Para ulama perempuan Indonesia, kiri ke kanan: Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm., Dra. Hj. Maria Ulfah Anshor, M.Si., Hj. Ninik Rahayu, SH., MS, Hj. Badriyah Fayumi, Lc. (depan), Dr. Faqihuddin AK (belakang sebagai salah satau panitia pengarah KUPI), dan Dr. Neng Dara Affiah, MA.
KONGRES ULAMA PEREMPUAN INDONESIA (KUPI)
Jakarta, 9 April 2017
Sejarah Islam mencatat bahwa ulama perempuan telah menjadi bagian dari setiap perkembangan peradaban Islam. Secara teologis, hal ini berawal dari sikap Nabi Muhammad SAW. yang menghormati perempuan dan memberi jalan kebebasan bagi mereka. Tetapi, tradisi keulaman perempuan di dunia Islam, termasuk Indonesia, tak hanya dipengaruhi oleh bagaimana sikap Nabi menghormati perempuan melainkan oleh konteks geo-politik, budaya dan proses asimilasi Islam dengan budaya lokal. Islam Indonesia, adalah Islam yang dalam kehidupan sosial budayanya terbuka kepada peranan perempuan untuk beraktivitas di ruang publik. Di masa lampau dalam budaya kehidupan bertani dan berdagang, nyaris tak terjadi pemisahan ruang bagi mereka, dan ini jelas berbeda dengan tradisi di Arab atau negara-negara berpenduduk Muslim lain atau di negara berasas Islam seperti Pakistan, Bangladesh dan beberapa negara Sub-Sahara di Afrika.
Dalam konteks Islam Indonesia keberadaan ulama perempuan di sepanjang zaman merupakan ciri sekaligus pembeda nyata dari wajah Islam Indonesia dibandingkan negara-negara berpenduduk Muslim lainnya. Perempuan berperan penting dalam dua kelembagaan yang juga menjadi ciri khas sekaligus memastikan Islam Indonesia yang moderat, seperti NU dan Muhammadiyah. Hal ini berlangsung sejak masa kolonial hingga era reformasi.
Bersama dengan ulama laki-laki, ulama perempuan tumbuh dalam kesejarahan bangsa serta menjadi bagian dari kebudayaan dan peradaban dunia Islam. Mereka menjadi pendidik terdepan, pendamping terdekat, dan pembela di ruang-ruang publik atas berbagai praktik ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Dalam konteks ini, ulama perempuan Indonesia memiliki jejak sejarah yang patut dibanggakan sebagai penjaga nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Namun sebegitu jauh, catatan tentang kiprah ulama perempuan dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia teramat kecil akibat konstruksi sejarah yang sepihak. Kehadiran dan peran penting ulama perempuan jarang sekali ditulis secara seimbang dan proporsional. Karena itu, segala upaya kultural dan struktural diperlukan untuk menegaskan kembali kerja-kerja sosial keulamaan perempuan dalam meneguhkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan.
Atas dasar itu muncul gagasan untuk menyelenggarakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia, sebuah perjumpaan lebih dari 500 ulama perempuan dari berbagai daerah di Indonesia dan beberapa negara akan digelar pada 25-27 April 2017 di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin Cirebon. Mereka akan mempertegas peran, memperluas pengakuan, dengan terus berkontribusi melalui Seminar Internasional, Seminar Nasional, dan Musyawarah Fatwa tentang persoalan kebangsaan aktual di ruang publik dengan metode yang bisa dipertanggungjawabkan.
Tujuan KUPI
- Mengakui dan mengukuhkan keberadaan dan peran ulama perempuan dalam kesejarahan Islam dan bangsa Indonesia;
- Membuka ruang pejumpaan para ulama perempuan tanah air dan dunia untuk berbagi pengalaman tentang kerja-kerja pemberdayaan perempuan dan keadilan sosial dalam rangka membumikan nilai-nilai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan;
- Membangun pengetahuan bersama tentang keulamaan perempuan dan kontribusinya bagi kemajuan perempuan dan peradaban umat manusia;Merumuskan fatwa dan pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia tentang isu-isu kontemporer dalam perspektif Islam rahmatan lil alamin.
Keluaran KUPI
- Ikrar Keulamaan Perempuan Indonesia
- Fatwa keagamaan tentang isu perempuan kontemporer perspektif Islam dalam konteks kebangsaan di Indonesia dan kemanusiaan global dunia, termasuk metodologi fatwa.
- Rekomendasi KUPI dalam menjawab masalah kekerasan seksual, pernikahan anak, perusakan alam dalam konteks ketimpangan sosial, migrasi, dan radikalisme.
Rangkaian Kegiatan KUPI
- Kegiatan Pra-Kongres. (1) Lomba penulisan profil ulama perempuan untuk mengangkat profil ulama perempuan Indonesia; (2) workshop ulama perempuan di tiga kawasan Indonesa; Yogyakarta untuk Bagian Tengah, Padang untuk Bagian Barat, dan Makassar untuk Bagian Timur; (3) Halaqah keulamaan perempuan.
- Seminar Internasional tentang Ulama Perempuan (25 April 2017). Seminar ini akan menghadirkan beberapa narasumber dari Indonesia dan beberapa negara, yaitu Pakistan, Afghanistan, Malaysia, Saudi Arabia dan Nigeria. Kegiatan ini bertempat di kampus IAIN Syekh Nurjati, Jl. By Pass Kota Cirebon.
- Seminar Nasional tentang Ulama Perempuan. Di sesi pagi hari Kedua (26 April 2017), mulai 08.30-12.00 akan diadakan diskusi panel tentang sejarah, peran, tantangan, strategi dakwah dan metode studi Islam ulama perempuan dalam menjawab isu-isu kontemporer di Indonesia.
- Sebanyak 9 Panel Diskusi Paralel. Di sesi siang hari Kedua (26 April 2017) akan diadakan rangkaian diskusi paralel yang mendialogkan sepuluh tema Kongres, yaitu: (1) Pendidikan Keulamaan Perempuan; (2) Respon Pesantren terhadap Ulama Perempuan; (3) Kekerasan seksual; (4); Pernikahan Anak; (5) Pembangunan Berkeadilan dari Desa; (6) Perlindungan Buruh Migran; (7) Ketimpangan Sosial dan Kerusakan Lingkungan; (8) Radikalisme Agama; dan (9) Krisis dan Konflik Kemanusiaan.
- Diskusi dan Peluncuran Karya Keulamaan Perempuan. Diskusi dan launching karya-karya keulamaan perempuan, baik berupa buka, film, media website, dan yang lain, akan diselenggarakan pada sesi Pagi hari ketiga (27 April 2017).
- Musyawarah Fatwa Ulama Perempuan. Pada saat bersamaan, sesi Pagi hari ketiga (27 April 2017) yang ditujukan untuk memproduksi fatwa keagamaan.
- Sidang Rekomendasi. Pada saat bersamaan juga, sesi Pagi hari ketiga (27 April 2017) akan diadakan sidang perumusan rekomendasi Kongres.
- Pentas Seni dan Budaya. Pada sesi malam hari, tanggal 25 (Selasa) dan 26 (Rabu) malam hari, dan sesi penutupan tanggal 27 Mei siang hari, akan diselenggarakan pentas-pentas seni dan budaya yang terbuka untuk umum.
- Kegiatan Sosial. Layanan bakti sosial, untuk pengobatan gratis, test papsmear dan IVA, sunatan masal bagi anak lelaki, dan donor darah. Kegiatan ini akan diadakan sebelum Kongres. Pada saat Kongres berlangsung, pengobatan gratis tetap berlangsung, dan juga akan dibuka konseling bagi para perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Peserta KUPI
- Peserta, yaitu mereka yang diterima sebagai peserta dan bersedia mengikuti Kongres secara penuh waktu, dari awal pembukaan hingga akhir penutupan. Peserta ini berjumlah 500 orang dari berbagai pelosok tanah air, terdiri dari:
- Perempuan pemimpin/pengasuh/guru pesantren, pengajar lembaga pendidikan dan perguruan tinggi Islam, pemimpin organisasi keislaman, pengasuh/pengelola majlis ta’lim, ustadzah, muballighah, dan da’iyah
- Perempuan aktivis pemberdayaan
- Pakar, akademisi, peneliti dan pemerhati isu-isu keislaman dan perempuan
- Panitia, fasilitator, dan relawan
**Pengamat, yaitu mereka yang diterima sebagai pengamat dan pemerhati proses Kongres, baik dari dalam maupun luar negeri. Pengamat tidak diperkenankan untuk ikut bersuara dalam forum-forum resmi Kongres. Para pengamat ini tidak diwajibkan untuk mengikuti Kongres secara penuh waktu.
**Wartawan Media, yaitu jurnalis yang meliput proses dan memberitakan hasil Kongres. Mereka harus mendaftar dan diterima oleh Panitia untuk melakukan kerja-kerja jurnalisme di lingkungan Kongres.
Kontak Narasumber:
Hj. Badriyah Fayumi, Lc. : 0811948812
Dr. Neng Dara Affiah, MA. : 08211358444
Dr. Faqihuddin AK, : 08112430234
Hj. Ninik Rahayu, SH., MS : 081380280350
Kontak Media Officer:
Emy Fakhriyati : 081218172332
Ismail Hasani : 081213931116
Lampiran 1:
Konsep Ulama Perempuan
Dari sisi bahasa “Ulama Perempuan” merupakan kata majemuk, ulama dan perempuan. Kata “ulama” sudah disebutkan dalam al-Qur’an dan beberapa teks Hadis. Secara bahasa, kata “ulama” merupakan bentuk jamak dari kata “alim” yang berarti orang yang tahu atau sangat berilmu. Sejatinya itu tak menunjuk batasan disiplin ilmu tertentu, pun gender tertentu. Secara sosial, terminologi ulama sering dilekatkan kepada tokoh atau pemuka agama yang bisa memahami sumber-sumber Islam secara baik, berperilaku mulia, dan membimbing umat dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Al-Qur’an menyebut kata “alim” (bentuk tunggal) sebanyak 13 kali (9: 105, 13: 9, 32: 6, 33: 92, 34: 3, 35: 38, 39: 46, 59: 22, 62: 8, 18: 64, dan 72: 26). Semuanya mengenai sifat Allah Swt, yang Maha Tahu dalam segala hal, baik yang terlihat maupun gaib. Sementara kata “ulama” sendiri hanya disebut sekali dalam Surat Fathir (35: 28). Ayat ini berbicara mengenai karakter dasar “ulama” yang harusnya berintegritas tinggi karena hanya takut pada Allah Swt. Kata lain yang masih dari akar yang sama adalah “ulul ilmi”, atau orang yang berilmu. Yaitu dalam surat Ali Imran (3: 18), mengenai tugas utama ulama untuk menegakkan keadilan. Al-Qur’an juga menyebut beberapa kata lain yang memiliki konotasi yang sama dengan ulul ‘ilmi. Yakni “ulul Abshar” (Q.S. al-Hasyr, 59: 2), “ulil al-Albab” (Q.S. Ali Imran, 3: 191), “Ahl al-Dzikr” (Q.s. al-Nahl, 16: 43), dan lain-lain.
Dalam Hadis, kata “ulama” secara tekstual disebut sebagai pewaris para Nabi (Sunan Abu Dawud, no. Hadits: 3643). Dengan tugas utama membimbing umat ke jalan yang benar, “ulama” dikontraskan dengan “juhhal”, atau mereka yang bodoh, sesat dan menyesatkan (Sahih Bukhari, no. Hadits: 100). Baik al-Qur’an maupun Hadis, kata “ulama” lebih menekankan pada perilaku daripada jenis ilmu yang harus dikuasai mereka.
Berangkat dari sumber-sumber teks di atas, kami meletakan poisis pada keyakinan bahwa “ulama” adalah orang yang berilmu mendalam, yang dengannya memiliki rasa takut kepada Allah (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlaq karimah), mengamalkan, menyampaikan, menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan pada semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Definisi di atas terinspirasi dari pernyataan Habib Abdullah al-Haddad (w. 1132 H/1720 M) dalam Al-Nashaih Al-Diniyah, bahwa ilmu seorang ulama itu harus mengantarkannya pada semua perilaku mulia (akhlaq mahmudah) dan perbuatan baik yang bermanfaat (a’mal shalihah). Yang dimaksud ilmu mendalam di sini, merujuk pada pembahasan ijtihad oleh asy-Syatibi (w. 798 H/1388 M) dalam al-Muwafaqat, adalah ilmu tentang teks-teks agama (an-nushush asy-syar’iyyah), prinsip dan cita-cita dasar hukum agama (maqashid asy-syar’iyyah), dan realitas sosial yang dihadapi (waqa’i al-hayat).
Kata “perempuan”, bisa memiliki dua pemaknaan, biologis dan ideologis. Dalam pemaknaan biologis, seperti yang didefinisikan Kamus Besar Bahasa Indonesia, menunjuk pada orang yang memiliki puki (kemaluan perempuan), menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Sementara secara ideologis, kata perempuan mengandung makna perspektif, kesadaran, dan gerakan yang berpihak dan berangkat dari pengalaman perempuan untuk mewujudkan keadilan relasi dengan laki-laki, baik dalam kehidupan keluarga maupun sosial.
Dua pemaknaan di atas digunakan untuk membedakan kata “perempuan ulama” dari “ulama perempuan”. Pemaknaan pertama, menunjuk kepada semua orang yang berjenis kelamin perempuan yang memiliki kapasitas keulamaan, baik yang memiliki perspektif keadilan gender maupun yang belum. Sementara “ulama perempuan”, menunjuk kepada semua ulama, baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki dan mengamalkan perspektif keadilan relasi lelaki dan perempuan atau gender. Walhasil, ulama perempuan, menunjukk kepada mereka yang bekerja, secara intelektual maupun praktikal, mengintegrasikan perspektif keadilan gender dengan sumber-sumber keislaman dalam merespons realitas kehidupan untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pemaknaan “Ulama Perempuan” ini menyiratkan sebuah proses yang berkesinambungan dan terus menerus untuk menegaskan dan memastikan, bahwa kiprah ulama, dengan ilmu yang dimilikinya, adalah untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pemaknaan ini meniscayakan pelibatan perempuan sebagai subyek maupun penerima manfaat dalam semua kiprah keulamaan. Dalam proses panjang ini, identifikasi dan apresiasi terhadap perempuan-perempuan ulama sejak masa awal Islam sampai saat sekarang ini adalah menjadi sebuah keniscayaan untuk menegaskan eksistensi dan legitimasi keulamaan perempuan.
Pada akhir proses panjang ini, harapanya, “ulama perempuan” merupakan orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki rasa takut kepada Allah (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlaq karimah), menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan pada semesta (rahmatan lil ‘alamin). Takut atau takwa kepada Allah Swt tidak hanya untuk urusan laki-laki tetapi juga untuk urusan perempuan. Tidak juga hanya dalam urusan publik, tetapi juga dalam urusan keluarga. Begitupun berakhlak mulia, menegakkan keadilan dan memberikan kemaslahatan, tidak hanya dalam hal-hal yang menyangkut laki-laki, tetapi juga sama persis dalam hal yang berkaitan dengan perempuan. Sehingga tercipta relasi kesalingan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, dan tanpa kekerasan dalam rangka mewujudkan cita-cita ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam proses kultural ini, sebuah kongres insya Allah akan diadakan pertama kali di Pondok Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin Cirebon, 25-27 April, dengan nama Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Kongres ini diselenggarakan untuk melegitimasi dan mengafirmasi kerja-kerja perempuan-perempuan ulama di Indonesia, terutama mereka yang sudah memiliki kesadaran keberpihakan untuk keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Kongres ini akan melibatkan para perempuan pemimpin pondok pesantren, pengasuh dan pengelola majlis taklim, ustadzah, muballighah, dai’iyah, aktivis, pakar, pemerhati, dan akademisi yang peduli pada isu keislaman dan keadilan gender dari seluruh penjuru Indonesia untuk belajar bersama, berkenalan, bertukar pengetahuan dan pengalaman terkait kiprah keulamaan perempuan.
Melalui perhelatan ini, Kongres Ulama Perempuan Indonesia dirancang menjadi forum pertemuan para perempuan ulama dan ulama perempuan yang menghasilkan tawaran solusi bagi problem-problem aktual terkait keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.[]