Marilyn (30), warga Medan, disabilitas netra, sering menghadapi tantangan besar dalam mengakses layanan ataupun pendidikan kesehatan reproduksi, dikarenakan tidak tersedianya alat peraga yang memadai serta petugas yang cukup dan sensitif berinteraksi dengannya.
Di daerah lain, Nadia Zahra Khairunnisa (18), warga Kota Makasar, disablitas intelektual, dan Dewi Rosdiana (26), warga Lombok Tengah, disabilitas mental, ketika mereka mencoba mendapatkan informasi dan pelayanan yang layak, kerap terabaikan dan dianggap tidak perlu oleh petugas medis yang tidak terlatih untuk memahami kebutuhan khusus mereka.
Fakta-fakta di atas disampaikan oleh Revita Avi, Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), pada Seminar Nasional Diseminasi Hasil Penelitian dan Audit Sosial Pelayanan Kesehatan bagi Warga Penyandang Disabilitas di Hotel Aryaduta (9/9/2024).
“Kisah-kisah seperti ini mencerminkan realitas kerentanan yang dihadapi oleh jutaan penyandang disabilitas di Indonesia untuk mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan yang layak,” papar Revita.
Secara statistik, lanjut Revita, perempuan disabilitas lebih mungkin mengalami kekerasan, pelecehan, diskriminasi, dan isolasi. Keterbatasan infrastruktur yang aksesibel, kurangnya pelatihan bagi tenaga medis yang berkesinambungan, serta minimnya kesadaran akan kebutuhan khusus penyandang disabilitas menghambat upaya mereka untuk mendapatkan hak kesehatan yang setara.
Terkait Seminar Nasional Diseminasi Hasil Penelitian dan Audit Sosial Pelayanan Kesehatan bagi Warga Penyandang Disabilitas, Yuna Farhan, Country Manager International Budget Partnership (IBP), mengungkapkan bahwa kegiatan ini adalah bagian dari program Penguatan Akuntabilitas Publik untuk Hasil dan Pengetahuan yang banyak melibatkan secara aktif perempuan-perempuan penyandang disabilitas untuk mengaudit inklusivitas fasilitas-fasilitas publik, termasuk dari sisi penganggarannya.
“Program Penguatan Akuntabilitas Publik untuk Hasil dan Pengetahuan untuk memastikan bahwa tata kelola fiskal dan sistem pemberian layanan menjadi lebih inklusif, responsif, dan akuntabel terhadap kebutuhan kelompok-kelompok yang terpinggirkan,” ujar Yuna Farhan.
Dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, sekitar 13,8 juta penyandang disabilitas di Indonesia, dengan 51% di antaranya adalah perempuan, hanya 9,4% dari perempuan penyandang disabilitas yang memiliki akses ke layanan kesehatan reproduksi. Penyandang disablitas juga menghadapi tingkat kemiskinan yang lebih tinggi, yakni 18,3% yang mempengaharui kemampuan mereka untuk mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai, menurut Yuna.
Sebagai respon terhadap persoalan di atas, HWDI bekerja sama dengan Perkumpulan Inisiatif dan Forum Indonesia untuk Transparansi (FITRA) yang didukung oleh International Budget Patnership (IBP), telah menyelesaikan beberapa kajian penting yang mencakup Data Collection Identity Marker for Gender Intersectionality, Analisis Ekonomi Politik dan Tata Kelola Anggaran Kesehatan Reproduksi, serta audit Sosial Pelayanan Kesehatan Reproduksi di puskesmas dengan sample 36 puskesmas di Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan.
Hasil kolaborasi kajian pertama mengungkapkan bahwa perempuan penyadang disabilitas mengalami diskriminasi berlapis karena identitas gender dan disabilitas mereka. Tantangan ini semakin besar bagi mereka yang memiliki disabilitas ganda, tinggal di daerah pedesaan atau berasal dari keluarga miskin.
Kajian kedua, menyoroti kesenjangan sistemik dalam akses kesehatan reproduksi bagi perempuan penyandang disabilitas. Pola pikir yang belum berprespektif disabilitas dan kurangnya data berkualitas serta pendataan yang tidak terpilah menjadi tantangan signifikan.
Kajian ketiga, mengungkapan upaya perbaikan infrastruktur dan layanan, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan agar puskesmas menjadi lebih inklusif. Prioritas utama meliputi pelatihan tenaga kesehatan dan non-kesehatan, penyusunan SOP unuk pasien disabilitas, serta perbaikan infrastruktur yang lebih ramah disabilitas.
Respon dari Kementrian PPN/Bappenas bidang Perencana Kebijakan, Dwi Rahayuningsih yang merupakan salah seorang narasumber dalam seminar ini, menyampaikan bahwa keterlibatan penyandang disabilitas dan suara mereka untuk bisa diterima dalam pengambilan keputusan, masih rendah. Implementasi di level daerah juga masih kurang. Sementara, masih menurut Dwi, di tingkat desa dan kelurahan ada stigma dan kultur yang meminggirkan perempuan dan penyandang disabilitas.
“Upaya ini masih terus kami benahi tentang bagaimana perencanaan yang inklusif. Kami mengharapkan peran CSO dan penyandang disabilitas untuk ikut mengadvokasi di level desa dan kelurahan,” tambah Dwi.
Perwakilan Kementerian Kesehatan dari Administrator Kesehatan Madya, dr. Putri Ayu Hartini, M.KKK merespon hasil audit ini dengan menyampaikan bahwa pemenuhan sarana dan prasarana disabilitas di puskesmas sudah ada di peraturan MENKES 1047-2024 tentang Standar Peralatan Dalam Rangka Penguatan Pelayanan Kesehatan Premier Pada Pusat Kesehatan Masyarakat. Menurutnya, standar untuk sumber daya ada dan masih dalam usulan revisi Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK). Sehingga, Puskesmas nantinya dapat melayani kesehatan untuk warga penyandang disablitas.
“Hasil audit ini menjadi rekomendasi untuk penyusunan percepatan akses bagi penyandang disabilitas. Tantangan terbesar di Kemenkes belum tersedianya data yang fix tentang penyandang disabilitas terkait dengan layanan kesehatan. Untuk itu, dibutuhkan peraturan lain untuk kepastian data ini,” tambah Putri.
Mewakili Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA), Anggi Nuzula Rahma menyampaikan bahwa koordinasi menjadi penting, mulai dari perencanaan, penganggaran, implemntasi, monitoring, dan evaluasi harus masuk aspek inklusivitasnya.
“Terkait pelayanan di Puskesmas, kami memiliki layanan ramah anak yang mana salah satu indikatornya adalah ramah juga terhadap orang dewasa dan disablitias. Yang terpenting adalah mengubah mindset para tenaga puskesmas tentang hak-hak penyandang disabilitas,” kata Anggi.
Terkait upaya memaksimalkan pelayanan dan akses, menjadi lebih penting, sambung Anggi, adanya pendataan penyandang disabiltas secara komprehensif.
“Selain itu, kami memiliki fasilitas jemput bola. Serta hak anak untuk memiliki akta kelahiran. Karena masih banyak anak-anak dengan kondisi disabilitas yang belum memiliki layanan. Padahal akte ini merupakan dokumen penting untuk anak-anak disabilitas mengakses fasilitas publik,” tutup Anggi.[]
Penulis: Rifah Zainani