Sejumlah aksi teror di Indonesia, sejauh dapat diungkap oleh Kepolisian Republik Indonesia memiliki target utama mendirikan Negara Islam Indonesia. Mereka menggunakan aksi teror untuk mempercepat pendirian Negara Islam.
Selagi target operasi mereka belum tercapai, dan mereka masih menghalalkan cara-cara kekerasan, selama itu pula bahaya terorisme akan selalu ada di negeri ini. Meski demikian, sangat disayangkan, polisi tidak pernah bisa mengungkap secara tuntas apa sejatinya target operasi terorisme di Indonesia selain mendirikan Negara Islam.
Apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan persoalan terorisme di tanah air? Tentu saja hal ini tidak mudah. Selain ada persoalan perjuangan ideologis di antara para pelaku teror, persoalan lemahnya ekonomi Indonesia, tarik-menarik kepentingan sosial politik dan ekonomi global akan terus membuat pasang-surut persoalan terorisme.
Bom bunuh diri meledak di dalam masjid saat shalat Jumat baru saja dimuali di masjid Al-Dzikro, Kompleks Mapolresta Cirebon, Jawa Barat. Sampai tulisan ini dibuat, sejumlah pihak meyakini pelaku adalah bom bunuh diri pada Jumat (15/4) yang melukai 28 orang tersebut adalah Muhamad Syarif (32), warga Astanagarib, Kelurahan Pekalipan, Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon. Tentu, publik tanah air baru saja dikejutkan dengan kejadian pengiriman sejumlah bom buku dan polisi belum bisa mengungkap siapa pelaku lapangan dan aktor intelktual di baliknya. Belum juga publik mendapatkan hasil kinerja polisi terkait bom buku, hari-hari ini dunia dikejutkan dengan penangkapan Umar Patek oleh militer Pakistan.
Paska tragedi 9/11, membuktikan kepada dunia bahwa tidak ada satu tempat pun yang aman dari ancaman teror. Persoalan terorisme tidak pernah surut dalam diskursus keamanan sejak abad ke-21 ini. Persoalan ini, telah sangat baik diprediksi oleh Colin S. Gray dalam buku Another Bloody Century. Tragedi di Cirebon membuktikan, bahwa Masjid pun tak steril ancaman teror yang pelakunya adalah orang beragama Islam sendiri.