
Resistensi masyarakat terhadap komunitas LGBTIQ di wilayah timur Indonesia tidak sekeras di bagian barat. Selama pandemi saja di wilayah barat Indonesia terdapat kasus-kasus yang menimpa transpuan, seperti penusukan di Aceh, prank kardus sembako isi sampah di Bandung oleh Youtuber Ferdian Paleka, sampai pembunuhan Mira di Jakarta Utara. Namun begitu, tetap saja diskriminasi dan stigma tidak sepi menimpa LGBTIQ di Indonesia bagian timur.
Situasi tersebut dipotret oleh para jurnalis dari Papua, Papua Barat, Maluku, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat selama Workshop dan Story Grant Meliput Isu Keberagaman untuk Jurnalis Indonesia Timur yang digelar 25, 26, 27 dan 29 Agustus 2020.
Bahkan, transpuan yang bergiat di Jayapura Lolita Marry Perez ikut menyampaikan kesaksian bahwa komunitasnya memang tidak dibedakan dalam mengakses layanan publik. Ada kelonggaran bagi transpuan menjadi guru atau pendidik di Papua dan pejabat desa di Maumere dengan mengenakan pakaian perempuan.
Namun begitu, tidak semua tempat kerja menerima ekspresi transpuan dengan pakaian yang disukainya, karena stigma dan diskriminasi masih belum hilang.
“Saya sendiri ingin sekali untuk menjadi PNS. Tetapi waktu itu tidak diterima karena saya ingin tetap pakai rok,” kisah ketua Rombongan Jaman Milenial (Rojali) yang akrab disapa Mami Lolita.
Selain Lolita, kesaksian kasus-kasus diskriminasi dipaparkan Dr. Rakeeman Jumaan mewakili jemaat Muslim Ahmadiyah Papua Barat dan Thony yang merupakan penyintas orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dari Yayasan Sorong Sehati.
Jurnalis Pos-Kupang, media di bawah naungan Tribunnews, Novemy Leo membenarkan Lolita. Betapa masih banyak masyarakat di wilayah NTT menolak LGBTIQ yang hendak menunaikan ibadah sebagai tuntunan agama yang melekat dalam diri mereka.
“Hingga kini keberadaan LGBT di Kota Kupang belum banyak bisa diterima oleh masyarakat dan juga sebagian gereja,” paparnya di hari terakhir kegiatan yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Internews.
Baik Lolita maupun peserta workshop menyadari betul tantangan memberitakan isu-isu LGBTIQ agar wartawan tidak terus melakukan dosa-dosa jurnalisme, karena turut menstigma. Untuk itulah kandidat doktor di Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Khanis Suvianita membekali para jurnalis dengan prinsip-prinsip Sexual Orientation, Gender Identity and Expression and Sex Characteristics (SOGIESC) dan bagaimana jurnalis memberitakan LGBTIQ dalam sesi Media, Gender, dan Seksualitas.
Bagaimana Meliput Konflik dan Kekerasan di Papua?

Dalam sesi Panduan Meliput Keberagaman, jurnalis Sorongnews.com Olha Irianti Mulalinda mengajukan kebingungannya bagaimana jurnalis dan media di wilayah Papua dan Papua Barat dalam memberitakan polemik otonomi khusus (Otsus) dan konflik terkait isu-isu yang mencuat di Papua.
Menurut Olha wartawan-wartawan Papua lebih mengambil posisi aman untuk tidak masuk dalam konflik dua pihak, pro integrasi ataupun kemerdekaan. Terlebih, sambung Olha, trauma Agustus 2019 ketika memberitakan aksi menentang rasisme, yang merupakan buntut kasus dari Surabaya, beberapa jurnalis mengalami intimidasi.
“Ini berkaitan dengan nyawa teman-teman jika bicara (memberitakan) terkait referendum. Ada pro dan kontra. Apalagi soal Otsus, ada yang inginberlanjut, ada yang tidak,” papar aktivis Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) wilayah Papua Barat.
Merespon dilema tersebut, Direktur SEJUK Ahmad Junaidi selaku pemateri menegaskan, hal utama yang harus diperhatikan dalam memberitakan konflik adalah keselamatan nyawa jurnalis. Hal lainnya, jurnalis bisa mengambil angle di luar konflik, tidak masuk dalam soal mendukung atau menolak Otsus.
Sebab, menurut editor The Jakarta Post ini banyak persoalan di Papua yang belum ditulis para jurnalis untuk memberikan ruang terhadap kelompok-kelompok rentan yang tidak bersuara, mengungkap akses pendidikan yang sulit, korupsi, dan seterusnya yang merupakan dampak dari sejarah panjang konflik Papua.
“Mengecam dan memberitakan kekerasan, orang dibunuh, perempuan diperkosa bukanlah soal dukung atau tidak mendukung otsus,” tegas Junaidi agar jurnalis Papua tetap menulis dalam bingkai kemanusiaan dengan selalu menimbang keselamatan dirinya.

Selain Junaidi dan Khanis, pemateri workshop adalah jurnalis TEMPO sekaligus Kepala Divisi Online Freedom of Expression SAFEnet Ika Ningtyas (Keamanan Digital untuk Jurnalis), produser Kompas TV (Dosa-dosa Media dalam Meliput Keberagaman), Deputy Director Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra (HAM Kebebasan Beragama), dan peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad (Prinsip-prinsip Kebebasan).
Peraih Story Grant SEJUK
Dari total 6 peserta perempuan dan 7 laki-laki yang terlibat dalam kegiatan workshop, berikut 10 proposal liputan yang berhak mendapat beasiswa program Story Grant masing-masing Rp 7.000.000:
- 15 Tahun Pengungsi Ahmadiyah Transito, Jalan Terjal Mencari Keadilan – (Zainuddin Syafari, Radio Global FM Lombok)
- Ekosistem Kreatif Sebagai Skema Bertahan Hidup Anak Muda Multikultur di Ambon, (Priska Birahy, terasmaluku.com)
- LGBT di Kupang, Iman dan Penerimaan Gereja – (Novemy Leo, pos-kupang.com)
- Mengapa Transpuan di Kupang Masih jadi Warga Kelas Dua? – (Yohanes Adrianus, Okezone.com)
- Peran Jaringan Ahmadiyah di Ambon – (Tajudin Buano, Harian Ambon Express)
- Masjid Syuhada Larantuka, Flotim dan Keberagaman Umat Beragama – (Rini Kartini, Maumere TV)
- LGBT ODHA di Ambon dan Bagaimana Mereka Berjuang Melawan Stigma dan Diskriminasi – (Khairiyah Fitri, ambonnesia.com)
- Perkembangan Ahmadiyah di Papua Barat – (Olha Irianti Mulalinda, sorongnews.com)
- Mempertahankan Peringkat Melalui Proyek Kampung Toleransi Beragama – (Tantowi Djauhari, teropongnews.com)
- Menembus Kabut Stigma di Tengah Pandemi Covid-19 – (Irenius J. A. Sagur, ekoranttt.com)
Selaku mentor Story Grant Meliput Keberagaman di Wilayah Timur Indonesia: Sri Wahyuni Fatmawati Pulungan (Pemimpin Redaksi Sejuk.org), Ahmad Junaidi (editor The Jakarta Post dan Direktur SEJUK), dan Budhi Kurniawan (produser Kompas TV).