Kiri ke kanan: Andry Cahya, A. Mushaddeq dan Mahful Muis sebelum vonis di PN Jakarta Timur (7/3/2017)
Wajah dunia peradilan dan kebhinnekaan Indonesia serta janji Nawacita Presiden R.I. kembali dinodai dengan masih terjadinya Peradilan Sesat dan mallicious prosecution (penyidikan yang beritikad buruk: kriminalisasi) terkhusus kepada kelompok minoritas keagamaan. Pasalnya Majelis Hakim menjatuhkan hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara kepada Mahful Muis, Terdakwa I, dan Ahmad Mushaddeq, Terdakwa II, serta 3 (tiga) tahun penjara kepada Andry Cahya, Terdakwa III atas pasal penodaan agama.
Adagium yang menyatakan “lebih baik membebaskan 100 orang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah” tidak lagi berlaku bagi Majelis Hakim pada perkara ini.
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada perkara No: 1107/Pen.Pid/2016/PN.Jkt-Tim, dengan diketuai oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur Bapak Muhamad Sirad, S.H., M.H. jelas menutup mata akan seluruh fakta-fakta persidangan dan kejanggalan-kejanggalan proses penyidikan dan penuntutan yang terungkap di muka persidangan, sebanyak 20 kali persidangan pada perkara ini. Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim telah mencederai rasa keadilan masyarakat dan bentuk negara hukum (rechtstaat) yang menjunjung tinggi asas legalitas pada peradilan pidana, dimana seseorang tidak dapat dihukum apabila tidak ada hukum yang mengaturnya serta larangan bagi seseorang untuk dihukum kedua kalinya dengan dakwaan serta tuntutan yang serupa (ne bis in idem).
Putusan Majelis Hakim hari ini menunjukkan bentuk wajah institusi peradilan yang tidak independen dan parsial serta merupakan ladang pembantaian bagi mereka yang minoritas dan tertindas. Indikator awal sudah jelas dengan tidak adanya kesempatan yang sama yang diberikan oleh Majelis Hakim kepada Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat Hukum terdakwa serta para terdakwa. Meski demikian kami tetap mengikuti proses persidangan dengan baik sebagai bentuk hormat kami pada institusi peradilan.
Peradilan ketiganya diawali setelah terjadinya tragedi Mempawah, Kalimantan Barat tahun lalu (2016), yang berakibat 734 jiwa mengalami pembakaran tempat tinggal, kemudian berlanjut kepada lebih dari 8.000 orang kehilangan tempat tinggal dan asetnya di Kalimantan, serta mengalami kriminalisasi secara fisik dan ujaran kebencian selama proses pengusiran paksa – hanya karena diduga melakukan penyebaran pemahaman baru, Millah Abraham. Berangkat dari status korban kriminalisasi dan intoleransi tersebut, MUI lantas mengeluarkan fatwa “Sesat dan menyesatkan” kepada seluruh mantan anggota Gafatar dan melarang aktivitas keagamannya melalui SKB 3 Menteri.
Seperti telah diketahui bahwa para Terdakwa dituntut melakukan perbuatan penodaan agama dan makar yang diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 110 ayat (1) KUHP jo. Pasal 107 ayat (2) KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dimana Penodaan agama dan makar sendiri adalah bentuk kriminalisasi yang tengah naik daun hari ini di Indonesia. Dan sering digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat terkhusus kelompok minoritas. Pasal penodaan agama sebenarnya adalah ‘pasal karet’ yang kerap digunakan sebagai praktik negara melakukan “inkuisisi” kepada seseorang atau organisasi tertentu yang berbeda paham atau pandangan keyakinannya dengan agama mainstream.
Kami mencatat fakta-fakta persidangan selama kurang lebih 4 bulan yang terkumpul dari 24 saksi fakta dan saksi ahli yang dihadirkan justru mayoritas meringankan ketiga Terdakwa. Bahkan saksi dan ahli yang dihadirkan oleh JPU juga meringankan Para terdakwa. Ironisnya, fakta-fakta persidangan tersebut seakan diabaikan dalam tuntutan yang diajukan oleh JPU. Dan penyesatan fakta persidangan tersebut semakin dikuatkan setelah Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur memutus bersalah para terdakwa.
Tiga petinggi eks Gafatar bersama keluarga, para Penasehat Hukum dan pendamping di dalam sel PN Jakarta Timur saling mendukung setelah vonis dibacakan Majelis Hakim (7/3/2017)
Pada tahun 2016, Setara Intitute mencatat sebanyak 36 tindakan pelanggaran KBB dialami Gafatar: 28 tindakan dilakukan negara sebagai aktor dan 8 tindakan aktor non-negara. Sedangkan The Wahid Foundation mencatat 41 tindakan pelanggaran terhadap eks Gafatar: 28 dilakukan negara dan 13 oleh non-negara. Komnas HAM melaporkan terjadi 3 bentuk tindakan pelanggaran HAM yang dialami oleh eks Gafatar. Hal ini menegaskan bahwa eks Gafatar adalah korban kriminalisasi dan diskriminasi yang, ironisnya, sebagian besar terjadi karena kelalaian negara.
Mengacu pada data-data di atas, kasus eks Gafatar adalah salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diatur dan dijamin dalam Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Keyakinan (Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief) pada Sidang Umum PBB No. 36/55, 25 November 1981. Selain itu Konstitusi Negara Republik Indonesia dalam Pasal 28E dan 29 juga menjamin hak beragama atau berkeyakinan, berpendidikan dan memilih tempat tinggal kepada setiap warga negaranya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk itu kami Tim Advokasi Hak Atas Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (TAKBIR) akan melakukan upaya baik upaya hukum maupun non-hukum untuk menindaklanjuti peradilan sesat hari ini. Dan TAKBIR menghimbau kepada pembuat Undang-Undang untuk segera mereview pasal-pasal anti demokrasi seperti pasal penodaan agama dan makar agar pasal-pasal tersebut tidak lagi dimuat ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kedepannya.
Jakarta, 7 Maret 2017
Hormat Kami,
Kuasa Hukum Para Terdakwa
Tim Advokasi Hak Atas Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (TAKBIR)
Narahubung Tim Penasehat Hukum:
Yudistira ARH 0815 7884 7777
Pratiwi Febry 0813 8740 0670