Oleh: Marceliano Ezra
Di suatu Kamis pagi yang cerah berawan, Shelter Perwakos didatangi sejumlah transpuan dari penjuru kota Surabaya. Mereka hadir secara rutin di tempat ini seminggu dua kali. Berjumlah 15 orang, semua duduk berjajar menghadap papan tulis tua. Hawa panas berangsur mereda diterpa kipas angin di ruangan itu.
Seorang transpuan menghampiri saya yang sedari tadi duduk di pojok kiri belakang. Wajah transpuan ini tak asing, saya lebih dulu mengenal sosoknya dibandingkan 14 orang lainnya. Sonya mengajak saya untuk naik ke lantai dua karena rapat ini akan dimulai sebentar lagi.
Sembari menaiki anak tangga, dirinya berkata, “Rapat rutin ini tiap minggu membahas aktivitas kami.”
Sonya atau Mami Sonya panggilan akrabnya. Bersedia membagi waktunya untuk berbincang-bincang dengan saya. Tanpa sekat, Mami Sonya menceritakan sepenggal memorinya kala itu tentang awal mula berdirinya komunitas transpuan ini.
“Dulu sebelum kami di sini, banyak waria yang mejeng (menjajakan diri) di jalan, dulu sama Kotamadya mereka dibuang di daerah Jalan Kenjeran yang waktu itu masih banyak pepohonan, disuruh mejeng di daerah situ. Ya, akhirnya mereka digigit nyamuk, ga nyaman. Kalau ada yang ketahuan nyebong (melacur) di tempat lain, mereka akan dibuang lagi di tempat itu,” terang Mami Sonya sambil mengelap pelipis mata karena hawa semakin panas.
Sembari duduk dan membolak-balikkan handphone-nya, Mami Sonya berusaha mengingat kembali kenangan masa itu. Saat Mba Pengki Ketut dan Mami Ratna, rekan sesama transpuan, mendatangi pemerintah kota untuk meminta tempat tinggal dan tempat mencari nafkah mereka yang baru.
Perjuangan tak pernah mengkhianati hasil setelah berbulan-bulan bolak-balik ke Pemerintah Kota, atas izin Wali Kota Surabaya, mengabulkan permohonan mereka dengan memberi lahan baru. Lokasi ini jauh lebih layak dibandingkan tempat tinggal sebelumnya.Tak tanggung-tanggung pemerintah memberikan Lahan yang sudah bersertifikat secara cuma-cuma.
Berselang beberapa bulan setelah menuntut tempat baru, tepatnya pada 1978, kawan transpuan Surabaya yang didalamnya ada Sonya, Mami Ratna, dan Mba Pengki, akhirnya memantapkan mendirikan shelter khusus bagi komunitas transpuan yang dinamai Perwakos, akronim dari Persatuan Waria Kota Madya Surabaya. Organisasi ini didirikan atas dasar untuk mempersatukan dan menyejahterakan serta mengangkat martabat kaum transpuan di Kota Surabaya yang lekat dengan stigma negatif.
Sejak terbentuknya komunitas ini, didapuklah Mba Pengki sebagai ketua dan rekannya Mami Ratna sebagai wakil ketua. Sejak pembentukan komunitas tersebut Perwakos mencatatkan 150 waria sebagai anggota yang tersebar di seluruh Kota Surabaya.
Sebagai organisasi legal, Perwakos memiliki sejumlah aturan yang ternyata berdampak pada keengganan waria masuk ke dalam organisasi ini. Salah satunya adalah mengurangi kegiatan prostitusi.
“Toh pada hakikatnya, Perwakos tetap harus jalan sesuai cita-cita mulia, mendorong para transpuan untuk lebih mensejahterakan diri melalui bakatnya dibandingkan harus mejeng di jalan yang sewaktu-waktu dapat membahayakan dirinya,” ujar Mami Sonya.
Di Bawah temaram lampu ruang santai lantai atas, dirinya menuturkan komunitas juga memiliki masalah terkait tempat sewa kantornya, karena kurangnya dana untuk memperpanjang kontrak membuat rumah waria harus berpindah-pindah tempat.
“Dulu kantor Perwakos pertama kali didirikan dekat jantung kota Pahlawan, di Jalan Kenikir 3 no.38, di kediaman Mba Pengki selama dua dekade lebih sampai tahun 2002,” terang Sonya.
Komunitas Perwakos selalu dibayangi-bayangi kekhawatiran tiap tahunnya apabila sudah jatuh tempo pembayaran kontrak. Sudah tiga kali shelter berpindah lokasi. Tahun 2003-2019, sempat ada funding (bantuan dana) sehingga Perwakos bisa sedikit bernafas lega lantaran ada uluran bantuan tangan dari lembaga internasional kala itu.
“Tahun 2020, kami (perwakos) pernah tidak punya shelter, ibaratnya kita vacuum selama setahun, masih berusaha mencari dana agar bisa membuka shelter lagi. Puji Tuhan, tahun 2021 kita bisa dapat rumah di daerah Pacar Kembang sampai sekarang,” tutur Sonya.
Shelter Perwakos
Rumah shelter Perwakos tampak selayaknya rumah mungil di gang kecil di Surabaya. Ia berada di antara pemukiman warga. Kehadirannya punya cerita panjang tentang
perjuangan kawan transpuan dalam menemukan tempat yang aman dan nyaman di tengah kota yang sibuk ini. Shelter tersebut menjadi simbol harapan dan solidaritas bagi komunitas transpuan baik sesama anggota maupun warga sekitar.
[VIDEO] https://youtu.be/fiVRu3agUyg
Dalam perjumpaan dengan masyarakat, komunitas transpuan tidak ragu untuk berbagi kasih kepada siapa pun. Turun aktif terlibat dengan masyarakat amat berguna memperkaya pengalaman bersosialisasi sehingga bisa menciptakan lingkungan yang inklusif. Banyak kegiatan yang pernah dilakukan bersama dengan warga sekitar. Salah satunya saat pembagian sembako bulan Desember lalu.
“Perwakos pernah mendapat bantuan, itu kami juga akan memberikan bantuan-bantuan tersebut ke tetangga-tetangga sekitar. Supaya bahasa jawa-nya itu “kecipratan”, mereka bisa merasakan juga. Tetapi sesuai pemanfaatannya. Kita berikan kepada yang kurang mampu,” tuturnya.
Meski awalnya dimaksudkan untuk berlangsung beberapa kali waktu saja, tetapi dari sanalah kebutuh komunitas transpuan untuk mendapatkan perhatian menjadi perbincangan. Maka, untuk merespon antusiasme teman-teman waria/transpuan dalam kegiatan sosial, mereka melanjutkannya dengan berbagai aktivitas, termasuk di lingkungan pemerintah.
Dalam kesempatan yang sama, Mami Sonya menambahkan sejak dulu Perwakos sudah banyak terlibat terutama di lingkungan dinas sosial. Supaya kedepannya, segala urusan komunitas yang urgent dapat dipermudah jalannya.
“Di Liponsos (Unit Pelaksana Teknis Dinas Lingkungan Pondok Sosial) pernah waria yang pintar pangkas rambut kita taruh di sana untuk bantu potong rambut orang-orang yang “berkekurangan”. Itu kegiatan kerja bakti tiap 3 bulan sekali,” terang Mami Sonya.
“Ada sekitar 40-50 waria yang bantu motong, karena yang disitu penghuninya ada lebih dari 450 orang, syukur mendapat apresiasi yang baik,” tambahnya.
Kegiatan ini dijadikan ajang untuk mengasah kemampuan kawan waria dan memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk melihat bahwa ada potensi kawan transpuan bekerja di sektor ini. Biasanya Dinas Sosial tiap tahun hanya memberi 25 kuota untuk pelatihan salon, diharapkan potensi ini menjadi pertimbangan pemerintah untuk menambah jumlah kuota pelatihan.
Sembari bercerita tentang kegiatan sosial, dirinya menuturkan komunitasnya pernah bergabung dengan salah acara hiburan rakyat terbesar pada tahun 1978 silam.
“Dulu pernah tiap kamis malam jumat di Taman Remaja ada acara khususnya namanya Waria Show. Bisa bebas mengekspresikan diri. Kalau ada yang pintar nyanyi nanti bisa mengisi disitu. Mereka dibayar loh,” kata Mami Sonya seraya diikuti gelak tawa mengingat kenangan itu.
Kebahagiaan itu ternyata tidak berlangsung lama hanya dalam kurun waktu 12 bulan. Izin penyelenggara telah habis. Saat itu juga berbarengan mulai menguatnya sentimen negatif di tengah masyarakat terhadap kelompok LGBT (Lebian, Gay, Bisexsual, Transgender). Pada akhirnya, pemerintah kota tidak memberikan izin kembali acara tersebut.
Namun, kegiatan di Perwakos terus berkembang. Pada 2015, Kawan transpuan getol berusaha mengakomodir keterampilan teknis tiap anggota. Dengan mendirikan komunitas lain beberapa diantaranya seperti SWADAYA akronim dari Divisi Waria Muda Surabaya dan INTI MUDA, dengan fokus untuk anak muda yang memiliki jiwa ketertarikan terhadap dunia organisasi. Tetapi ternyata tidak mudah dalam mengembangkan organisasi sehingga hanya dalam waktu beberapa bulan setelah terbentuk, terpaksa harus dibubarkan.
Keterbatasan Akses Kesehatan
Selain menyediakan ruang ekspresi bagi transpuan, Perwakos juga menyediakan akses hak-hak yang harus dimiliki warga, salah satunya akses kesehatan. Mami Sonya memulai hal ini dengan melakukan advokasi ke berbagai puskesmas di Surabaya, dirinya juga dibantu oleh sahabat karibnya sesama transpuan bernama Feby Damayanti yang bekerja sebagai aktivis isu-isu kesehatan. Tujuannya untuk memberikan akses layanan kesehatan terutama HIV/AIDS dan edukasi pentingnya terhindar dari resiko penyakit tersebut kepada kaum LGBT.
Di tengah usaha itu, ancaman HIV dan AIDS selalu mengintai, seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Faktor-faktor yang membuat mereka rentan terjangkit penyakit ini begitu kompleks dan saling terkait. Kondisi ini diperburuk oleh kurangnya program edukasi yang tepat, yang dapat memberikan mereka pengetahuan yang cukup untuk melindungi diri mereka sendiri.
Dalam riuh rendah kehidupan kota, di balik gemerlap lampu-lampu yang seolah menyembunyikan setiap sudut gelap, terdapat kisah-kisah yang jarang tersentuh oleh pandangan umum. Salah satunya adalah cerita Sonya yang berjuang tidak hanya untuk diterima sebagai dirinya sendiri, tetapi juga untuk mendapatkan akses kesehatan yang layak.
Pagi itu, Sonya duduk di ruang tamu sebuah puskesmas di pusat Kota Surabaya dengan penuh harap dan sedikit rasa cemas. Di kota ini, klinik yang ramah terhadap komunitasnya hanya bisa dihitung dengan jari. Tak jarang, banyak yang menolak atau bahkan memperlakukannya dengan dingin begitu mereka mengetahui identitasnya. Saat itu dirinya ingin sekadar mendapatkan pemeriksaan VCT (Voluntary Counseling Testing). Mami Sonya harus melawan tatapan sinis dan cemoohan yang tersurat tetapi terasa jelas.
“Dulu sempat pegawai puskesmas itu ogah-ogahan melayani, jadi kayak dilempar sana-sini, ya sakit hati tah, tersinggung kok gada yang mau menangani,” ucapnya sembari mengelus dada yang terasa sesak jika mengingat momen itu.
Kawan sekomunitasnya memang tidak seberuntung Mami Sonya yang sudah terlebih dahulu mendapatkan akses kesehatan. Banyak dari teman sekomunitasnya masih berjuang keras mendapatkan hak-hak dasar mereka. Termasuk akses ke layanan kesehatan yang ramah dan tidak diskriminatif. Namun, keterbatasan ini tidak menyurutkan semangat mereka. Komunitas Perwakos, sebuah komunitas yang terdiri dari para waria, selalu berusaha saling mendukung dan memperjuangkan hak-hak secara bersama.
Dari kacamata Mami Sonya, usaha keras mereka membuahkan hasil. Melalui upaya gigih dan kerja keras tanpa henti, mereka berhasil menyakinkan beberapa puskesmas untuk membuka layanan yang inklusif dengan membuka layanan testing VCT (Voluntary Counseling and Testing) khusus untuk komunitas LGBT.
[FOTO VCT PERWAKOS]
Pihak Puskesmas sedang melakukan testing VCT terhadap seorang waria (dok.pribadi/Marceliano Ezra)
Salah satunya adalah kegiatan testing VCT ini yang berhasil diselenggarakan tiap sebulan sekali oleh Puskesmas Pacar Kembang, Surabaya yang berkolaborasi dengan Perwakos.Berhasil mengumpulkan 30 orang dari kelompok LGBT untuk melakukan tes
HIV dan AIDS. Program ini menjadi bukti nyata dari kerja keras dan dedikasi komunitas dalam memperjuangkan hak-hak kesehatan.
[VIDEO] https://youtu.be/m9kn__8MeA0?si=mX1A_NVgXMC322H_
Keterbatasan akses kerja
Transpuan tak punya banyak opsi ketika membicarakan kesempatan bekerja yang layak. Selain menjadi pengamen jalanan dan pekerja salon, masih banyak transpuan menjadi pekerja seks untuk sekadar bisa bertahan hidup.
Data pekerjaan yang paling banyak ditekuni transpuan di Perwakos
(dok.pribadi/Marceliano Ezra)
Salah satu hal kurang beruntung dialami oleh seorang transpuan bernama Irma (60), mantan guru yang banting stir menjadi wiraswasta dengan membuka usaha salon tata rias yang telah ditekuninya bertahun-tahun. Dirinya menegaskan bahwa untuk menjadi seorang guru harus menjadi manusia sejati.
“Waktu itu saya merasakan bahwa menjadi ASN itu ada persyaratan yang harus dilakukan, kalau kerja di pemerintah itu mereka punya prinsip heteronormatif yang artinya mereka tidak bisa memperkerjakan transpuan sebagai guru. Kalaupun di tempat lain katanya bisa, tetapi di surabaya saya mengalami hal itu tidak bisa,” tutur Irma.
Akhirnya dirinya menyadari bahwa untuk menopang hidupnya dia harus beralih profesi. Dirinya telah menekuni keterampilan merias wajah sejak duduk di bangku SMP. Selepas keluar dari pekerjaan lamanya. Ia mencoba berbagai keterampilan yang dimiliki. Setelah berpikir panjang lebar dan mempertimbangkan potensi yang bisa menghasilkan rupiah, pilihan jatuh menjadi hairdresser. Saat itulah ia memutuskan untuk membuka salon tata rias.
Keseharian Mba Irma sebagai penata rias di salonnya,
(dok.pribadi/Marceliano Ezra)
Dirinya merasa beruntung memiliki usaha sendiri dibandingkan dengan teman sekomunitasnya. Usaha kecil yang dirintisnya beberapa tahun lalu kini berkembang, memberikan sumber penghasilan yang stabil untuk dirinya. Namun, keberuntungan ini tidak membuatnya lupa akan kawan transpuan yang masih berjuang keras. Ia menyadari betapa sulitnya bagi kebanyakan temannya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
“Sebenarnya banyak teman-teman waria yang punya bakat di kecantikan, menjahit, nyanyi, dan segala macam. Tetapi mereka terpaksa mengubur bakat itu karena tidak memiliki modal usaha,” ujar Irma sembari duduk santai.
Perhatian Pemerintah acap kali berat sebelah terhadap kaum transgender. Pemerintah melalui Dinas Sosial biasanya hanya memberikan bantuan berupa alat-alat kepada mereka yang telah memiliki keterampilan saja. Hal ini, turut menyita perhatian dari Perwakos, baginya pemerintah seharusnya memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan keterampilannya sehingga bisa mengurangi ketergantungan menjadi pekerja seks.
“Kemarin ada bantuan dari kementerian Sosial, bukan kami mengabaikan bantuan dari mereka. Tetapi bantuan itu belum apa-apa, belum ada dampak yang kemudian mengangkat teman-teman yang awalnya di jalanan (mejeng) untuk membuka usaha,” pungkasnya.
Dirinya juga menuturkan, “bantuan yang diberikan mereka (pemerintah) belum optimal. Biasanya hanya untuk 50 orang, padahal jumlah kami saat ini 350 orang. Lalu bagaimana sisanya yang 300 orang?” Tambahnya.
Bantuan pemerintah memang sangat diharapkan demi keberlangsungan hidup komunitas Perwakos tetapi harus sesuai tepat sasaran dengan kebutuhan. Bukan hanya sekadar formalitas sembako belaka untuk menyenangkan hati, tetapi harus terukur dan berkelanjutan.
“Cuma lagi-lagi kami menekankan bantuan itu bukan tidak berguna, memang sangat dibutuhkan teman-teman. Cuma program itu hanya berlangsung seminggu setelah itu
tidak ada lagi. Kami tidak menolak segala bantuan yang diberi, tetapi kami juga mendorong mereka untuk memahami kami, kebutuhan-kebutuhan kami. Seperti modal usaha, pelatihan-pelatihan bagi mereka yang tidak terfasilitasi, subsidi usaha, dan pelatihan manajemen,” timpalnya lagi.
Alhasil pekerja seks menjadi pilihan terakhir bagi kawan transpuan yang tidak mendapatkan kesempatan bekerja formal untuk memenuhi tuntutan ekonomi. Sempitnya akses pekerjaan formal yang dapat menerapkan kebebasan berekspresi gender adalah menjadi salah satu alasan sebagian besar kawan transpuan menempuh pilihan ini.
Polemik kebebasan beragama
Kurnia sedang membaca al-quran di kediamannya
(dok.pribadi/Marceliano Ezra)
Salah satu yang sulit bagi kawan transpuan adalah aktivitas keagamaan. Meskipun memiliki kerinduan yang besar, tetapi mereka harus mengubur kerinduan tersebut. Di balik keinginan yang besar untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, terdapat
dinding-dinding tak terlihat yang seringkali menghalangi. menghadapi kenyataan bahwa rumah ibadah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan kedamaian, malah kerap kali menjadi tempat yang penuh dengan penghakiman dan penolakan.
“Selalu punya kenangan pahit tentang agama, khususnya institusi agama, yang saya anut dan kebetulan paling dominan di negeri ini. Keberadaan saya (sebagai transpuan) dianggap sebagai dosa yang harus dibasmi. Kerap kali mendapatkan perundungan yang dilakukan oleh tokoh agama dan organisasi masyarakat ketika saya beribadah di masjid maupun tempat tinggal saya,” imbuh Kurnia.
Kurnia Frida, yang akrab dipanggil Mbak Kurnia, adalah salah seorang waria dari komunitas Perwakos. Dirinya adalah salah satu pendiri pengajian Al-Ikhlas , sebuah kelompok pengajian khusus waria yang telah memberikan ruang spiritual bagi mereka yang sering kali terpinggirkan.
Suatu sore, di sebuah ruangan sederhana yang dipenuhi dengan kehangatan, Kurnia duduk di kursi kecil, bercerita tentang perjalanannya membangun pengajian Al-Ikhlas bersama dengan kawan seniornya kala itu.
“Waktu itu ada lima senior yang berkumpul di dalam mobil, dalam perjalanan menuju rumah seorang teman yang baru saja meninggal. Dalam perjalanan itu, merek menyaksikan bagaimana perawatan jenazah teman mereka kurang. Pemandangan itu menimbulkan keprihatinan mendalam di hati mereka,” Kata Kurnia.
Dalam perjalanan pulang mereka mendiskusikan cara supaya waria bisa diperhatikan oleh masyarakat. Dari obrolan di dalam mobil itu, tercetuslah ide untuk membentuk sebuah komunitas yang fokus pada aspek sosial dan religi, untuk memperjuangkan hak-hak waria.
Pengajian ini tidak berjalan mulus awalnya, sejumlah ormas pernah mendatanginya. Mereka mendatangi kediamannya yang merupakan salah satu tempat pengajian Al-Ikhlas di kawasan Kutisari, Surabaya Timur. Mereka heran dengan pendirian pengajian yang diisi seluruhnya oleh waria, Lantas mendatangi untuk berdemo.
Malam itu, langit Surabaya tertutup awan gelap, seolah menyiratkan firasat kurang baik. Di tengah khusyuknya berdoa, tiba-tiba ketenangan dipecahkan oleh suara gaduh. Sekelompok ormas datang dengan teriak-teriakan lantang dan wajah-wajah yang dipenuhi dengan amarah dan ketidaksetujuan. Di tengah kepanikan itu, Mba Kurnia tidak gentar. Dengan senyum lembut mendatangi mereka. Ia mengajak beberapa diantara mereka untuk duduk dan berbicara dengan tenang.
Dengan sabar, Kurnia menjelaskan tujuan pengajian itu untuk berusaha menemukan kediaman spiritual dan memberikan kesempatan kepada waria untuk beribadah dalam komunitas yang penuh kasih. Perlahan, ketegangan mulai mencair. Hingga gerombolan tersebut membubarkan diri satu per satu.
Kurnia dan kawan komunitas lainnya, mengupayakan untuk aktif terlibat di masyarakat. Dalam hal sosial, kegiatan Pengajian Al-Ikhlas sangat variatif, mulai dari menyediakan bantuan shodaqoh dan dukungan kepada anak yatim. Bahkan di Bulan Ramadhan, mereka turut berbagi kebaikan dengan membagi takjil kepada yang membutuhkan.
“Kita kegiatan agama biasanya mengadakan arisan atau perkumpulan pengajian gitu dari teman-teman yang berasal dari luar Surabaya, mereka setiap sebulan sekali datang ke salah satu rumah yang sudah ditetapkan sebelumnya. Untuk mempererat ikatan antar anggota,” kata Kurnia.
Pengalaman itu, membuat dirinya sadar bahwa menghormati norma-norma dalam agama sangat penting. Sebab itu, dirinya membuat aturan untuk menggunakan 3 model tampilan untuk mengaji.
Pertama, waria yang berpenampilan laki-laki. Waria yang yang telah hijrah dan meninggalkan penampilan perempuan. Mereka biasanya lebih tua dan telah mengadopsi penampilan laki-laki sepenuhnya.
Kedua, waria dengan penampilan campuran. Berdandan ala kadarnya sebagai perempuan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi akan kembali ke penampilan laki-laku saat beribadah.
Ketiga, waria berpenampilan perempuan sepenuhnya. Terlihat seperti perempuan meskipun mengenakan seragam laki-laki. Namun, saat ibadah seperti sholat, mereka menanggalkan atribut perempuan dan kembali ke penampilan laki-laki.
Lika-liku kehidupan juga dialami oleh Komunitas Kristen yang dipimpin oleh Handayani. Dikenal dengan nama Persekutuan Hati Damai dan Kudus, komunitas ini adalah gagasan Oma Handayani. Persekutuan doa pernah merasakan pahitnya diskriminasi, bahkan dari pelayan Tuhan yang seharusnya menjadi teladan bagi jemaatnya.
“Maaf bu, disini tidak pernah membaptis orang seperti anda!”, kata seorang Bapak Pendeta sembari mengarahkan jari telunjuknya ke arah oma.
Kalimat itu terlontar sesaat ketika Handayani meminta untuk dibaptis. Tiga puluh tahun yang lalu.
Jawaban itu menghujani dirinya seolah-olah sedang dihadapkan pada sidang penghakiman. Oma Handayani seketika tubuhnya mematung, sama sekali tidak sanggup bergeming. Pikirannya kala itu mendadak buyar tak karuan, menghadapi penolakan yang begitu keras dan tak terduga.
Selain itu, pandangan jemaat gereja lain terhadap persekutuan gereja ini kerap kali dianggap rendah. Beberapa diantaranya bahkan ada yang berani main hakim sendiri. Penolakan kegiatan beribadah sudah menjadi makanan sehari-hari persekutuan ini.
“Pernah ditolak untuk ibadah di gereja lain, pernah ditolak oleh beberapa pendeta lantaran dianggap usaha yang sia-sia dan tidak akan didengar Tuhan,“ ujar Handayani, mengenang momen penolakan yang dihadapi.
Kenangan masa lalunya yang pahit dan penuh penolakan justru menjadi api penyulut semangat Handayani untuk bercita-cita mendirikan persekutuan doa yang aman bagi waria. Pengalaman penghakiman yang dialaminya, meninggalkan luka mendalam yang
tidak mudah dilupakan. Namun, dari luka itu tumbuh tekad yang kuat dalam dirinya. Handayani ingin menciptakan tempat di mana setiap waria dapat beribadah tanpa rasa cemas dan takut yang tidak akan menolak siapapun hanya karena identitas gendernya.
Persekutuan doa ini dibangun pada awalnya menggunakan nama WGL akronim dari Waria Gay Lesbian. Namun, mendapatkan respon yang kurang baik dari salah seorang jemaat karena tidak enak didengar dan cenderung negatif di telinga banyak orang. Kritik tersebut bukan sekadar keluhan, melainkan cermin dari tantangan yang dihadapi oleh kounitas ini dalam upaya mereka untuk diterima secara luas. Hingga pada akhirnya setelah berunding beberapa minggu, mengambil nama Hidup Damai dan Kudus, baginya Hidup Damai dan Kudus berarti tidak memandang gender atau denominasi gereja, apakah itu Katolik, Advent, atau lainnya. Itulah alasan mengapa komunitasnya diberi nama Hidup Damai dan Kudus, sebuah nama yang mencerminkan penerimaan dan kasih yang universal.
Tak hanya itu, Handayani beserta kawan transpuan lainnya, juga turut aktif terlibat di kegiatan doa masyarakat dan waria se-jawa bali yang dilakukan tiap dua tahun sekali. Dari setiap kota, diambil sepuluh orang untuk berpartisipasi: Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Jember, Malang, Probolinggo, Lumajang, Trenggalek, Jogja, Cirebon, dan banyak kota lainnya, sehingga totalnya mencapai 500 orang.
Dukungan ini memungkinkan banyak orang untuk berkumpul dan merayakan Natal dalam semangat kebersamaan dan penerimaan, mempererat ikatan di antara komunitas LGBT di berbagai kota.
*Mahasiswa Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara