Siami Maysaroh*
Dalam rangka memperingati Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (HKtP) yang jatuh setiap tanggal 25 November, perempuan-perempuan aktivis yang tegabung dalam sebuah kesatuan Komite Aksi Perempuan (KAP) melakukan sebuah aksi “Cabut dan Tolak Perda Diskriminatif terhadap Perempuan” Senin kemarin (25/11) tepatnya pukul 10.00 WIB. Aksi tersebut berlangsung di dua tempat, yaitu di depan gedung Mahkamah Konstitusi dilanjutkan dengan berjalan mundur menuju Istana Negara. Jalan mundur ini dilakukan sebagai simbol telah mundurnya kebijakan dan penegakan hukum kita hari ini. Banyak sekali perda yang semakin ke sini semakin mendiskreditkan perempuan, bukan justru melakukan perlindungan yang adil dan setara sebagai manusia.
Kita tentu masih ingat bagaimana serangkaian kebijakan daerah hadir menjadi teror bagi kehidupan perempuan. 2005 lalu misalnya, Pemerintah Daerah Tanggerang yang memberlakukan jam malam melarang perempuan berdiri di tempat gelap. Apabila dituduh melanggar maka bisa disebut sebagai pelacur. Lalu tahun 2009, seorang perempuan korban perkosaan dikenai hukuman cambuk karena dianggap melanggar peraturan desa muslim di Sulawesi Selatan atas tuduhan perzinahan. 2011 Bupati Aceh Barat mengatakan perempuan yang menggunakan rok mini layak diperkosa. Di tahun ini (2013), masih di Aceh, Pemerintah Kota Lhoksumawe melarang perempuan duduk mengangkang di sepeda motor.
Jelas sekali terlihat penyataan, sikap, kebijakan dan aturan yang berangkat dari cara berpikir seperti itu membuat perempuan semakin terpuruk dalam kotak diskriminasi yang memenjarakan, meski perempuan berada di dalam masyarakat bebas. Para pembuat regulasi dan kebijakan sendiri bahkan lupa, bahwa ucapan dan tindakan mereka adalah bagian dari sebuah bentuk kebijakan di depan publik.
Pada tahun 2013, Komnas perempuan mencatat telah ada 265 kebijakan diskriminatif terhadap perempuan, dari 342 kebijakan diskriminatif yang ada dimasyarakat. Kebijakan tersebut hadir atas dalih mengatasnamakan agama dan moralitas. Moralitas? Mungkin seperti membakar api, menjaga moral dengan membunuh moral mereka sendiri. Dari “kebijakan immoral” tersebut, terdapat 124 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi. Industri tubuh perempuan diciptakan oleh sistem lalu dijebak dengan aturan semacam ini. Di mana moral mereka? Lalu, terdapat juga 27 kebijakan terkait pemisahan ruang publik laki-laki dan perempuan atas alasan moralitas. Begitupun 35 kebijakan mengenai pembatasan jam keluar malam perempuan.
Beberapa daerah yang menerapkan kebijakan diskriminatif tersebut menurut catatan Komnas Perempuan adalah Jawa Barat, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan dan Jawa Timur. Jika kebijakan yang diskriminatif ini tidak dihentikan, maka daerah-daerah lain pun akan menyusul dengan perda dan aturan yang lebih mendiskreditkan perempuan kembali.
Mendiskriminasi dan merendahkan perempuan adalah indikasi atas penyelenggara negara hari ini yang tidak melaksanakan konstitusi yang seharusnya menjadi pedoman penyelenggaraan negara itu sendiri. Padahal sudah dengan jelas Konstitusi kita mengatur pada pasal 27, dimana perempuan dan laki-laki di mata negara memiliki hak yang sama dan setara. Merendahkan martabat perempuan adalah menunjukkan rendahnya peradaban suatu bangsa. Sedangkan dalam waktu yang bersamaan, bangsa-bangsa lain berlomba untuk meraih perdaban yang lebih tinggi untuk mencapai pengakuan sebagai bangsa yang memiliki prestise. Negara kita seperti kehilangan konsistensinya untuk menjadi beradab.
Dengan agenda aksi Cabut dan Tolak 265 Kebijakan dan Perda Diskriminatif terhadap Perempuan ini, Komite Aksi Perempuan yang terdiri dari perwakilan perempuan aktivis yang berasal dari seluruh elemen gerakan perempuan nasional, menyatakan sebuah keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi perempuan yang semakin terpiggirkan oleh kebijakan melalui sebuah Pernyataan Sikap, sebagai berikut:
- Pejabat publik dan apparatus negara menghentikan segala bentuk tindakan termasuk pernyataan-pernyataan yang merendahkan dan mendiskriminasi perempuan sekarang juga.
- Pemerintah dalam hal ini Presiden, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum dan HAM untuk bertindak tegas mencabut segala bentuk peraturan daerah yang mendiskriminasikan perempuan dan kelompok minoritas lainnya sekarang juga.
- Pemerintah bekerjasama dengan pihak legislatif baik di tingkat nasional maupun daerah untuk menghentikan pembuatan peraturan daerah yang bertujuan mengontrol, merendahkan, dan mendiskriminasi perempuan.
- Masyarakat luas untuk menolak dan melawan seluruh kebijakan daerah yang berpotensi mediskriminasikan perempuan.
Bahan tulisan ini diambil dari berbagai sumber.
* Penulis adalah mahasiswa Universitas Bengkulu yang sedang magang di Yayasan Kalyanamitra. Ia alumni Pelatihan Pers Mahasiswa “Memberitakan Isu Keberagaman” Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) 4 – 6 Juli 2013