bagi jurnalis yang proposalnya berhasil berlanjut mendapatkan beasiswa feature keberagaman. Proses berikutnya adalah coaching 8 proposal liputan dan mentoring. Informasi terkait kedua proses tersebut segera disampaikan Manager Program SEJUK Yuni Pulungan.
Bagi proposal liputan yang tidak lolos, semoga tetap dilanjutkan untuk memperbanyak suara-suara kelompok marginal di media Kalimantan. []