“Masuk dulu, cobain minuman kami. Siapa tahu rasa gula kami beda, kan katanya dibeli pakai uang haram,” sambut Abigail, bukan nama sebenarnya, kepada kami, para jurnalis kampus yang tergabung dalam SEJUK.
Dengan celana pendek dan piyama berwarna merah jambu ia susun sandal-sandal di depan. Rumah berwarna hijau itu terletak di antara gang dan berdempet dengan rumah warga lainnya. Di depan, ada jemuran yang berjejer seragam sekolah. Abigail segera minta kami masuk ke dalam dan memanggil teman-teman lainnya.
Tampak di samping dari daun pintu, berdiri lemari berisi tas-tas koleksi milik mereka. Terpampang pula poin-poin hak asasi manusia (HAM) di selembar karton. Kami duduk di lantai, beralas tikar tipis.
Rumah yang miliki dua kamar itu berisi beberapa orang. Saat kami duduk di ruang depan, terdengar suara-suara dari dapur.
Rumah atau yang disebut basecamp itu ditempati enam orang. Kata Abigail, basecamp ramai didatangi para pekerja seks (PS) yang bergabung, dari laki-laki, perempuan, hingga transgender.
Abigail sendiri merupakan koordinator di sana, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) OPSI atau Organisasi Perubahan Sosial Indonesia.
OPSI merupakan komunitas yang melingkupi para pekerja seks, dengan syarat keanggotaan pernah menjadi pekerja atau masih bekerja melayani jasa seksual. Kata Abigail lagi, OPSI tersebar di 21 provinsi di Indonesia. Medan salah satunya.
Walaupun sempat vakum selama tiga tahun, ia hidupkan kembali komunitas itu dengan pengetahuan, dukungan, advokasi, hingga keamanan bagi teman-teman di sana. Ia banyak bantu teman-teman dengan pemberian advokat hingga mediasi.
Minggu pagi itu (12/6) sekitar jam sepuluh kami duduk bersama mereka. Abigail ditemani dua perempuan dan seorang transgender. Namanya Kidam, Kasa, dan Cinta. Ketiganya adalah nama samaran.
Kidam duduk di ujung sebelah kanan. Dalam balutan kaus abu-abu selengan, tampak bola matanya berputar dengan jemari-jemari yang tertaut. Intonasi bicaranya naik turun saat mengobrol dengan kami. Kadang emosional, kadang melirih, dan juga terdengar datar dengan tatapan mata yang kosong.
“Aku B20 Kak,” akunya. Ia buka status dirinya di hadapan kami tanpa ragu.
“Aku positif HIV,” lanjut Kidam. Transgender yang mengatakan lulusan SMK itu ceritakan pengalamannya. Ia membuka latar dirinya langsung di hadapan kami.
Kepalanya sesekali mengangguk sambil menuturkan pengalaman masa lalunya. Kadang ia kerutkan kening mencoba mengingat kembali beberapa hal yang sudah terlewat.
Mengilas tahun 2017, adalah tahun pertama Kidam terjun menjadi pekerja seksual. Bukan mudah menyandang profesi yang kerap tak diterima masyarakat itu, apalagi ia pasang status transgender.
Menengok isu transgender di Indonesia, tak jauh selalu dilekatkan dengan identitas seksual, resistensi keagamaan dan kehidupan sosialnya. Sering kali para transgendermendapati perilaku yang tidak adil di kehidupannya. Hal ini pun merupakan kenyataan serupa yang menimpa Kidam. Ketidakadilan seperti perilaku yang melecehkan dan sulitnya mengakses fasilitas publik merupakan bentuk diskriminasi yang tak jarang dihadapi para transgender.
Perlakuan Tidak Manusiawi
Brownis Amanda tersaji di atas dua piring di hadapan kami. “Silakan Kak, dimakan,” kata Cinta sambil beranjak pergi ke dapur. Sembari kunyah cemilan kala itu, tuturan demi tuturan cerita Kidam belum juga redakan rasa penasaran.
Saat mengetahui ia ‘positif’, sambung Kidam, dirinya enggan bertemu orangtuanya.
“Posisinya aku takut mamakku kepikiran, jadi pergi aku ke tempat kakakku,” jelasnya.
Pergilah dia ke rumah kakaknya saat itu, yang rupanya kakak Kidam pun akhirnya tahu keadaan Kidam lambat laun. Dari sanalah diskriminasi dimulai, dari lingkungan keluarganya.
Kidam diusir dari rumah oleh abang iparnya sendiri. Ia terpaksa pergi dari rumah tanpa bekal pengalaman maupun skill bekerja.
Rupanya tak berhenti pada keluarganya, Kidam pun terkucilkan dari teman-teman tongkrongan. Satu persatu kawannya tak ada yang mengajak Kidam nongkrong bersama lagi.
Suatu ketika rekomendasi datang dari Kiki, kawannya, dan memperkenalkan Kidam untuk bergabung ke komunitas OPSI. Ucap Kiki yang sesama transgender, OPSI merupakan ranah yang sesuai dengan Kidam.
“Timbang aku sendirian, ga ada teman kan? Terpuruk juga, yaudalah,” kisah Kidam saat itu mengiyakan langsung ajakan Kiki.
Rupanya masalah diskriminasi masih berlanjut. Lelaki yang memanfaatkan media sosial Mi Chat untuk mendapatkan pasangan kencan ini masih mengalami diskriminasi di lingkungannya.
Kidam menghela napasnya dengan kuat. Bola matanya berputar melirik ke atas, sambil jemari mengeketuk-ngetuk lantai.
“Kesal lho Kak, ga ada ganggu mereka tapi dilempari balok, tai, diludahin. Padahal awak kan mau cari makan Kak,” keluhnya.
Kidam tunjuk Jalan Ngumbang Subakti, dekat pasar delapan. Sering pembalap motor di sana dirasakannya dan kawan-kawan seprofesi sangat meresahkan. Lama-lama, ia tidak lagi ambil peduli akan hal itu, walaupun di awal ia sempat begitu kesal dengan mereka.
Sekitar lima belas motor, lanjut Kidam, kadang berhenti meneriakinnya. Dari pemberian label bencong, hingga teriakan diminta tobat.
Kasa duduk di sebelah Kidam dengan menyilangkan kaki. Pandangannya kosong, sesekali menunduk menatap tikar yang berwarna hijau. Posisinya badannya tetap tegak sembari mendengarkan tuturan Kidam.
Rambut yang digulung ke belakang memperjelas tulang leher Kasa yang tegas. Batang rokok hampir tak pernah lepas dari tangan dan mulutnya yang sesekali menghisap.
Kasa sudah 22 tahun menjalani profesi pekerja seks. Dia menuturkan masalah-masalah yang tidak jauh dengan kisah Kidam. Hinaan dan ejekan yang sering dilontarkan orang-orang pada Kasa sejak tahun 2000, membuatnya kini jauh lebih kebal.
Ia melenguh, menyandarkan punggungnya ke dinding rumah. Kasa membawa kami pada malam yang menjadi salah satu pengalaman yang tidak disukainya.
Malam itu, ia bersama teman-temannya mangkal di depan salah satu hotel. Ia kenakan pakaian yang menarik perhatian untuk dapatkan client. Perumpamaan ‘yang diminta apa, yang datang apa’ menggebuk Kasa.
Beberapa perempuan menghampirinya, dengan tampilan yang begitu kontras dengannya. Mereka yang mendatanginya gunakan kerudung tutupi kepala. Hal yang tak terduga oleh Kasa, adalah lontaran yang ditujukan olehnya.
“Mereka mengejek dan menghina kami,” adu Kasa pada kami. Masih serius kami mendengarkan cerita Kasa. Ia lanjutkan keluhnya lagi.
“Kami bilang aja, sini deh ikut sama kami kalian tau rasanya kaya gimana,” tuturnya mencoba memberi contoh.
Pengalaman serupa dialami oleh Cinta, perempuan berusia 22 tahun itu mengaku sudah kebal dengan label negatif dari orang-orang yang ditujukan pada dirinya dan teman-temannya.
Baik Kasa maupun Cinta menyayangkan sikap dan tindakan perempuan-perempuan yang merendahkan pekerja seks. Perempuan, menurut keduanya, merupakan orang yang paling ramai dalam memberi penghakiman di tanah lapang.
Kasa menggelengkan kepalanya, menyayangkan hal itu bisa terjadi. Kepulan asap rokok diembuskannnya, putung ditumpulkan di asbak tengah-tengah kami.
Fenomena yang menimpa Kasa, menunjukkan adanya ketidakberesan woman supporting woman yang selama ini tergaung. Influencer Kalis Mardiasih, salah satunya, adalah aktivis gender yang pernah tuliskan akan hal ini.
Katanya, kerentanan pada diri atau sekelompok perempuan harusnya mendorong mereka untuk saling dukung sekelompok perempuan rentan lainnya. Sebab, ujar feminis muslimah muda ini, dukungan dari sesama perempuan lebih dipercaya, pengalaman tubuh dan sosial perempuan akan mudah dipahami oleh perempuan juga.
Kasa pun berharap, “Sesama perempuan mari jangan saling menghina.”
Ia masih menaruh harapan, justru perempuan-perempuan yang memahami dan melindungi para pekerja seks perempuan.
“Kalau kami kaya gini, kalian kaya gimana yang berkerudung tapi malah bertingkah seperti itu?” Kasa memepertanyakan mereka yang menggunakan jilbab tetapi tidak bersikap penuh hormat.
Sistem mangkal yang dibuat mereka untuk dapat menarik perhatian client, juga menjadi tantangan bagi mereka. Tak hanya Kidam rupanya yang dilempar-lempar, mereka juga pernah mendapatinya.
“Dilempar nasi, diludahi, diam-diam direkam dan tau-tau dah di YouTube sama Tik-tok aja, hahahah,” gelak tawa bersahutan antara keduanya. Kami sesekali ikut menimpali juga.
“Direkam?” tanya kami mengulang pernyataan mereka.
“Iya, direkam diam-diam. Terus nanti muka kami dah ada aja di Tik-tok. Kadang-kadang kami tahu dari teman yang nanya, eh ini kau ya?” Kata Cinta dengan tawa yang belum hilang.
Tawa miris dan ironis perempuan dari Aceh ini masih memenuhi ruang depan OPSI. Tawa tak selamanya bahagia. Ekspresi tertawa Cinta dan Kasa menunjukkan betapa mereka sudah kebal dengan sikap-sikap tak menyenangkan yang terpaksa ditanggung para pekerja seks.
Hening sejenak di ruangan itu. Kami simpulkan beberapa kejadian yang sudah terjadi, sedangkan mereka tampak selami beberapa babak kejadian yang sudah terlewati.
Hening beberapa menit berkuasa di antara kami. Sembari menunggu cerita dari mereka, kami bahas poin HAM yang terpajang tak jauh dari tempat kami duduk.
“Itu, poin-poin HAM terpenuhi tidak haknya kak?” tanya kami.
Kasa udarakan asap rokoknya. Ia tatap kami, dan dibuangnya tatapan itu lagi sembarang.
“Kami sama-sama manusia, apa bedanya? Cuman pekerjaan kami aja. Menjadi pekerja seksual, kami juga ada alasannya,” lirih Kasa.
Setiap pekerja seks punya alasannya masing-masing terjun ke profesi yang rentan mendapat kekerasan. Kebanyakan, alasan menjadi pekerja seks karena terhimpit masalah ekonomi. Namun, faktor-faktor lainnya lebih banyak berupa stigma yang tak juga mendapatkan dukungan atau solusi dari pihak lain. Penghakiman dari beberapa kalangan menunjukkan edukasi dan empati masyarakat minim sekali.
Ancaman Pekerja Seksual
Kidam, pertama. Ia ceritakan ancaman yang kerap didapat ketika menjalani profesi pekerja seks adalah tidak dibayar. Sempat beberapa kali clientnya pergi begitu saja. Ancaman lainnya, berupa keselamatan nyawa yang sempat diterima dari masyarakat. Pembulian, diusir, hingga pelemparan alat berat ke arahnya saat bekerja di jalanan.
Transgender ini sudah dua tahun vakum dari PS. Ia menjadi anggota di OPSI selama pekerjaannya tak lagi dilanjutkan.
“Kenapa berhenti?” tanya kami penasaran.
“Takut sama Tuhan saja,” lirihnya.
Menjadi mantan pekerja seks, Kidam tunjukkan keproduktifan supaya diterima kembali beberapa kalangan yang pernah meninggalkannya. Dengan itu ia dapat kembali diterima keluarga dan teman-temannya.
Kasa pun sebutkan ancamannya. Layaknya Kidam, ia juga sering tak dibayar client. Mengakali hal ini, sebelum ‘bermain’, Kasa minta bayaran dahulu.
Perihal pembayaran, pernah ia dapati kekerasan dari client. Malam itu, usai tawarkan jasanya Kasa tagih rupiah. Bukan lembaran kertas yang didapatkan, melainkan kekerasan.
Badannya dibanting di ranjang. Seperti sudah direncanakan, client keluarkan solasi. Mulut Kasa hendak diplester saat itu, dan lehernya pun dicekik. Tak terima perlakuan, ia kerahkan sekuat tenaga perlawanan.
Pertarungan di kamar itu membuatnya ketakutan dan khawatir. Ia masih miliki kesempatan untuk berteriak, hingga timbulkan suara gaduh. Ia juga masih melawan dan lakukan pembrontakan. Tak disangka, giginya patah lantaran kekerasan dari pelanggannya kala itu.
Bruakk.
Pintu dibuka secara paksa, rupanya suara gaduh terdengar hingga kamar sebelah. Teman-teman lainnya yang pekerja seksual membantu Kasa. Mereka juga menagih uang karena sudah gunakan jasanya.
Lelaki itu pun mengiyakan akan membayar. Ia beralasan akan mengambil uangnya, namun yang didapati kebohongan. Lelaki itu menghilang kabur. Kasa sangat kecewa, tapi hanya pasrah.
“Sama saja, dia juga kabur. Alasannya waktu itu bilang, sebentar ya mau ambil uang dulu. Rupanya kabur,” ucapnya mencoba mengingat peristiwa silam.
Cinta pun sama. Perihal pembayaran mungkin menjadi kendala bagi tiap PS. Selain itu, ia berusaha menjaga pekerjaan ini dari keluarganya di kampung.
“Orangtua tidak tahu, jangan sampai tahu,” katanya.
Keragaman keinginan client juga bermacam-macam. Kidam sebagai pekerja seks sesama lelaki sering dapati permintaan yang kadang berbeda dengan lainnya. Mulai dari dirinya yang diikat, bertukar baju, permintaan penampilan dari client hingga saling memukul di atas ranjang.
Baginya, permintaan-permintaan itu sama halnya dengan pemuasan fantasi seksual yang cenderung berbeda dari yang lainnya. Perilaku seksual yang cenderung BDSM (bondage and discipline, domination and submission, sadism and masochism) pun diterimanya. Katanya, tergantung dengan pembayaran.
Seperti saat itu, Kidam membawa kami pada pengalamannya. Di atas ranjang, bersama lelaki lain ia tawarkan jasa.
Tiba-tiba, Kidam dapati satu pukulan. Ia tersontak kaget, marah, dan bertanya-tanya. Kesalahan apa yang dibuatnya hingga satu pukulan diterima dari lawan mainnya?
Tak terima dipukul, Kidam pun layangkan tinju. Hal ini disambut lawannya. Pun akhirnya mereka berpukul-pukulan. Rupanya seperti itulah seksualitasnya dikeluarkan. Perilaku seksual lawan Kidam agaknya berbeda dari pelanggan kebanyakan.
“Begitulah Kak, fantasi seksual.”
Apa Saja Harapan Pekerja Seksual?
Abigail sudah lama berada di OPSI. Bertahannya ia di sana, tak luput dari pengalamannya dahulu. Dia bercerita, pengalaman yang seperti ini dijalaninya dulu sendirian. Karena itu, ia tak ingin teman-teman merasakan hal yang serupa dengan dia.
“Yang mereka rasakan itu, sudah duluan aku rasakan,” ungkap Abigail yang merasa terpanggil agar nasib buruk para pekerja seks tidak dihadapi sendiri oleh mereka.
Saat ini ia sudah miliki jejaring yang luas. Memanfaatkan relasi, berhubungan dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk minta pembelaan apabila temannya yang terjerat masalah.
Di OPSI, Abigail berikan edukasi dan pengetahuan akan kapasitas teman-teman. “Yah setidaknya itu bisa untuk diri mereka terlebih dahulu. Biar misalnya kalau seperti ini, mereka tahu apa yang harus dilakukan,” katanya.
Kekerasan dan kecaman yang menimpa teman-temannya pekerja seks perempuan, buat Abigail turut geram. Ia sampaikan pada kami harapannya untuk masyarakat. Bahwasannya pekerja seks adalah manusia yang semestinya mendapat hak. Tanpa adanya label yang belum tentu terjadi.
Lebel perusak rumah tangga, penyakitan, menjijikan, tegas Abigail, bukanlah penghakiman yang harus disampaikan. Pun untuk pemerintah, Abigail juga berharap bertanggung jawab menenuhi hak-hak warga yang hidupnya rentan. Katanya bantuan yang nantinya diberikan janganlah memandang dari profesi atau pekerjaan itu. Beruntung, teman-teman yang aktif di organisasinya tak dapati diskriminasi akses pelayanan. Luasnya jaringan OPSI, sangat membantu mereka dapati hak dan ruang.
Mengenai stigma maupun diskriminasi. Abigail bilang, hal itu adalah kelekatan yang tidak dapat dipisah.
“Kalau stigma dan diskriminasi itu ada di mana saja, susah untuk hilangkan,” tuturnya.
Misal, dari kalangan mereka, bahkan, stigma pun sering juga terlempar.
“Cuman kita meresponnya tidak negatif, menganggap hal itu adalah candaan yang padahal adalah stigma,” katanya seolah menjadi gurauan, sarkas, di tengah getir kehidupan.
***Liputan ini adalah buah dari rangkaian workshop jurnalisme keberagaman di Medan, 10-13 Juni 2022, yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman bekerja sama dengan LPM Kreatif Unimed dan BOPM Wacana USU didukung Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF).
***Cover adalah Tim produksi yang terdiri dari:
1. Calvine William (Presma Kreatif Unimed)
2. Soza Silpha A. Ritonga (Presma Kreatif Unimed)
3. Ellya Syafriani (LPM Bahana)
4. Yulia Kezia Maharani (LPM Pijar)
5. Rizky Afifah Balqis (LPM NERACA)
6. Khusnul Arifin (Presma Kreatif, Unimed)