Oleh: Ais Jauhara Fahira*
“Keadilan tidak pernah turun dari langit, jadi aku harus perjuangkan,” ujar Echa Waode, Sekretaris Umum Arus Pelangi, dengan lugas.
Echa adalah seorang transgender perempuan (transpuan) yang giat memperjuangkan hak-hak kelompoknya. Ia aktif berkegiatan di komunitas ragam gender dan seksual.
Bermula dari mengikuti kontes transpuan, Echa menemukan kelompok dan kawan seperjuangan dengan dirinya. Sebelumnya ia mengaku sempat melarikan diri dari keluarganya. Setelah menemukan kelompok yang senasib, Echa pun kembali ke keluarga untuk menunjukkan ekspresi gendernya.
“Setelah aku berdamai dengan diriku, aku kembali ke keluargaku. Mereka mulai menerima diriku apa adanya. Lagi pula setelah menunjukkan ekspresi genderku, aku masih bisa berdaya dengan membantu kawan-kawan yang senasib dengan aku. Bahwa menjadi transpuan tidak merugikan orang lain dan tidak ada yang salah dengan itu,” terangnya.
Echa juga menambahkan bahwasanya, banyak teman-teman yang merupakan dari luar daerah yang bergabung dalam komunitas. Kebanyakan dari transpuan juga tak diterima oleh keluarga mereka sehingga mencari tempat berkumpul serta berlindung dan saling menguatkan.
Echa mendedikasikan hidupnya untuk membantu kawan-kawan dari ragam gender, terutama transgender perempuan yang kesulitan dalam mengurus pelayanan publik. Walau Echa menilai lingkungan di Jakarta ini sudah tergolong inklusif terhadap transpuan. Hasil yang dinikmati kelompok transpuan saat ini tidak terjadi begitu saja, sebab jauh sebelum itu telah dilakukan banyak usaha advokasi dan perjuangan. Salah satunya urusan administrasi kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP).
“Itu dari tahun 2019 aku bilangin ke Pak Zudan, Dirjen Disdukcapil, tentang masalah KTP ini. Karena teman-teman kalau mau ngurus selalu ditanya ini perempuan apa laki sih, akhirnya teman-teman jadi malas sendiri mengurusnya,” terangnya saat dihubungi pada 26 Agustus 2024 melalui telepon.
Buah dari perjuangan Echa dan kawan-kawan itu akhirnya kelompok transpuan memiliki KTP. Bukan hanya itu, lanjut Echa, dalam pembuatan KTP, transpuan dapat mengubah foto atau menggunakan foto yang sesuai dengan ekspresi gendernya, meskipun belum melakukan transisi atau penegasan jenis kelamin di pengadilan.
“Kan kalau di bandara itu nggak enak kan, diliatin lama KTP kita sambil dipelototin. Nanti kalau nggak sesuai kita bisa dikira memalsukan identitas atau memakai identitas orang lain,” terang Echa menjelaskan pentingnya penggantian foto di KTP.
Pembatasan Ruang Berekspresi
Belum lama ini mencuat berita protes dan kecaman terhadap kontes transpuan 2024 yang digelar di Hotel Orchardz, Jakarta. Kontes tersebut banyak dikecam oleh beberapa tokoh politik dari berbagai daerah dan dianggap tak mengantongi izin resmi. Padahal acara tersebut sudah dilaksanakan dari tahun ke tahun dan tak pernah mendapat kecaman sebelumnya. Menurut Echa, mencuatnya berita miring terkait kegiatan teman-teman kelompok LGBT (Lesbian, Gay Biseksual & Transgender) erat kaitannya dengan tahun politik.
“Dulu dari tahun-tahun kemarin itu tidak ada dipermasalahkan, mungkin karena sekarang kan tahun pilkada jadi berita semacam itu mencuat,” ujarnya.
Echa juga menambahkan bahwasanya berita miring semacam itu berdampak terhadap kegiatan komunitas.
“Kalau ada berita kayak gitu, mungkin teman-teman tunda dulu bikin acara,” tambahnya.
Menurut Echa pemberitaan berdampak sementara terhadap kegiatan kelompok komunitas. Tetapi kebijakan berdampak dalam jangka panjang misalnya kebijakan daerah P4S (Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual) yang ramai diperbincangkan sejak kemunculannya pada tahun 2021 di Bogor. Aturan tersebut melarang kelompok LGBT berkegiatan dan berkumpul. Dalam peraturan daerah tersebut kelompok LGBT bahkan dianggap sebagai penyakit yang perlu disembuhkan, tanpa berlandaskan alasan medis yang kuat.
Mengutip dari BBC, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, menyebutkan bahwa dari sisi medis ragam gender dan orientasi seksual bukanlah suatu penyakit.
“Dalam tataran diskursus internasional dan tataran akademik, lesbian dan homoseksual itu tidak lagi didefinisikan sebagai penyimpangan seksual. Nah, ketika itu bukan ranah penyimpangan yang mana tidak ada implikasi masalah yang akan ditimbulkan, kenapa negara menyediakan dana untuk mengatur pembentukan komisi penanggulangannya.
Maidina juga menambahkan bahwasanya, keberadaan kebijakan semacam itu dapat dijadikan legitimasi untuk mendiskriminasi kelompok LGBT. Walau belum ada data persekusi pasca kemunculan perda tersebut, jika disahkan masyarakat bisa menjadikan aturan tersebut sebagai legitimasi dalam mendiskriminasi kelompok LGBT dan kelompok ragam gender serta orientasi seksual lainnya.
Selain itu, sebagai bagian komunitas ragam gender, Echa juga turut menyayangkan hadirnya peraturan tersebut. Menurutnya aturan diskriminatif dapat berdampak terhadap kegiatan dan perkumpulan komunitas.
“Padahal yang dibikin itu kegiatan positif, kita menunjukkan bakat, karya dan nilai bahwa kita bisa loh. Bukan kegiatan macam-macam, tapi kita dikriminalisasi pemerintah. Kalau bikin acara itu juga nggak ngajak orang untuk jadi bagian dari kami. Jadinya mesti main kucing-kucingan sama pemerintah. Makanya kalau ada kegiatan, nggak kita publish dulu,” terang Echa.
Seharusnya kebebasan berserikat dan berkumpul dijamin oleh konstitusi yang tertuang dalam . Undang-Undang Dasar 1945. Hak itu melekat kepada setiap manusia tanpa memandang etnis, kepercayaan mau pun gender. Namun, pada kenyataannya masih terjadi diskriminasi tak terkecuali terhadap kelompok ragam gender dan orientasi seksual.
Diskriminasi Transpuan di Dunia Kerja
Kebanyakan kelompok transpuan pekerja di salon atau sebagai pekerja seks. Sebab tampilan mereka yang menonjol, Dede Oetomo menulis dalam kolom yang dimuat di CNN mengenai diskriminasi terhadap teman transpuan. Menurut Dede, transpuan atau waria lah yang paling rentan mendapatkan diskriminasi dalam dunia kerja.
“Dalam banyak kasus, waria atau transpuan paling kesulitan mendapatkan pekerjaan dibandingkan lesbian, gay, biseksual, maupun priawan (perempuan yang berperilaku seperti lelaki). Ekspresi gender dan orientasi seksual yang terlihat jelas membuat kehadiran mereka begitu menonjol dan menjadi pusat perhatian. Jika dibandingkan dengan gay dan lesbian masih lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Karena masih bisa menyembunyikan orientasi seksual mereka di lingkungan kerjanya demi menghindari diskriminasi,” tulis Dede.
Echa mengungkapkan bahwa transpuan sebenarnya sudah didiskriminasi bahkan sebelum terjun ke dunia kerja. Kualifikasi pekerjaan kerap membatasi teman-teman transgender. Kualifikasi seperti jenis kelamin perempuan atau laki-laki, berpenampilan menarik sampai usia tertentu.
“Bukan hanya masalah gender, tetapi tinggi badan sampai penampilan. Padahal kalau bekerja itu yang dinilai skill, tapi kenapa masih dibatasi penampilan? Jadi pembatasan ini selain berdampak ke kelompok transpuan, juga berdampak ke banyak orang,” terangnya.
Selain itu, usaha pemerintah dalam pemberdayaan transpuan di bidang pekerjaan juga masih terbatas. Echa mengungkapkan transpuan yang mendapat pelatihan dari Dinas Sosial hanya ada pelatihan menjahit dan salon saja.
“Di Dinsos itu pelatihan hanya salon dan menjahit. Padahal kan teman-teman tidak hanya itu saja minatnya,” tambahnya.
Menurut Yusnita Sisilia Warda, analis media di Indonesia Indikator, menyebutkan bahwa jenis keterampilan pelatihan kerja ditambah agar terwujud peluang kerja yang inklusif.
“Salah satu langkah tersebut, yaitu menambah jenis keterampilan dalam pelatihan untuk transpuan sesuai dengan kebutuhan industri 4.0, misalnya keterampilan bisnis online dan membuat konten. Selain itu, program Usaha Ekonomi Produktif Kemensos yang memberikan bantuan wirausaha, perlu direplikasi di setiap daerah,” ujarnya.
Klaim Kematian BPJS TK Dipersulit
Selain itu, untuk mengklaim kematian BPJS Ketenagakerjaan transpuan masih belum dijamin negara. Pasalnya hak tersebut sulit diklaim karena yang bisa mengklaim itu ahli waris.
“Sedangkan, ahli waris itu susah carinya karena teman-teman transpuan itu kebanyakan mereka sudah terpisah dari keluarga,” ungkap Echa.
Echa menerangkan bahwa hak yang diperoleh transpuan yang meninggal hanyalah santunan sebanyak 10 juta rupiah dari BPJS TK untuk biaya pemakaman saja. Sedangkan untuk mengklaim hak waris dan jaminan lainnya yang Rp32 juta itu belum bisa dilakukan. Hak waris dan surat wasiat mereka tidak diakui. Padahal mereka terdaftar sebagai peserta BPJS TK, karena membayar iuran rutin.
Mengutip Sejuk.org, bahkan ada peserta ditolak dan tidak mendapatkan semuanya, yang totalnya Rp42 juta. Padahal ia membayar iuran.
“Ini menimpa mendiang Ruk Maya pada Februari lalu (2024) yang tinggal di panti jompo waria yang didirikan Mami Yuli di Depok (untuk menampung dan menjadi rumah singgah transpuan),” ungkap Hartoyo Koordinator Jaringan Komunitas untuk BPJS TK (JKU BPJS TK) setelah audiensi dan menyerahkan Kertas Kebijakan atas revisi dan rekomendasi terhadap Permenaker No. 5 Tahun 2021 di Gedung Kemnaker RI di Jakarta Selatan (13/8). Terbaru, pada Februari 2024 silam, ada transpuan meninggal dunia namun semua klaim tak dicairkan BPJS-TK – termasuk biaya pemakaman.
Toyo yang memimpin dan mengkoordinir di tingkat nasional (Suara Kita) sebagai penerima surat wasiat menyebutkan alasan klaim kematian dan biaya pemakaman tak dibayarkan karena peserta dianggap “tidak bekerja dan punya penyakit tahunan”.
Padahal, upaya advokasi dan dialog pun telah ditempuh kalangan transpuan yang digerakkan Suara Kita lewat Jaringan Komunitas untuk BPJS TK sejak tahun lalu, dari mulai mendatangi kantor cabang BPJS TK Salemba, Kanwil BPJS TK DKI Jakarta, kantor pusat BPJS TK, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Komnas HAM, dan Kemnaker RI. Sialnya, sampai hari ini belum ada kebijakan dan aturan yang memastikan agar warga rentan seperti transpuan yang menjadi anggota BPJS TK dijamin negara.
Echa pun melanjutkan, insiden yang berulang ini membahayakan transpuan peserta BPJS-TK lainnya. Sebab, ada 163 peserta BPJS-TK kelompok transpuan masih aktif, sementara kondisi kesehatan dan status pekerjaan mereka bermacam-macam.
Echa sangat menyayangkan hal ini. Karena itu, menurutnya perlu perjuangan dalam mengadvokasi kasus ini.
“Kalau kita nggak kuat advokasi kasus ini, kasihan teman-teman transpuan apalagi yang belum jelas identitasnya. Nanti kesusahan klaim hak warisnya, padahal klaim jaminan itu hak yang seharusnya mereka dapatkan,” pungkasnya.[]
*Penulis adalah aktivis perdamaian di Pelita Padang, Sumatera Barat