Aksi #SaveRohingya di depan Kedutaan Besar Myanmar (24/11/2016)
Koalisi Masyarkat Sipil Indonesia untuk Solidaritas Rohingya (SOLIDeR) mendesak pemerintah Myanmar untuk membuka akses masuk dan jaminan keamanan bagi komunitas internasional ke negara bagian Rakhine, terutama distrik Maungdaw untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan di sana.
Akses masuk tersebut menjadi kunci bagi jalan penyelesaian damai dan akuntabel dari sejumlah kekejaman massal yang dilakukan oleh milter Myanmar pada kelompok etnis Rohingya akhir-akhir ini.
SOLIDeR meminta pemerintah Bangladesh untuk menerapkan prinsip non-refoulment dalam menyikapi gelombang pengungsi dari distrik Maungdaw dan sekitarnya. SOLIDeR juga meminta pemerintah Bangladesh untuk bekerjasama dengan lembaga kemanusiaan untuk menjamin hak-hak pengungsi dengan baik
Koalisi mengecam tindakan militer Myanmar yang melakukan extrajudicial killing, penahanan sewenang-wenang, perkosaan perempuan dari etnis Rohingya dalam operasi militer tersebut.
SOLIDer menilai, selain dibukanya akses, penyelesaian kasus Rohingya saat ini membutuhkan keberanian dan kemauan politik Myanmar menuju pada upaya rekonsiliasi, keadilan dan perdamaian serta reformasi di tubuh keamanan.
Koalisi menyesalkan, dibentuknya tim pencari fakta yang tidak melibatkan perwakilan dari kelompok independen dan perwakilan Rohingya. Meski demikian, SOLIDeR berharap tim tersebut akan bekerja secara terbuka, transparan, partisipatif dan akuntabel untuk dapat melaporkan kekejaman massal yang terjadi, sebagai dasar untuk menindak setiap pelaku, termasuk aktor intelektual di balik operasi militer ini.
SOLIDeR mendesak pemerintah Myanmar di bawah partai NLD untuk bisa mendindak penyebar siar kebencian atas dasar etnis dan agama.
SOLIDeR di tingkat regional menyesalkan diamnya Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) yang terus berlindung bekerja di bawah prinsip non-intervensi. Hal ini membuktikan, Komunitas ASEAN tidak mempunyai itikad yang baik untuk bekerja sesuai visi people centred.
Terkait pernyataan Duta Besar Indonesia untuk Myanmar Ito Sumardi, yang dimuat di Republika (21/11), SOLIDeR menyayangkan, bagaimana sebagai Duta Besar, seharusnya ia bisa menunjukkan rasa empatinya terhadap korban kekejaman massal ini. Pernyataan Ito dari Yangon cenderung berbeda dari sikap Menteri Luar Negeri Indonesia dan terkesan melegitimasi pemerintah Myanmar yang terbukti telah gagal dalam upaya melindungi setiap orang yang tinggal di Myanmar terbebas dari rasa takut dan tindak kekejaman massal, termasuk bagi kelompok Rohingya.
Dari jaringan SOLIDer di Myanmar mencatat, setidaknya sejumlah pelanggaran HAM telah terjadi selama 2 bulan terakhir di Negara Bagian Rakhine yang menimpa kelompok etnis Rohingya. Tercatat setidaknya 211 orang ditembak mati, 22 orang dibakar, 97 kasus perkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan, 387 orang yang ditahan secara sewenang-wenang, 135 orang dinyatakan hilang, dan 158 orang yang terluka dan disiksa. Selain itu, berdasarkan informasi yang diterima, tercatat kurang lebih 1688 buah rumah yang terbakar dan hancur.
Sementara itu, Rohingya yang berada di Indonesia juga terabaikan. Hak para pengungsi, terutama perempuan dan anak-anak tidak terpenuhi dengan baik. Anak-anak pengungsi yang lahir di Indonesia tidak memiliki akta kelahiran, tidak mendapatkan akses terhadap pendidikan formal yang diakui negara, serta kerap menerima bullying di tempat belajar.
Jakarta, 5 Desember 2016
Koalisi Masyarkat Sipil Indonesia untuk Solidaritas Rohingya (SOLIDeR) terdiri dari Human Rights Working Group (HRWG), LBH Jakarta, Dompet Dhuafa, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), SUAKA, Forum Dialog Antaragama untuk Kesejahteraan Holistik Anak (FORDAKHA) dan Solidaritas Indonesia for Asean Peoples (SIAP)