“Saya senang bisa bertemu banyak kawan (minoritas) yang berbeda. Saya sekarang tidak merasa sendiri lagi,” ungkap remaja Ahmadiyah Padang, Shifa, yang baru lulus SMA.
Nada serupa disampaikan siswi beragama Kristen, Kristi (nama samaran), yang sekolah di Padang dan pernah melawan diskriminasi dengan tidak menggunakan jilbab saat bersekolah. Pemaksaan pemakaian jilbab terhadap siswi non-muslim sudah sejak 2005, era Walikota Padang Fauzi Bahar. Awal tahun ini polemik tersebut sempat viral sampai kemudian lahir SKB 3 Menteri yang menghapus praktik diskriminasi di dunia pendidikan terkait seragam sekolah bernuansa agama.
Dua hari saling berbagi pengalaman dan informasi sebagai sesama kelompok rentan di Sumatera Barat (Sumbar), Shifa dan Kristi bersama 19 orang muda lainnya dari jaringan lintas agama, etnis, gender, serta disabilitas saling menerima, menguatkan dan bersolidaritas.
Mereka berkumpul dalam Workshop Advokasi Media untuk Komunitas: Membangun Kerja Sama Orang Muda dengan Insan Pers di Sumatera Barat yang digelar di Padang, 5-6 Juni 2021. Oleh mereka, kegiatan ini diikhtiarkan untuk merekatkan jaringan kelompok rentan dan membangun ruang aman.
“Dokter gigi Romi yang disabilitas ditolak menjadi PNS di Solok Selatan. Juga Alde Maulana yang haknya dirampas BPK RI. Padahal keduanya dinyatakan lolos CPNS. Tapi keduanya digagalkan dengan alasan disabilitas, tidak sehat jasmani dan rohani,” sesal Vino Pratama yang aktif di Disabilitas Tanpa Batas (DTB) Sumbar.
Sebagai disabilitas, Vino mencemaskan kuatnya diskriminasi yang mereka alami, baik oleh masyarakat maupun negara. Ia juga menyayangkan banyaknya media yang ikut menguatkan stereotip dan marginalisasi terhadap disabilitas dalam pemberitaan dokter Romi dan Aldi Maulana.

Karena itu, SEJUK membekali para peserta sensitivitas dan kecakapan dalam mengadvokasi media dengan prinsip jurnalisme keberagaman yang terus mengembangkan elan demokrasi berkeadilan berbasis hak asasi manusia (HAM).
Jurnalis senior Ocha Mariadi melihat perjumpaan antara kelompok minoritas di Sumbar dengan kalangan media yang ditempuh dalam workshop yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Pemuda Lintas Agama (Pelita) Padang dan didukung Norwegian Embassy ini sebagai upaya yang baik dan harus terus dilanjutkan dalam memperbanyak ruang-ruang diskusi, sehingga kelompok rentan mendapat ruang pemberitaan di media-media.
“Tidak hanya diskusi dengan para jurnalis di tingkat reporter, bikin juga editorial meeting agar suara kawan-kawan sampai ke tingkat redaksi media,” dorong Ocha yang merupakan Pemimpin Redaksi Mentawaikita.com agar upaya membangun saling kepercayaan antara kelompok minoritas dengan jurnalis sampai pada pengambil kebijakan di media-media outlet wilayah Sumatera Barat.
Ocha (Yuafriza) bersama jurnalis Tempo Febrianti (Yanti), dan Ketua AJI Padang Aidil Ichlas yang juga jurnalis Berita Satu TV di hadapan peserta yang berasal dari Padang, Solok, Mentawai, Pasaman Barat, dan Bukittinggi ini bersepakat agar isu keberagaman mendapat tempat yang lebih banyak dalam pemberitaan.
Ketiganya juga mendorong terciptanya ruang-ruang untuk mengkritisi pemberitaan media yang justru menguatkan intoleransi dan diskriminasi dan turut mendorong media-media di Sumbar agar lebih independen dan toleran.
“Apabila ada sengketa pemberitaan karena kawan-kawan dari kelompok minoritas dirugikan oleh pemberitaan media, kami bisa membentu memfasilitasi (untuk mendapatkan hak jawab dan hak koreksi),” pungkas Aidil Ichlas.[]