Transpuan Isa Zega ibadah umrah dengan cara yang diyakininya tidak boleh dipenjara. Laporan terhadap Isa Zega yang melakukan ibadah umrah dengan mengenakan jilbab ke Polres Metro Jakarta Selatan pada Rabu, 20 November 2024, sangat disayangkan.
Negara pada dasarnya tidak bisa mencegah setiap orang Sunni yang membenci praktik beragama orang Syiah atau pengikut Syiah mengecam ekspresi beragama penganut Wahabbi. Negara juga tidak boleh campur tangan pada urusan orang Muhammadiyah yang tidak suka dan menganggap bidah para nahdiyin yang melakukan kunut saat salat subuh atau menggelar tahlilan.
Tanggung jawab negara adalah menghormati dan melindungi bahkan memfasilitasi setiap warganya agar mendapat hak-hak dan kebebasan untuk beragama dan beribadah sesuai keyakinannya masing-masing. Maka, negara juga tidak boleh intervensi dan mengkriminalisasi warganya yang mempraktikkan agama atau beribadah sesuai yang mereka yakini, hanya karena berbeda dengan yang mayoritas atau keyakinan kelompok dominan.
Negara justru mendorong segenap warganya untuk mengedepankan dialog atau musyawarah atas perbedaan-perbedaan keyakinan dan mengedukasi agar saling menghormati atau toleran terhadap keberagaman ekspresi beragama setiap orang yang tidak mencelakai atau melanggar dan membahayakan kesehatan, nyawa, dan hak-hak warga lainnya.
Karena itu, apa yang dilakukan oleh transpuan Isa Zega saat umrah dan mempublikasikannya sehingga viral dan memunculkan polemik, bukan urusan negara. Tanggung jawab negara sesuai mandat konstitusi adalah menjamin ekspresi beragama Isa Zega.
Jaminan negara terhadap setiap orang, termasuk transpuan, untuk beragama dan menjalankan ibadah sesuai keyakinannya sejalan dengan Pasal 28 E ayat 2, Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Wilayah perbedaan keyakinan atau urusan dosa dan neraka bukan domain negara, bukan urusan aparat kepolisian.
Maka, negara tidak boleh lagi menggunakan bahkan harus menghapus Pasal 156a KUHP tentang Penodaan Agama yang hanya menjadi alat untuk mengistimewakan pandangan atau keyakinan agama mayoritas dan menyingkirkan dengan memenjarakan praktik dan pemahaman keagamaana atau kepercayaan dan keyakinan kalangan marjinal dan rentan.
Rezim Prabowo-Gibran harus memulai penegakan hak asasi manusia dengan menghormati dan melindungi setiap orang yang mengekspresikan keyakinannya dengan cara damai. Semoga era Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran tidak lagi ada kriminalisasi atau pemenjaraan dengan menggunakan Pasal 156a KUHP dan instrumen hukum diskriminatif lainnya tentang penodaan atau penistaan agama yang melanggar HAM dan bertentangan dengan konstitusi.
Sedangkan terhadap pemberitaan Isa Zega yang beribadah umrah dengan mengenakan jilbab, penting bersama-sama mendorong media untuk bersetia pada Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman (PPIK) yang diterbitkan Dewan Pers.
Pada ketentuan Dasar Pemberitaan Keberagaman, PPIK poin C menyatakan bahwa wartawan Indonesia “mengutamakan kemanusiaan dengan memperhatikan kelompok rentan, disabilitas, orang pada wilayah tertentu, dan orang dengan kondisi tertentu.” Sedangkan pada poin A menegaskan bahwa wartawan Indonesia “menjunjung tinggi konstitusi dengan menggunakan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan gender.”[]