Oleh: Biru*
“Happy pride month!! Terima kasih sudah menjadi diri sendiri, I’m proud of you.”
Temanku mengirim pesan itu pada tanggal 1 Juni tahun ini. Baru beberapa bulan aku menerima fakta bahwa aku transgender. Sudah lama aku tahu bahwa aku trans, tapi ada perbedaan antara mengetahui dan menerima. Usiaku sepuluh ketika aku panik saat menyadari bahwa aku tidak ingin tumbuh dewasa sebagai seorang perempuan. Aku mulai terobsesi dengan aktor-aktor Thailand yang berhasil bertransisi dari gender sebelumnya. Aku ingat berpikir, “Aku ingin seperti itu.”
Orang kerap berpikir bahwa menyembunyikan informasi tentang LGBT akan menghentikan anak-anak dari menjadi LGBT, seakan dengan menyensor homoseksualitas dan transgender dari televisi tiba-tiba semua orang menjadi straight. Faktanya tidak demikian. Pada usia sepuluh tahun, aku mungkin tidak tahu apa artinya menjadi trans, tapi aku cukup tahu bahwa aku bukan perempuan. Aku tidak ingin menjadi perempuan, dan aku tidak mau tumbuh dewasa sebagai perempuan.
Tapi di Indonesia, meski tidak akan ada yang memukulku dengan batu sampai mati kalau ketahuan LGBT, tumbuh besar sambil terus menerus mendengar bahwa orang gay akan masuk neraka, atau bahwa rambut pendek dan pakaian laki-laki berarti kamu merupakan tanda-tanda kiamat akan datang, hal tersebut meninggalkan bekas.
Aku menekan perasaanku untuk waktu yang lama, tidak mau membuat hidup lebih sulit. Selama lebih dari sepuluh tahun, aku hidup demikian, yakin bahwa hal tersebut merupakan keputusan yang paling bijak. Lalu, aku mulai menangis tanpa alasan. Hampir setiap malam saat menyetrika baju yang hendak kukenakan buat kuliah keesokan harinya, aku akan menangis seperti anak-anak, benar-benar tidak mau mengenakan hijab dan rok. Aku tak mengerti mengapa ‘pakaian perempuan’ sangat menggangguku. Rasanya mengada-ada, tidak masuk akal. Kemudian suatu hari aku berpikir, “sepertinya aku mau bunuh diri.”
Rasanya konyol ingin mati karena hijab. Aku ingin di-ruqyah. Aku berharap aku hanya dirasuki oleh setan transseksual. Padahal, aku sudah came out sebagai lesbian selama beberapa tahun, tapi menjadi trans rasanya berbeda sekali. Terutama di Indonesia. Tidak ada pedoman atau orang yang bisa diikuti. Aku tidak tahu harus berbuat apa.
Aku mulai scrolling ke media sosial. Barangkali itu takdir, atau barangkali aku akhirnya punya keberanian. Aku mencari tagar transgender lagi. Aku lantas menemukan profil seorang pria transgender yang memposting tentang pengalaman trans-nya. Jujur saja akunnya tergolong vulgar. Tapi dia benar-benar bangga, tidak malu atau merasa berdosa dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa aku tidak se-sendirian yang kukira.
Ternyata yang kuperlukan untuk mengatakan, “Aku transgender”. Aku mengirimkan pesan, berterima kasih padanya karena sudah menjadi diri sendiri. Dia orang random dari Amerika, tapi itu pertama kalinya aku berbicara dengan orang lain yang juga transgender. Aku memberitahunya bahwa dia menginspirasiku untuk menerima diriku sendiri.
Bagiku, bagian tersulit dari menjadi trans di Indonesia bukanlah diskriminasi atau kesulitan mencari pekerjaan; melainkan rasa kesepian. Aku sempat membicarakan hal ini dengan teman-temanku dua tahun sebelumnya, bagaimana aku selalu merasa terisolasi. Bagaimana aku di sini tapi juga tidak benar-benar di sini. Mereka tidak mengerti, dan aku tidak bisa menjelaskan bahwa selama ini aku berpura-pura menjadi orang lain sepanjang persahabatan kami.
Bertekad untuk menemukan orang transgender lain di Indonesia, aku mengunduh aplikasi kencan lesbian—aplikasi yang sama yang aku gunakan selama bertahun-tahun, tapi sekarang dengan identitas berbeda. Cukup mudah menemukan orang trans di sana. Dalam waktu beberapa hari saja, aku berubah dari perempuan tidak bahagia yang menangisi hijab setiap malam menjadi pria trans yang memiliki tiga teman yang juga trans.
Pertama kali mereka memanggil nama pilihanku, aku menangis. Namaku rasanya natural sekali keluar dari bibir mereka. Bersama teman-temanku ini, aku tidak pernah harus menjelaskan diriku, tidak pernah harus menjelaskan mengapa aku tidak bisa memakai hijab atau mengirim link edukatif mengenai transgender. Sangat aneh; aku dipahami dengan mudah, identitasku diterima tanpa dicecar pertanyaan.
Bulan ini adalah pertama kalinya aku menerima pesan dari seseorang yang mengatakan mereka bangga pada identitasku sebagai seorang transgender. Sebenarnya, aku belum bangga pada diriku sendiri.
Aku masih ragu bahwa mungkin aku bertindak terlalu terburu-buru. Bagaimanapun, aku baru mengeksplor identitasku sebagai transgender selama beberapa bulan saja. Meskipun aku tahu benar bahwa sebetulnya ini sudah lebih dari sepuluh tahun. Kadang-kadang aku masih berpikir jika aku berusaha cukup keras aku bisa menjadi perempuan lagi. Dan kadang-kadang aku masih mendengar suara ibuku bertanya, “Bangga kamu kaya gitu?”
Tapi teman-temanku cinta dan bangga padaku. Jadi mungkin aku tidak begitu sulit untuk dicintai. Bagiku, mencari teman yang satu frekuensi merupakan kunci tetap waras sebagai seorang transgender di Indonesia. Aku melihat temanku, terutama mereka yang lebih tua, dan bagaimana mereka bisa tetap bahagia dan bangga. Aku yakin suatu hari aku bisa bangga pada diriku sendiri juga.
*Penulis merupakan pemenang Ngonten Beragam (Ngober) edisi Bangga Menjadi Diri Sendiri.