
Pelukis dan feminis Dewi Candraningrum melihat bahwa kekerasan gender banyak terhubung dengan ketidakadilan ekologi dan karena itu sangat erat dengan ketidakadilan sosial.
Dewi mencontohkan, pemerkosaan terhadap bocah perempuan 14 tahun di Bengkulu, 2016 lalu, Yuyun, di sekitar lokasi kejadian banyak sekali bekas-bekas galian atau lubang kerusakan lingkungan.
Hal tersebut ia sampaikan kepada 25 jurnalis dari wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur yang berkunjung ke studionya, Jejer Wadon Art Space, Boyolali, Jumat malam (10/1). Kunjungan ini merupakan bagian dari kegiatan Workshop & Story Grant Meliput Isu Kebebasan Beragama dan Berekspresi yang diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan AJI Kota Surakarta dan Internews, 10-12 Januari 2019 di Solo.
“Pemerkosaan terhadap Yuyun di Bengkulu terjadi di daerah yang banyak lubang-lubangnya,” ujar peraih gelar master dari Monash University, Australia, dan doktor dari Universitaet Muenster, Jerman, ini.
Ia juga memandang, tubuh dan seksualitas perempuan paling rentan dijadikan fitnah politik, terlebih jika masuk di setiap mega skandal yang terjadi di negeri ini yang tidak jauh dari ketidakadilan sosial. Di sana, perempuan acap kali diseret menjadi objek dan media juga paling senang menghubung-hubungkannya.
Tidak Mengeksploitasi Korban Kekerasan Seksual
Uraian mantan pemimpin redaksi Jurnal Perempuan ini ditopang dari kisah-kisah pedih perempuan yang ia lukis, baik yang terpajang maupun terserak di studionya seperti Ianfu, korban 1965, Kendeng, dan sebagainya. Cara ini ia pilih untuk mendorong para jurnalis dari berbagai media online, cetak dan radio itu agar dalam pemberitaannya mulai lebih sensitif terhadap berbagai fakta subordinasi dan kekerasan terhadap perempuan dan berbagai upaya perempuan dalam memperjuangkan hak dan melawan ketidakadilan.
Jurnalis KBR, Kantor Berita Radio, kontributor Semarang Anindya Putri merasa memperoleh cara pandang perempuan yang sangat kaya dari kegiatan ini dan membantu menajamkan sensitivitasnya dalam membuat berita.
“Dari materi yang diberi mbak Dewi, aku lebih mengerti bahwa tubuh perempuan masih rentan sebagai fitnah sosial hingga saat ini,” kata Anin.
Apa yang disampaikan Dewi, sambungnya, penting sekali, sehingga kini lebih paham dan tahu bagaimana harus bertindak dan bersikap saat meliput korban kekerasan seksual dan tidak mengeksploitasi korban.
Lewat potret Sukinah (Kendeng), Salim Kancil, Wiji Thukul, Christina Sumarmiyati (Gerwani) sampai Yesus yang dilukis Dewi Candraningrum, para peserta membentuk kelompok mendiskusikan perspektif perempuan dan semangat keadilan yang tersirat.

Story Grant Liputan Keberagaman
Workshop yang digelar dari Jumat sampai Minggu juga membekali peserta dengan prinsip kebebasan beragama dan berekspresi yang dibawakan Deputy Director Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra, keamanan digital oleh Ketua AJI Yogyakarta Tommy Apriando dan panduan meliput keberagaman oleh editor The Jakarta Post Ahmad Junaidi dan produser Kompas TV Budhi Kurniawan.
Selain itu, perwakilan dari Budha (dua pengurus vihara di Solo), pendeta Gereja Kristen Jawa (GKJ) Manahan Solo dan komunitas LGBTI (Talitakum Solo) ikut menyampaikan diskriminasi yang mereka alami. Kelompok korban dan minoritas di Solo ini menaruh harapan besar kepada para jurnalis dan media agar memberitakan isu-isu intoleransi secara lebih adil.
Di hadapan 12 jurnalis perempuan dan 13 laki-laki, Rainbow, perwakilan komunitas LGBTI Solo, menyarankan adanya upaya-upaya dari kalangan jurnalis dan media untuk memahami terlebih dahulu perspektif keberagaman seksual, sehingga ketika memberitakan tidak lagi terjebak dalam stigma dan stereotipi. Rainbow juga menaruh harapan agar media dan jurnalis memilih narasumber yang lebih ramah terhadap keberagaman.
“Kami dari komunitas ingin tahu dulu apa yang diinginkan kawan-kawan media agar berita-beritanya tidak malah memperkuat stigma terhadap LGBTIQ,” kata Rainbow yang berinisiatif menawarkan agar ada perjumpaan lebih lanjut antara media dengan komunitas LGBTI.
Para jurnalis yang terlibat dalam workshop ini mengirim proposal liputan keberagaman ketika mendaftar. Setelah seluruh gagasan di atas didiskusikan bersama antara pemateri dan peserta, di hari ketiga masing-masing proposal dipresentasikan di hadapan Dewi Candraningrum, Budhi Kurniawan dan Ahmad Junaidi dan didiskusikan bersama-sama.
Dari proses itu, ketiganya memilih lima proposal untuk diteruskan menjadi liputan-liputan keberagaman yang akan mendapat beasiswa terbatas masing-masing Rp. 7.000.000.-
Berikut adalah 5 proposal yang mendapat program Story Grant SEJUK:
- Babad Tawangalun Banyuwangi, Ira Rachmawati, Kompas.com
- Imlek untuk Merawat Keberagaman Solo, Mariyana Ricky PD, Solopos
- Pesantren Demak Promosikan Keberagaman, Sigit Aulia Firdaus, Tagar.id
- Rumah Singgah Anak dengan HIV/AIDS, Anindya Putri, KBR
- Program Wisata yang Menghormati Kearifan Lokal di Banyumas, Abdul Aziz Rasjid, Merdeka.com