Sepanjang Jalan Pahlawan lalu-lalang kendaraan tidak terlalu ramai di depan Masjid Mubarak, Sukaluyu, Kota Bandung. Angin segar pagi berhembus, awan biru dan cerah menemani kedatangan kami ke Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Bandung di hari Minggu (9/6/2024). Beberapa spanduk di halaman depan tertulis “Love For All Hatred For None” (cinta untuk semua, tak ada kebencian untuk siapa pun) sebagai slogan dari prinsip kemanusiaan jemaat Ahmadiyah.
Masjid Mubarak yang berlantai tiga merupakan tempat segala aktivitas JAI Bandung, selain beribadah (salat). Terdapat ruang rapat, klinik, perpustakaan, asrama laki-laki, tempat mubaligh, kamar tamu dan aula yang biasa digunakan untuk masak bersama. Saat kedatangan, kami berkumpul di ruang rapat dan bertemu Ketua Jemaat Ahmadiyah Bandung Tengah, Denny Muhamad Rizkiana dan jemaat Ahmadiyah lainnya.
Berkemeja kotak biru dan berpeci hitam, Denny menjelaskan tentang Ahmadiyah dengan menampilkan power point ”11 Fakta Ahmadiyah”. Sering dikatakan bukan ’Islam’ karena perbedaan kalimat syahadat, Deni menyebut tidak ada yang berbeda darihal itu, sambil menunjukkan video bagaimana Jemaat Ahmadiyah ber-syahadat. Ahmadiyah meyakini lima rukun Islam dan enam rukun iman.
Di sisi lain, ada tiga perbedaan antara mereka dan jamaah lain. Pertama, Ahmadiyah meyakini dajal itu sudah ada. Kedua, imam Mahdi yang dijanjikan Nabi Muhammad telah datang. Ketiga, khilafat ’ala minhajin nubuwwah sudah berdiri.
”Menurut kami, pemaparan tentang dajal itu kiasan, bukan dalam arti sebenarnya. Kenapa matanya satu? Karena fokusnya ini ke duniawi saja. Mata satu laginya tidak ada,” ujar Denny, Minggu (9/6).
Berangkat dari ruang rapat, kami beranjak berkeliling ke perpustakaan W. R. Supratman yang menyimpan bermacam-macam buku dan terjemahan Al-Quran. Ahmadiyah sudah menerjemahkan Al-Quran dalam 78 bahasa termasuk bahasa Jawa dan Sunda. Penamaan di balik perpustakaan berwarna putih ini karena Wage Rudolf Supratman adalah tokoh nasional Ahmadiyah di masa pra-kemerdekaan yang menciptakan lagu Indonesia Raya.
Homeopati akan Jadi Tren
Di halaman depan bagian kiri Masjid, sebuah ruangan bertuliskan ”Homeopati” adalah klinik yang disediakan JAI Bandung. Seorang Ahmadi sekaligus medikus Homeopati, Dadan Ramdani (48) memakai kaos polo abu-abu memaparkan pengobatan Homeopati hadir sejak akhir abad 18 oleh dokter asal Jerman, Samuel Hahnemann. Pengobatan ini dilakukan metode dengan kemiripan gejala. Homeopati mengambil dari kata ”Homeo” berarti sama dan ”Phaty” bermakna cara.
”Kalau di China itu gini, pernah dengar film kungfu? Racun diobati dengan racun. Ya model begitulah, kemiripan,” ucapnya.
Praktik pengobatan di klinik ini biasa dibuka untuk umum setelah salat Jumat tanpa dipungut biaya. Dadan menunjukkan salah satu obat cair yang sudah diekstrak dan globules berwarna putih ke tangannya, yang nantinya diteteskan cairan ekstrak, lalu berubah jadi obat. Ia menyebut obat ini tidak mengandung kimia sama sekali. Saat pasien yang berobat belum sembuh, mereka boleh berobat kembali untuk mendapat obat yang cocok.
“Sekali-kali, punya orang tua, paman, adik, datanglah ke sini, salat Jumat di sini. Gratis, bebas enggak dipungut biaya, sok saja bolak-balik (datang berobat). Banyak polisi minta, kadang saya punya pasien dari India,” ajak Dadan.
Homeopati sebagai pengobatan sudah dilakukan oleh orang-orang Ahmadi sejak Hadrat Masih Mau’ud atau Mirza Ghulam Ahmad mendirikan Ahmadiyah. Menurutnya, pendiri Ahmadiyah memprediksi bahwa metode ini akan menjadi tren yang banyak dipakai masyarakat. Dadan menggambarkan obat ini efektif dan efisien, seperti yang dilakukan oleh Royal Family di Inggris ketika Covid-19.
”Hadrat Masih Mau’ud bersabda, ini (obat) tembus sampai ruh. Apa artinya tembus sampai ruh? Ini adalah satu-satunya obat ke psikis, kejiwaan kita. Saat dulu perang Teluk, pasukan Amerika dari Irak, tidak langsung dikembalikan, tetapi dikarantina. Apa yang diberikan pada mereka? 90 persen memakai Homeopati,” lanjut Dadan.
Menyinggung praktik Homeopati di Indonesia, kebanyakan tenaga kesehatan adalah dokter-dokter umum. Praktik pengobatan ini sudah diakomodir Kementerian Kesehatan, tetapi Dadan menyayangkan Homoepati dimasukkan pada pengobatan tradisional. Sedangkan di Eropa, pengobatan ini menjadi complementary atau pelengkap dari pengobatan alopati.
Untuk mendapatkan izin praktik ini, Dadan harus bersekolah D3 ke Singapura, walaupun dia lulusan sarjana Teknik Elektro di Institut Teknologi Nasional (ITENAS). Ia memperlihatkan sertifikat kelulusan dari Wisma Perubatan Homoephaty Tutorial tertanggal 15 Desember 2020. Di samping itu, pengobatan ini dilakukan oleh orang-orang Ahmadi sebagai sumbangsih kemanusiaan.
Denny, selaku pengurus Ahmadiyah Bandung Tengah, menambahkan, pada peringatan Hari Bhayangkara 1 Juli 2023 Kapolsek Cibeunying Kaler datang dan meminta agar jemaat Ahmadiyah Bandung mengadakan acara bakti sosial di Masjid Mubarak. Karena itu, Hari Bhayangkara tahun lalu oleh jemaat Ahmadiyah Bandung diperingati dengan pengobatan gratis homeopati dan alopati. Selain itu, sambung Denny, digelar juga pemeriksaan mata dengan menghadirkan dokter dan pembagian 100 lebih kaca mata gratis.
“Acara ini khusus untuk warga sekitar masyarakat Masjid Mubarak. Kita bagikan 200 kupon pengobatan gratis dan 100 kupon pemeriksaan mata gratis masyarakat Cibeunying Kaler yang kami titipkan ke bererapa RW, RT, petugas kecamatan dan kelurahan. Alhamdulillah animo masyarakat sangat baik menghadiri acara baksos ini. Malahan kuota kacamata yang awalnya 100 ditambah karena masih banyak yg meminta,” papar Denny.
Konsep Tabligh Ahmadiyah
Setelah perbincangan bersama Dadan, kami mewawancarai Gilang (22), pemuda Ahmadi yang tinggal di asrama Masjid Mubarak. Membicarakan mengenai syiar Ahmadiyah, Gilang menerangkan konsep yang dinamakan waqf-e-nou, yakni menyerahkan diri sejak lahir oleh orangtua untuk membaktikan diri kepada Ahmadiyah, Islam dan kemanusiaan. Gerakan yang dicetuskan Hadhrat Masih atau Khalifah Ahmadiyah ke-4 ini tidak mewajibkan waqf-e-nou sebagai mubaligh. Sebaliknya, seorang mubaligh yang membaktikan kepada Ahmadiyah disebut waqf-e-zindagi.
Menjadi hal lumrah dalam Islam ketika mendengar kata tabligh, muuslim Ahmadiyah memiliki tugas serupa untuk menyampaikan ajarannya. Namun, bagi Gilang, arti tabligh adalah menyampaikan ajaran semata. Orang-orang Ahmadi yang berperan untuk menyampaikan disebut mubaligh. Lebih lanjut, para mubaligh yang sudah menempuh pendidikan 7 tahun bisa mendapatkan gelar syahid atau gelar bagi Ahmadi yang banyak membaktikan diri dan berkorban segalanya untuk agama.
Bergulir pada tabligh di sektor politik, lelaki yang sedang menempuh perkuliahan di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Bandung (STIKOM) menguraikan bahwa ada larangan seorang Ahmadi mengatasnamakan Ahmadiyah jika masuk ke dalam politik. Namun, sebagai individu masuk ke politik adalah hal yang diperbolehkan.
Kemudian, Gilang tegas sewaktu ditanyakan perihal hambatan membicarakan sebagai Ahmadi. Selama ini, dirinya tidak pernah takut terintimidasi oleh siapa pun untuk membahas Ahmadiyah di lingkungannya. “Aku sendiri berpegang tegas pada Ahmadiyah, bahwa tabligh itu hanya menyampaikan. Mereka mau percaya atau enggak, itu bukan urusan aku,” ucapnya.
Merespons belum diakui negara, tiada gerakan revolusioner dari pemuda Ahmadi, apa pun keputusan negara itu harus diterima. Jemaat Ahmadiyah dilarang untuk melawan negara. Apabila diusir oleh negara sekalipun, jemaat tidak akan melawan tindakan negara. Menutup wawancara kami bersama Gilang di perpustakaan, dia berpesan agar orang-orang memahami Ahmadiyah dari sumbernya.
”Untuk teman-teman Islam, NU, Muhammadiyah dan Persis, mau lah untuk mendengarkan Ahmadiyah dari sumbernya langsung. Kalau ’katanya, katanya’ terus, kemungkinan besar orang ini enggak tahu apa itu Ahmadiyah. Ya mungkin mendengarkan dari ustaznya atau media,” tutupnya. [Kru Liput: Akmal, Tina, Vika, dan Aryani/Pers Mahasiswa Jabar]
Penulis: Mohammad Akmal Albari