Sebagai negara dengan lebih dari 270 juta penduduk, Indonesia adalah salah satu negara yang paling beragam di dunia. Negara ini terdiri dari lebih dari 1.300 kelompok etnis, berbagai agama, bahasa, dan adat istiadat yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau. Keberagaman tersebut telah lama menjadi kebanggaan bangsa, tertuang dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tantangan terhadap keberagaman ini semakin meningkat. Meskipun Indonesia dikenal dengan toleransinya, sejumlah laporan menunjukkan bahwa kebebasan sipil, terutama dalam hal kebebasan beragama, mengalami tekanan. Menurut Indeks Kebebasan Beragama dari Setara Institute, antara tahun 2020 dan 2022, terdapat peningkatan insiden intoleransi dan diskriminasi berbasis agama di beberapa wilayah. Pada 2021, Setara Institute mencatat 573 insiden pelanggaran kebebasan beragama, meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya itu. Freedom House dalam laporannya mengenai kebebasan sipil di Indonesia pada tahun 2023 memberikan peringkat “Partly Free” dengan skor kebebasan 59/100. Laporan ini menyoroti tantangan yang dihadapi dalam kebebasan berekspresi dan hak-hak minoritas, termasuk tindakan keras terhadap aktivisme online dan penegakan hukum yang cenderung represif terhadap protes damai. Sementara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat peningkatan laporan diskriminasi terhadap kelompok minoritas dari 171 kasus pada 2019 menjadi 191 kasus pada 2022.
Toleransi antar-umat beragama juga menjadi isu yang sensitif. Survei dari Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2022 menemukan bahwa sekitar 46% responden masih memiliki pandangan intoleran terhadap kelompok-kelompok agama minoritas, terutama dalam hal kebebasan beribadah dan ekspresi agama di ruang publik. Hal yang sama ditemukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), 2024, semakin banyak warga yang merasa takut bahwa aparat akan melakukan penangkapan semena-mena (51 persen). Angka ini naik tajam dari 2014 yang ketika itu hanya sekitar 24 persen. Semakin banyak warga yang takut ikut berorganisasi, dari sekitar 10 persen pada Juli 2014 menjadi 28 persen pada Oktober 2024. Bahkan terjadi peningkatan persepsi bahwa sekarang masyarakat selalu atau sering takut menjalankan ibadah, dari 7 persen pada Juli 2014 menjadi 21 persen pada Oktober 2024.
Data-data ini menunjukkan bahwa pada level masyarakat, kebebasan sipil terutama terkait dengan toleransi mulai mengalami persoalan. Ada semakin banyak warga yang merasa terancam atau tidak aman dalam melakukan aktifitas, berekspresi, dan berinteraksi. Jika ini terus terjadi, maka masa depan demokrasi Indonesia yang sudah terbangun bisa terkikis kembali.
Kondisi ini menjadi semakin krusial di era digital, di mana media sosial sering kali menjadi ruang pertarungan wacana, baik yang mendukung maupun yang mengancam keberagaman. Di satu sisi, internet memberi ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan dukungan terhadap pluralisme dan hak asasi manusia. Namun, di sisi lain, ia juga menjadi alat bagi kelompok intoleran untuk menyebarkan ujaran kebencian dan propaganda yang memecah belah .
Meskipun demikian, gerakan-gerakan sipil terus berkembang, terutama di kalangan anak-anak muda, yang menggunakan platform digital untuk mempromosikan pesan-pesan toleransi dan keberagaman. Kampanye media sosial yang didukung oleh organisasi masyarakat sipil, lembaga non-pemerintah, dan individu-individu progresif telah berhasil menciptakan ruang-ruang dialog yang lebih inklusif. Kampanye-kampanye ini, seperti yang terdapat dalam buku ini, memperlihatkan kreativitas dan komitmen generasi muda dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan di tengah tantangan yang ada.
Keberagaman adalah kekayaan yang menjadi pondasi penting dalam membangun masyarakat yang inklusif dan adil. Dalam dunia yang semakin terhubung, penting bagi kita untuk mengangkat dan merayakan perbedaan, serta membela mereka yang kerap diabaikan atau dimarginalkan. Buku ini hadir sebagai dokumentasi dari upaya kolektif kami dalam memperkuat nilai-nilai pluralisme, toleransi, dan hak asasi manusia melalui media sosial.
Sepanjang Agustus 2023 hingga Agustus 2024, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dengan dukungan penuh Friedrich Naumann Stiftung (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menjalankan kampanye media sosial yang melibatkan berbagai karya dari jaringan anak-anak muda di seluruh daerah Indonesia. Kampanye kolaboratif ini kami namakan ‘Ngonten Keberagaman’’ atau Ngober. Kampanye ini berfokus pada isu-isu keberagaman, termasuk perlindungan hak minoritas dan pembelaan terhadap mereka yang rentan.
Kami mengundang partisipan dari pelbagai daerah untuk mengirimkan karya terbaiknya dalam beragam bentuk, antara lain infografis, microblog, video pendek, hingga foto. Karya-karya ini kemudian dikurasi. Karya-karya yang dianggap memenuhi kriteria kemudian dipublikasi di platform media sosial yang dikelola oleh Sejuk, yakni Instagram, TikTok, dan website. Dengan format yang bervariasi, setiap karya memberikan perspektif yang segar tentang pentingnya hidup dalam harmoni di tengah keberagaman.
Sebanyak 14 kali penyelenggaraan Ngober dalam periode 2023-2024. Dari ratusan karya yang masuk, kami memilih 10 pemenang di setiap periode, yang karyanya kemudian dipublikasikan di media sosial kami. Karya-karya ini bukan hanya menunjukkan kreativitas anak muda, tetapi juga semangat untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Kami berharap bahwa buku ini dapat menjadi sumber inspirasi, menunjukkan betapa kuatnya suara kolektif kita dalam mendukung keberagaman dan pluralisme di Indonesia. Semoga upaya ini dapat terus berlanjut, mendorong lebih banyak orang untuk berani berbicara, berkarya, dan memperjuangkan masyarakat yang lebih toleran dan inklusif.
Unduh Booklet Ngober di sini