Menjelang Transgender Day of Rememrance (TDOR), Persatuan Waria Pontianak (Perwapon) membagikan kisah inspiratif dalam upaya menghapus stigma dan diskriminasi terhadap transpuan. Ketika banyak transpuan di daerah lainnya di Indonesia ditentang, menanggung praktik-praktik diskriminasi dan intoleransi, transpuan-transpuan di Pontianak diterima dengan baik oleh masyarakat.
Perwapon hadir untuk warga-warga yang paling membutuhkan. Mereka berinteraksi dan bersosialisasi dengan cara memberi bantuan kepada panti asuhan, panti jompo, dan pesantren di sekitar Pontianak dan daerah Kalimantan Barat (Kalbar) lainnya.
“Kami transpuan di Pontianak diterima dengan baik oleh masyarakat. Karena itu hampir tidak ada lagi dari kami yang beraktivitas di jalanan,” ungkap Ketua Perwapon Tiara kepada 20 jurnalis yang meliput wilayah-wilayah Kalimantan Barat (13/11).
Aksi-aksi sosial Perwapon, sambung Tiara, terlebih dahulu dilakukan kunjungan untuk mendata warga yang tidak mampu, kemudian menentukan kebutuhan-kebutuhan apa yang paling mendesak. Karena itu, bantuan yang diberikan tidak melulu sembako. Salah satu pesantren yang mereka bantu, bukan lembaga yang berbayar.
“Karena kami masuk hingga ke kamar dan dapur warga yang layak mendapat bantuan, sehingga yang kami sumbangkan juga mulai dari sembako, kasur, tikar, pasir, batu-bata, sampai semen. Tergantung apa yang paling dibutuhkan mereka” jelas transpuan kelahiran 1983 ini.
Dialog: ruang aman kelompok rentan
Perjumpaan Perwapon dengan kalangan jurnalis Kalbar ini juga dilakukan perwakilan jemaat Ahmadiyah Balai Harapan, Sintang, yang masjidnya diserang pada 3 September lalu. Tujuan dari dialog antara Perwapon dan Ahmadiyah Sintang dengan para jurnalis adalah membangun ruang aman dalam pemberitaan tentang komunitas-komunitas rentan.
Dialog ini bagian dari Workshop dan Story Grant Jurnalisme Keberagaman bertema Memberitakan Konflik Etnis & Agama di Kalimantan Barat yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Norwegian Embassy di Singkawang, 12-14 November 2021. Karena itu, selain perwakilan transpuan yang berharap ada perhatian dari media agar memberi ruang bagi suara-suara mereka, Ketua Pemuda Ahmadiyah Balai Harapan Maulana Habib Ma’ruf juga menitipkan mimpi serupa.
Maka, ia pun memberikan fakta-fakta diskriminasi dan kekerasan yang dialami jemaat di Sintang yang selama ini tidak sampai ke publik atau media.
“Isu yang beredar bahwa masjid kami di Balai Harapan disumbang dari (Ahmadiyah pusat) London itu fitnah. Pembangunan masjid itu dari dana kami sendiri. Patungan. Masjid baru sekali kami pakai untuk salat Idul Fitri dan Idul Adha,” tutur Habib yang sangat kecewa atas penghancuran masjid Ahmadiyah Sintang dan pembakaran bangunan di belakangnya.
Menurut Habib, pada saat kejadian itu ibu-ibu dan anak-anak menangis, bahkan ada yang histeris. Sampai hari ini mereka masih trauma.
Diskriminasi dan upaya persekusi terhadap jemaat Ahmadiyah sudah berlangsung lama. Padahal, sambung pria berusia 20 tahun ini, warga sekitar Desa Balai Harapan, yang mayoritas beragama Katolik dan beretnis Dayak, sangat menerima Ahmadiyah.
“Tahun 2005 mubaligh (Ahmadiyah) kami sebelumnya dipukuli sampai berdarah-darah, tetapi aparat tidak menindak dan menangkap para pelakunya. Alasan inilah yang (mungkin) membuat mereka kembali melakukan kekerasan,” kata Habib.
Jurnalis Insidepontianak.com Wati Susilawati merasa proses workshop sangat mengantarkan perubahan pemahaman dan sikap sebagai jurnalis yang lebih simpatik dan berempati kepada kelompok rentan.
“Saya akan lebih berhati-hati memilih diksi agar dalam memberitakan tidak menimbulkan ketersinggungan kepada kelompok minoritas,” aku Wati.
Dengan mengikuti materi-materi tentang hak asasi manusia, kebebasan beragama dan berkeyakinan, keberagaman gender dan seksualitas, prinsip-prinsip jurnalisme keberagaman, sampai perjumpaan dengan perwakilan transpuan dan Ahmadiyah, jurnalis Suara Pemred Singkawang Rudi Hariyanto mengungkapkan komitmennya untuk tidak akan pernah membuat berita yang dapat menimbulkan provokasi yang memperparah berkonflik.
Hal tersebut sesuai dengan prinsip jurnalisme keberagaman yang disampaikan Direktur SEJUK Ahmad “Alex” Junaidi dan Koordinator SEJUK Kalbar Dian Lestari: media harus memberi ruang dan pemihakan kepada korban dan kelompok yang terpinggirkan hak-haknya.
Peraih Story Grant Jurnalisme Keberagaman
Di ujung workshop, mentor Story Grant Dian Lestari dan Edho Sinaga bersama tim dari SEJUK “menggodok” proposal-proposal liputan keberagaman yang dipresentasikan oleh dua puluh jurnalis Kalbar. Dari proses tersebut, berikut 8 proposal terpilih yang diteruskan mendapat beasiswa terbatas:
1. Bagaimana Pemuda Pemudi Ahmadiyah Menghindari Stigma di Lingkungan Kampus – Cantya Zamzabella (iniborneo.com).
2. Pernikahan Beda Agama di Singkawang – Rizki Kurnia (Tribun Pontianak)
3. Rumah Sayang Pontianak, Pendidikan untuk Semua – Muhammad Al Jauhari Fatria (kalbaronline.com)
4. Stigma pada Seniman Tari Laki-laki – Tri Purnawati (Hi Pontianak)
5. Cara Masyarakat di Desa Retok Menjaga Keberagaman, Antaretnis dan Agama – Bella (pifa.co.id)
6. Melihat Transpuan di Pontianak Lebih Dekat – Samsul Hardi (Kompas TV)
7. Damai Ahmadiyah di Sompak – Alfon (Tribun Pontianak)
8. Rekonsiliasi Korban Konflik Ahmadiyah Sintang – Taufik (RRI Sintang)
Cover: Pemuda Ahmadiyah Balai Harapan, Sintang, dan Ketua Perwapon, Pontianak, Kalbar.