Pembubaran paksa polisi terhadap aksi Komite International Women’s Day (IWD) 2017 mengecam kunjungan Raja Arab Saudi (2/3/2017)
Aksi Perempuan Kecam Kunjungan Raja Arab Kamis siang (2/3/2017) di dekat Kedubes Arab Saudi, Jakarta, dibubarkan paksa oleh polisi. Ketika massa yang terdiri dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Solidaritas Perempuan, Arus Pelangi dan elemen-elemen yang tergabung dalam Komite International Women’s Day (IWD) 2017 mulai aksi, secara represif polisi menyeret dan menangkapi 12 laki-laki peserta aksi. Peserta aksi perempuan didorong paksa agar bubar dan menjauhi Kedutaan Arab Saudi.
Setelah sekitar 30 menit ditangkapi dan dimasukkan ke mobil-mobil polisi, kedua belas peserta aksi dilepaskan lagi. Itu pun dengan pemaksaan oleh aparat kepolisian sebagai barter agar aksi segera bubar.
Jelas ini bentuk arogansi aparat kepolisian merampas kebebasan warga negara menyampaikan pendapat di muka umum. Demokrasi diciderai oleh tindakan aparat yang tidak profesional. Bahkan, bukan hanya teriakan, kata-kata kasar dari aparat juga diarahkan kepada perempuan-perempuan peserta aksi yang hendak bertahan menyampaikan aspirasinya.
Padahal, apa yang hendak disampaikan para peserta aksi adalah fakta-fakta penindasan yang dialami buruh migran perempuan di Arab Saudi. Mereka dipenjara, dipancung dan dihukum mati tanpa melalui proses persidangan yang adil. Praktik “perbudakan” yang menimpa buruh migran Indonesia di Arab Saudi pun berlangsung hingga kini. Mereka dikriminalisasi dan dieksploitasi. Sebagian besar korban adalah buruh migran perempuan yang mengalami kekerasan, baik fisik maupun seksual.
Sumartini dan Warnah adalah perempuan buruh migran yang dikriminalisasi dengan tuduhan sihir dan telah mendapatkan hukuman cambuk serta hukuman pidana penjara selama 10 tahun. Sumartini dan Warnah sedang menunggu grasi agar segera dikabulkan oleh Raja Arab Saudi.
Adalah hak konstitusional warga negara untuk menyampaikan kekecewaan dan kecaman terhadap Jokowi-JK yang lebih peduli pada seberapa banyak investasi yang digelontorkan Arab Saudi tanpa upaya mendesak “paduka Raja” untuk bertanggung jawab menghentikan parktik-praktik perbudakan dan perlakuan hukuman yang tidak adil lagi jauh dari penghormatan hak asasi manusia yang menimpa buruh migran Indonesia di bawah pemerintahan Raja Salman.
Alasan kepolisian bahwa aksi tidak ada ijin terlalu mengada-ada di era keterbukaan ini. Peserta aksi sudah melayangkan surat pemberitahuan kepada polisi. Itu sudah cukup. Tugas polisi adalah mengupayakan agar aksi berjalan aman dan tidak menimbulkan gangguan ketertiban umum.
Alih-alih melayani warganya yang menyampaikan aspirasi agar fakta penindasan terhadap para buruh migran di Arab Saudi segera diakhiri, negara ini lebih peduli bagaimana menjamu sedemikian rupa Raja Salman yang memimpin negerinya dengan terus menutup ruang-ruang demokrasi.[]