Oleh Tim SEJUK
April diramaikan dengan berita teror bom dan gerakan Negara Islam Indonesia (NII) KW IX. Berita-berita tersebut kerap menempati headline di banyak media cetak. Beberapa media bahkan mengambil posisi tegas: mengutuk keberagamaan yang menggunakan teror dan kekerasan serta modus penipuan dan penculikan terhadap remaja atau pelajar dan mahasiswa. Kendati masih banyak yang sekadar memberitakan peristiwanya tanpa disiplin verifikasi, sikap media-media mainstream cenderung menolak terhadap fakta radikalisme beragama tersebut.
Sebaliknya, intoleransi terhadap kalangan minoritas semakin tidak populer. Jika tidak menghindari, media justru menampakkan sikap yang tidak tegas bahkan sama sekali tidak berempati terhadap nasib minoritas. Setelah Februari dan Maret gencar diberitakan, jemaat Ahmadiyah mulai kurang mendapat perhatian dari media. Begitu pula semakin langka pemberitaan perihal Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor, yang sampai kini belum mendapatkan keadilan dan jaminan atas hak-hak mereka dalam mengamalkan ibadah meskipun sampai di tingkat Mahkamah Agung mereka telah memenangkan perkara.
Teror bom buku yang dialamatkan kepada beberapa orang; rangkaian paket di berbagai tempat yang diduga bom; bom Cirebon di Masjid Ad Dzikra; penemuan Bom yang diletakkan di sebuah Pipa Gas di wilayah Serpong; dan juga dugaan penculikan dan penipuan yang dilakukan oleh NII KW IX merupakan menu sehari-hari yang disuguhkan media di bulan April. Yang patut disayangkan di sini adalah, motivasi pemberitaan bukan demi memberikan pendidikan terhadap masyarakat akan pentingnya mengembangkan semangat toleransi dalam kehidupan Indonesia yang beragam, melainkan sebatas memberitakan sebuah peristiwa. Sehingga, yang menjadi perhitungan media dalam mengangkat berita: semakin besar sebuah peristiwa, semakin besar dampak yang ditimbulkan darinya, dan semakin banyak menelan korban, maka pemberitaannya akan semakin dramatis dan tentu saja menarik minat para pembacanya.
Memudarnya Independensi Media
Akibatnya, dalam isu keberagaman, April tahun ini media-media tersedot pada beberapa peristiwa besar dengan efek lanjutan yang besar pula. Inilah yang menjelaskan mengapa isu intoleransi dan diskriminasi dalam beragama dan berkeyakinan terhadap minoritas kurang diminati media-media, kendati sepanjang April dampak lanjutan dari peristiwa di bulan-bulan sebelumnya sangat memerlukan sorotan media. Karena itu, sebagai pengecualian, The Jakarta Post masih sempat menurunkan berita terkait tindakan intoleran dan diskriminatif yang menimpa jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) yang tempat ibadahnya disegel oleh pemerintah kota Bogor. Judul besar yang dipilihnya langsung menohok,