“Persidangan Tajul Muluk dan Deden Sujana adalah contoh peradilan yang sesat”. Hal tersebut disampaikan Ifdhal Kasim dalam Pelatihan Monitoring Peradilan Kasus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) sore tadi (29/10) di Hotel Gren Alia Cikini, Jakarta. Sebagai salah satu narasumber, mantan Ketua Komnas HAM ini menyayangkan sistem dan praktik peradilan di Indonesia yang sangat jauh untuk bisa memberikan rasa adil (fair trail) bagi warganya, terutama para korban dan minoritas agama dan keyakinan.
“Hakim harus independen!” Demikian ia tegaskan dalam forum diskusi dengan para peserta. Menurutnya hakim menghadapi tantangan yang sangat berat dalam peradilan kasus-kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kecenderungan kasus-kasus seperti ini untuk dipolitisasi sangatlah besar, sehingga tekanan terhadap hakim pun menjadi besar pula. “Padahal”, Ifdhal kembali memberikan penekanan, “peran dan fungsi peradilan adalah merekonsiliasi perbedaan. Karena itu, posisi hakim bukanlah bagian dari kepentingan kelompok tertentu yang tengah berkonflik.”
Selain Ifdhal Kasim, para ahli yang hadir memberikan materi pelatihan yang digelar 28 – 31 Oktober 2013 ini adalah mantan Ketua Mahkamah Agung, Dr. Harifin A Tumpa, SH., MH., pengajar UI dan mantan Ketua Pelaksana Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI), Hasril Hartanto, SH., MH., dan Direktur Abdurrahman Wahid Center-Universitas Indonesia (AWC-UI), Ahmad Suaedy. Yang terlibat dalam kegiatan ini adalah para advokat, aktivis, dan korban yang seluruhnya berjumlah 25, berasal dari Aceh, Makassar, Lombok, Jawa Timur, Tasikmalaya, Cirebon, Bandung, dan Jabodetabek.
Sebagaimana disampaikan Harifin Tumpa, “Hak beragama dan berkeyakinan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights).” Sehingga, sejatinyalah setiap warga negara, tanpa terkecuali, harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi hak dan kebebasannya untuk beragama dan berkeyakinan.
Namun, sebagaimana Ifdhal, Ahmad Suaedy juga merasa kecewa terhadap situasi peradilan. Keprihatinannya ia sampaikan dengan nada muram, “Saya heran, dalam kasus-kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan, mengapa hanya Pasal 156A yang dipakai sehingga hukuman yang dijatuhkan cenderung maksimal untuk para korban? Inilah yang terjadi terhadap Tajul Muluk dalam kasus Syiah Sampang dan Deden Sujana dalam kasus Ahmadiyah Cikeusik, yang sebenarnya mereka adalah korban penyerangan dan kekerasan atas nama agama.”
Maka, dengan masygulnya ia menuntut agar pengadilan juga memberlakukan Pasal 156 KUHP. “Semestinya Pasal 156 bisa dipakai menjerat pelaku-pelaku yang memprovokasi mengobarkan kebencian kepada kelompok minoritas atau korban” imbuhnya.
Sampai saat laporan ini ditulis, selama proses pelatihan berlangsung, tampak terbangun kesadaran peserta bahwa masyarakat, dalam hal ini kalangan NGO atau aktivis HAM dan korban, harus aktif mengawasi proses peradilan agar para korban dari kelompok minoritas tidak terus-menerus terampas keadilannya. Atmosfir ini sesuai dengan harapan diadakannya pelatihan yang bertujuan mencetak ahli-ahli dalam melakukan pengawasan peradilan. “Sistem peradilan memainkan peran sangat penting terkait penegakan hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinan,” demikian Indri D. Saptaningrum, Executive Director ELSAM, memajukan keyakinannya dalam pembukaan pelatihan di hari pertama (28/10) demi memberikan optimisme kepada para peserta di tengah carut-marut peradilan bangsa ini. (Thowik SEJUK)