
“Merasa aman dan nyaman ini tidak hanya saat di ruang kerja, tapi juga saat di luar ruang kerja,” papar Margith.
Margith Damanik, reporter tim Investigasi di IDN Times, percaya bahwa lingkungan kerja yang ideal seharusnya adalah yang memastikan tiap anggotanya merasa aman dan nyaman. Hal ini pun berlaku juga untuk jurnalis perempuan yang seringnya lebih merasa tidak aman dan mendapat lebih banyak kendala dibandingkan jurnalis laki-laki.
Menurut Margith penting bagi perusahaan termasuk media tempat jurnalis perempuan bekerja untuk memastikan karyawannya pulang dari tempat kerja dalam kondisi aman tanpa khawatir pulang malam sendirian menggunakan transportasi publik juga cukup istirahat untuk kembali bekerja keesokan harinya.
Itu adalah sedikit cuplikan dari obrolan bersama Margith Damanik melalui live instagram SEJUK, Rabu (22/4) kemarin. Selain itu Margith banyak bercerita tentang pengalaman dirinya sebagai jurnalis perempuan di ruang redaksi dan lokasi peliputan.
Disampaikan Margith selama ini berdasarkan pengamatannya jumlah jurnalis perempuan muda dan laki-laki yang ditemuinya sudah cukup berimbang. Tidak hanya jurnalis di dalam ruang redaksi IDN Times tapi juga jurnalis perempuan yang ditemui di lokasi liputan.
“Jadi, kalau masyarakat lihatnya kebanyakan jurnalis itu laki-laki apalagi yang turun ke lapangan ya nggak juga. Banyak kok jurnalis perempuan muda yang juga turun ke lapangan termasuk saat ada aksi (demo -red),” tambah lulusan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) ini.
Menulis Berperspektif Perempuan dan Korban
Jumlah jurnalis yang seimbang ini juga menunjukkan bahwa jurnalis perempuan mendapatkan ruang di dalam redaksi terutama dalam peliputan isu-isu yang menyangkut perempuan. Menurut Margith, penting juga memiliki rekan kerja yang suportif dalam artian sama-sama memiliki perspektif perempuan dan perspektif korban.
“Syukurnya, kami di IDN Times selalu diajarkan untuk memiliki perspektif perempuan dan perspektif korban. Ini yang mendorong semua reporter dan editor di IDN Times tidak melihat perempuan hanya sebagai objek. Karena selalu ditekankan demikian,” jelas Margith.
Ini juga yang menyebabkan kebijakan redaksional di IDN Times tidak pernah memfokuskan hanya jurnalis perempuan saja yang turun untuk peliputan isu perempuan, karena jurnalis laki-laki juga ditekankan memiliki perspektif yang sama. “Semuanya turun, tidak ada yg dikhususkan, tidak ada yang diwajibkan karena isu perempuan jadi hanya jurnalis perempuan yang turun.”
Pemberitaan-pemberitaan di media yang sering kali melecehkan perempuan dan menyudutkan perempuan, menurut Margith tergantung dari kebijakan redaksional masing-masing. Perspektif perempuan dan korban tidak bisa hanya dimiliki oleh jajaran reporter saja, tapi juga harus dimiliki editor hingga pimpinan media.
“Tapi objektifikasi di pemberitaan juga gak dialami oleh perempuan saja, laki-laki juga sering diobjektifikasi di dalam pemberitaan. Meski, faktanya memang lebih banyak menyerang perempuan,” ujar perempuan yang banyak menulis tentang isu sosial ini.
Bentuk keamanan saat bekerja yang juga harus dimiliki oleh jurnalis perempuan adalah tidak mendapat pelecehan. Pelecehan yang dimaksud tentu saja tidak hanya berupa pelecehan seksual melibatkan aktivitas fisik, tapi juga candaan menjurus seksual, body shaming dan mengukur kapasitas seseorang berdasarkan gender.
Selain itu pemenuhan hak-hak jurnalis perempuan seperti cuti haid, cuti hamil, dan cuti melahirkan juga harus diberikan. “Pemberian cutinya bagaimana, waktunya semana bisa juga disesuaikan oleh kebijakan redaksi. Kalau di IDN Times, nggak hanya wartawan yang dapat cuti seperti itu, tapi karyawan perempuan juga,” tambah Margith.
Memberikan Ruang untuk Narasumber Perempuan di Pemberitaan
Margith juga bercerita bahwa dirinya selama ini tak pernah merasa kesulitan menemukan narasumber ahli perempuan untuk pemberitaan yang dia kerjakan, termasuk untuk isu-isu perempuan.
“Sebenarnya untuk saat seperti sekarang yang hampir semua orang menggunakan sosial media dan internet, tidak susah mencari seseorang. Bahkan bisa dicari juga alternatifnya, sehingga tidak hanya dipenuhi pendapat ahli yang itu-itu saja,” jelas Margith.
Menjelang akhir obrolan, Margith berpesan untuk teman-teman muda yang kelak ingin menjadi wartawan. “Jangan berhenti belajar, harus terbuka terhadap isu apapun dan menjaga kepercayaan. Tidak hanya kepercayaan dari narasumber tapi juga dari Redaksi yang sudah menugaskan. Yang paling penting tentu saja memiliki perspektif korban agar saat membuat pemberitaan tidak menyudutkan kelompok minoritas agama maupun perempuan,” tutup Margith.
Obrolan bersama Margith Damanik adalah rangkaian program live Instagram di media sosial Instagram SEJUK @kabarsejuk2008 yang dilakukan rutin setiap Rabu dan Sabtu.
Penulis: Yuni Pulungan