Kabupaten Aceh Singkil merupakan daerah perbatasan Aceh dan Sumatera Utara dengan demografi yang nyaris berimbang antara penduduk muslim dan kristiani. Sebagian besar gereja berafiliasi pada Gereja Kristen Pak Pak Dairi (GKPPD) sebuah gereja sub etnis batak. GKKPD berkantor di Sidikalang, 3 jam dari Singkil serta beberapa gereja Khatolik, HKI dan Pantekosta.
Umat Kristen sudah ada, beribadah dan mendirikan gereja sebelum kemerdekaan Indonesia, namun pada tahun 70’an sentimen anti kristen menguat atas desakan ulama-ulama Aceh yang tidak menyetujui adanya gereja dalam konteks Aceh sebagai Daulah Islam. Sentimen ini kemudian berujung pada penyerangan dan pembakaran gereja tahun 1974. Sebagian penduduk mengungsi masuk ke wilayah Sumatera Selatan selama 4 bulan karena ancaman dan minimnya perlindungan dari negara.
Kekerasan tersebut kemudian mendorong dibuatnya perjanjian antara 11 perwakilan dari masing-masing umat islam dan kristen bahwa hanya boleh terdapat 1 gereja dan 4 undung-undung (gereja kecil) di wilayah Singkil. Umat kristen tidak memiliki pilihan selain menerima tawaran perjanjian tersebut.
Perkembangan penduduk mendorong dibangunnya gereja-gereja baru dan perluasan gereja lama. Perjanjian pada tahun 1979 selalu digunakan untuk membatasi pembangunan gereja, untuk mempertahankan sejarah pendirian gereja perluasan beberapa gereja dilakukan tanpa membongkar bangunan gereja lama, beberapa membuat bangunan gereja dalam gereja.
Situasi ini berlangsung hingga 2011 ketika muncul gelombang penolakan gereja yang menguat. Pada 1-3 Mei 2012 Pemda Kabupaten Singkil menyegel beberapa gereja. Meski setelah penyegelan umat kristen pelan-pelan mulai menggunakan gereja, ancaman kekerasan hingga upaya pembakaran gereja terjadi terus menerus.
Tuntutan penolak gereja adalah agar kembali kepada perjanjian tahun 1979 bahwa hanya boleh ada 1 + 4 gereja untuk seluruh Singkil tidaklah realistis melihat jumlah umat dan jarak. Pemerintah Kabupaten berdalih bahwa gereja-gereja tersebut ilegal sesuai dengan Peraturan Bersama 2006. Padahal peraturan tersebut tidak mengatur rumah ibadah yang berdiri sebelumnya harus melewati prosedur diskriminatif.
Kasus di Singkil terjadi akibat tindakan intoleransi sebagian warga yang didukung oleh kebijakan-kebijakan diskriminatif seperti PBM 2006, peraturan propinsi dan kabupaten serta pembiaran pemerintah pusat atas carut marut hukum dalam kebebasan beragama dan berkepercayaan.
Masalah di Singkil tidak dapat diselesaikan selama negara tidak mengakui dan melindungi hak-hak warga untuk memilih agama dan kepercayaan serta beribadah sesuai dengan amanat UUD 1945. Penyelesaian kekerasan tanpa perlindungan pasti, hanya menunda kekerasan dan darah tumpah esok hari.
Sumber: www.sobatkbb.org