Berbagai komunitas agama, organisasi masyarakat sipil, dan para akademisi di Riau membuat sejarah dengan membangun gerakan dan konsolidasi kebebasan beragama atau berkeyakinan yang pertama di Bumi Lancang Kuning pada Rabu, 13 November 2024, di Rumah Tropis, Kota Pekanbaru.
Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Provinsi Riau yang cukup problematik dan mengkhawatirkan. Berbagai peristiwa yang terjadi seperti diskriminasi, intoleransi hingga tindakan persekusi lahir dari dominasi dengan pemaksaan dan penyeragaman oleh penganut agama tertentu. Padahal kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak yang fundamental.
Hal tersebut disampaikan Wilton Amos Panggabean dari YLBHI-LBH Pekanbaru sebagai salah satu inisiator penyelenggaraan forum konsolidasi yang melibatkan 20 peserta dari berbagai elemen masyarakat yang mempunyai komitmen dalam memperjuangkan prinsip toleransi dan kebebasan beragama di Riau.
“Pertemuan ini diharapkan dapat menjadi momentum bagi masyarakat dan pemerintah untuk bersama-sama menciptakan kebijakan yang menghormati kebebasan beragama dan mendorong keharmonisan di tengah keberagaman di Provinsi Riau yang kebetulan juga 16 November ini merupakan hari toleransi internasional dan mendekati hari Natal bagi umat Kristiani,” tegas Wilton.
Ia menyebutkan bahwa konsolidasi ini tidak hanya menjadi wadah dialog yang konstruktif, tetapi juga langkah awal untuk memperkuat kolaborasi antarorganisasi masyarakat sipil dalam menciptakan iklim demokrasi dan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang lebih sehat di Provinsi Riau yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
Kemendesakan masyarakat sipil untuk menyelenggarakan konsolidasi ini berangkat dari laporan Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2023 oleh SETARA Institute yang menyebutkan Pekanbaru menjadi salah satu kota yang dinilai paling intoleran di Indonesia dari 94 kota lainnya. Masuk sebagai urutan ke 7 dari 10 kota dengan skor toleransi rendah, tentu bukan hal yang baik. Adapun rendahnya penilaian Kota Pekanbaru yang disematkan dalam IKT 2023 adalah kinerja pemerintah kota termasuk elemen masyarakat dalam mengelola keberagaman yang buruk.
“Isu keberagaman bukan hanya soal toleransi, tapi juga tentang keadilan sosial. Riau yang majemuk membutuhkan kebijakan yang dapat mengelola keragaman ini secara adil dan berkelanjutan,” ujar Bambang Hermanto, direktur ISAIS UIN Suska Riau dalam diskusi tersebut.
Desakan yang disampaikan Bambang berkaca dari proses diskusi yang menggali fakta-fakta intoleransi dan diskriminasi bernuansa agama terhadap kelompok marginal yang marak terjadi di Riau. Fakta intoleransi dan diskriminasi itu mencakup, di antaranya, gangguan dan pelarangan hak beribadah, penolakan izin mendirikan rumah ibadah, pemaksaan jilbab terhadap peserta didik non-muslim di sekolah-sekolah negeri dan perguruan tinggi, tidak ada pelajaran dan guru agama non-muslim, susahnya mengurus KTP penghayat kepercayaan, hingga larangan memakamkan jenazah dari kelompok minoritas keyakinan atau agama di TPU.
Salah satu hasil penting dari pertemuan ini adalah adanya wadah bersama untuk memperjuangkan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Riau. Mereka menyepakati nama wadah tersebut: Suara Bersama untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (SABDA). Koalisi atau suara bersama ini hadir dengan tujuan untuk mendorong tata kelola keragaman yang lebih inklusif di daerah Riau, sekaligus memperjuangkan implementasi kebijakan yang mendukung kebebasan beragama di tingkat lokal yang berkeadilan.
Koalisi ini juga menyoroti kontestasi perpolitikan di Riau yang belum ramah terhadap keberagaman, yang memicu konflik-konflik sosial masyarakat. Menebalnya dimensi intoleransi dengan mengatasnamakan agama sebagai komoditas untuk mendulang suara ketika Pilkada, menimbulkan persoalan baru dan bukan merupakan tindakan yang bijaksana oleh calon-calon pemimpin daerah di Provinsi Riau termasuk di tingkat kota.
Untuk itu SABDA mendesak seluruh calon pemimpin daerah pada Pilkada 2024 agar menjadikan tata kelola keberagaman sebagai prioritas dalam program pemerintahannya. Kebijakan ini diharapkan dapat mengakomodasi pluralitas masyarakat Riau yang kaya akan budaya dan agama, serta memperkuat harmoni sosial di daerah.
Seirama dengan itu, Zainul Akmal dari penggerak GUSDURian Riau menegaskan, beragama dan berkeyakinan adalah suatu keniscayaan bagi manusia. Tuhan tidak memaksa setiap manusia beragama dan berkeyakinan yang sama.
Zainul mengingatkan, UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2 jelas menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Setiap orang berhak untuk memeluk agama dan beribadah dengan nyaman dan aman, karena negara menjamin dan melindungi setiap orang untuk meyakini apa pun agama atau kepercayaannya. Maka, bersamaan dengan penyelenggaraan pilkada serentak, calon-calon kepala daerah harus mempunyai komitmen terhadap penegakan dan pemenuhan hak-hak warga di Riau untuk menjalankan agama sesuai keyakinannya masing-masing.
“Para Calon Kepala Daerah untuk menjadikan salah satu program prioritasnya menjaga toleransi antarumat beragama dan berkeyakinan di Riau,” ujar Zainul.
Di akhir kegiatan para peserta juga menandatangani Komitmen Bersama untuk mendorong dan mengadvokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Provinsi Riau. Oleh karenanya SABDA menyerukan kepada kita bersama untuk saling bahu membahu dalam menghadirkan ruang aman bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Provinsi Riau.
Pertemuan yang digelar dari pukul 10.00-17.30 WIB ini bertajuk “Focus Goup Discussion dan Konsolidasi Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.” Terselenggaranya acara ini difasilitasi oleh Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (Sejuk) yang tergabung dalam Gugus Tugas Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan (Task Force KBB) di Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)–LBH Pekanbaru.
Dialog, perjumpaan, dan konsolidasi yang berlangsung intensif tersebut dihadiri oleh perwakilan dari berbagai komunitas masyarakat sipil di Riau, di antaranya GUSDURian Riau, Institut for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau, Asosiasi Pendeta Indonesia (API) Riau, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Wilayah Riau, Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia (PGPI) Wilayah Riau, Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonnesia (PGLII), dan komunitas keagamaan lainnya yang memiliki perhatian terhadap isu kebebasan beragama dan berkeyakinan.[]