Senin, 28 November 2016, dua perempuan Aceh dicambuk atas tuduhan khalwat dan di dalam prosesnya mengaku berzina. Salah satu korban dicambuk 100 kali. Fakta ini semakin menunjukkan bahwa dalam satu tahun implementasinya, Qanun Jinayat tidak memberi perlindungan bagi warganya. Penerapannya justru berdampak pada semakin menguatnya praktek kekerasan atas nama penegakkan hukum Syariat yang selama ini lebih dibebankan pada masyarakat awam khususnya perempuan. Sampai November 2016 setidaknya 185 orang telah dicambuk di Aceh, beberapa di antaranya dicambuk atas tuduhan pacaran (khalwat) atau berada terlalu dekat dengan lawan jenis.
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan tahun 2016 terdapat 421 kebijakan diskriminatif di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Salah satunya adalah Qanun Jinayat atau Peraturan Daerah Provinsi Aceh No. 6 tahun 2014 tentang Hukum Pidana yang mendiskriminasi perempuan dan berpotensi memperkuat kekerasan dan kriminalisasi terhadap perempuan maupun kelompok minoritas lainnya.
Sementara, jaringan organisasi masyarakat sipil di Jakarta dan Aceh telah melakukan advokasi sejak dari rancangan Qanun hingga Qanun tersebut disahkan. Salah satu advokasi yang dilakukan adalah mendesak penundaan pengesahan Qanun yang pada awalnya memuat tentang hukuman “rajam” tersebut. Setelah sempat ditunda pengesahannya pada 2009, Qanun ini tetap jadi disahkan pada 23 Oktober 2014 dan berlaku efektif satu tahun setelahnya, dengan substansi yang masih diskriminatif terhadap perempuan. Padahal, proses perancangan dan pengesahan Qanun ini tidak melibatkan dan mempertimbangkan banyak masukan masyarakat.
Ketidakadilan dalam penerapan
Dalam pelaksanaan satu tahunnya, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat melihat implementasi Qanun Jinayat sarat akan pelanggaran. Terjadinya kasus salah tangkap, kekerasan oleh pihak WH (Wilayatul Hisbah), dan pelaksanaannya yang diskriminatif karena tidak berlaku untuk kalangan yang memiliki jabatan tertentu menunjukkan Qanun ini tidak mencerminkan keadilan. Selain itu, pemantauan yang dilakukan oleh Solidaritas Perempuan di 5 wilayah Aceh menyebutkan, sebanyak 97% perempuan tidak mendapat informasi mengenai pembentukan Qanun Jinayat. Betapa perempuan sangat rentan menjadi korban yang terdiskriminasi dalam Qanun ini.
Qanun Jinayat secara nyata mengakibatkan kekerasan berlapis terhadap perempuan. Dalam pasal 48 Qanun ini, misalnya, korban perkosaan justru dibebankan dengan menyediakan alat bukti permulaan, padahal telah diketahui bahwa dalam kasus-kasus kekerasan seksual sangat sulit mencari saksi dalam perkosaan dan korban perkosaanpun mengalami dampak psikologis dan trauma yang mengakibatkan sulitnya penyediaan alat bukti. Sebaliknya, pelaku perkosaan justru dapat mudah lepas dari hukum hanya dengan 5 kali sumpah. Hal ini berpotensi besar terhadap viktimisasi korban perkosaan, bahkan korban perkosaan juga berpotensi dilaporkan balik. Sementara itu, eksekusi cambuk di hadapan publik akan menimbulkan trauma dan pelabelan negatif, yang berdampak pada pengucilan dan peminggiran perempuan. Lebih jauh lagi, eksekusi hukuman cambuk ini juga menghasilkan budaya kekerasan di masyarakat Aceh. Dampak yang ditimbulkan dari pertunjukkan kekerasan ini bukanlah rasa takut untuk melanggar, tapi sebagaimana dilaporkan oleh saksi mata, justru masyarakat menjadi penonton yang mengolok-olok korban.
Bertentangan dengan aturan dan hukum yang lebih tinggi
Qanun ini bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia yang lebih tinggi. Beberapa peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain UUD 1945, Konvensi Anti Diskriminsi terhadap Perempuan (CEDAW), UU HAM, KUHP, KUHAP, Ketentuan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Kovenan Hak Sipil dan Politik, Konvensi Anti Penyiksaan dan UU Perlindungan Anak. Qanun Jinayat juga melegitimasi penggunaan hukuman badan/tubuh (corporal punishment) di Indonesia, yakni cambuk, yang juga bertentangan dengan hukum di Indonesia, karena sistem pemidanaan di Indonesia secara tegas melarang penggunaan hukuman cambuk.
Selain itu, jika Qanun Jinayat memang merujuk pada hukum Islam, maka pengakuan korban tidak boleh berdasarkan intimidasi. Lebih jauh lagi, pembuktian atas tuduhan zina harus dilakukan berdasarkan kesaksian langsung empat orang. Jika korban ternyata dipaksa mengaku zina atau dianggap berzina tanpa kesaksian yang memenuhi kaidah fikih, maka sebaliknya yang menuduh telah melakukan pelanggaran Syariat Islam sebagaimana Quran surat An-Nuur ayat 4 yang berbunyi: Dan orang-orang yang menuduh perempuan yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Pada 23 Oktober 2015 masyarakat sipil telah melakukan permohonan Uji Materil (Judicial Review) ke Mahkamah Agung (MA) Qanun Jinayat terhadap 10 kebijakan nasional di atasnya. Sayangnya, upaya tersebut belum membuahkan hasil yang diharapkan. Pada Maret 2016, putusan MA meyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima karena pertimbangan formil (tidak susbtantif).
Tuntutan
Qanun Jinayat bukanlah persoalan Aceh semata, tetapi persoalan bangsa ini, karena negara terus memproduksi dan mengumbar diskriminasi terhadap perempuan melalui kebijakan-kebijakannya. Oleh karena itu, kami menuntut:
DPRA dan MPU segera mengevaluasi implementasi Qanun Jinayat dengan mengundang pakar serta ulama dan cendikia yang berkompeten lintas afiliasi sosial dan politik untuk memberi masukan kritis dan konstruktif terhadap substansi dan tata cara pelaksanaan qanun, termasuk mengundang tokoh-tokoh perempuan dari kalangan dayah di Aceh maupun pesantren di luar Aceh;
DPRA merevisi Qanun Jinayat melalui hasil evaluasi yang terbuka, inklusif, dan partisipatif Masyarakat sipil dan universitas agar membuka ruang bagi artikulasi publik terkait wacana penerapan Qanun Jinayat dengan perspektif yang adil dan manusiawi bagi semua kalangan, serta menumbuhkan diskusi dan pemantauan sekaligus revisi terhadap isi dan implementasi Qanun ini.
Jakarta, 1 Desember 2016
Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat
Solidaritas Perempuan, Institute Criminal Justice Reform (ICJR), LBH Jakarta, YLBHI, Human Rights Working Group (HRWG), Kontras, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Yayasan Satu Keadilan, Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), LBH Apik, CEDAW Working Group Initiative (CWGI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh, Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah (JMSPS), LBH Aceh, Kontras Aceh, Lingkar Sahabat SP Aceh.