Senin, Mei 12, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

by Redaksi
13/08/2014
in Uncategorized
Reading Time: 5min read
Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Reni Susanti*

IRA Indra Wardhana menjadi korban tindakan diskriminatif terhadap kaum penghayat. Dia menganut penghayat Sunda Wiwitan. Banyak pihak yang menganggapnya sesat.

Tak hanya Ira, diskriminasi menjadi makanan sehari-hari penghayat Sunda Wiwitan lainnya. Seperti yang dialami Dewi Kanti Setianingsih (39). Sejak menikah 2002 silam hingga sekarang, dia dan suaminya tak memiliki akta nikah. Alasannya klasik, karena Dewi Kanti penghayat Sunda Wiwitan.

Dampak tak memiliki akta nikah ini sangat luas. Dewi Kanti tak berhak atas berbagai tunjangan seperti tunjangan kesehatan dari kantor suaminya. Meski faktanya sudah menikah, lantaran tak memiliki akta nikah, sang suami dianggap masih bujang sehingga perusahaan tak berkewajiban memberikan tunjangan istri.

Begitu pun saat nanti hamil dan melahirkan, anak yang dikandungnya tak akan mendapatkan akta kelahiran. Imbasnya, merembet pada kehidupan si anak di masa depan.

“Pintu masuk diskriminasi kerap datang dari administrasi sipil. Seperti KTP, akte kelahiran, akte perkawinan,” ucap Dewi kepada INILAH, belum lama ini.

Kondisi itu, sambung Dewi, seperti rantai kehidupan yang akhirnya tersistematis. Ketika agama tidak dicantumkan dalam KTP, penghayat akan dipersulit dalam urusan administrasi baik di sekolah, perbankan, bahkan dalam pernikahan.

Bagi penghayat yang tidak siap dengan tekanan, mereka digiring masuk agama resmi. Misalnya saat akan menikah, sebagian penghayat berbohong dengan mendaftar sebagai penganut agama yang diakui agar mendapat akta kawin. Namun yang bertahan dengan keyakinan semula seperti dirinya, akta perkawinan hanya angan-angan.

Dewi mengatakan, selama ini dalam aturan berupa SKB Menteri, UU PNPS 1965 tentang Penodaan Agama, dan lainnya tidak secara jelas menyatakan agama yang diakui negara. Seluruh peraturan itu menyebutkan beberapa agama yang dipeluk orang Indonesia.

“Tapi oleh aparatur diterjemahkan, itulah agama yang diakui negara. Di luar itu tak bisa dilayani,” tuturnya.

Hingga kini tak semua penghayat Sunda Wiwitan mengantongi e-KTP. Bahkan ada penghayat yang di-Konghucu-kan dalam e-KTP. Kondisi ini tak hanya terjadi di Cigugur Kuningan, tapi juga di daerah lain. Contohnya yang dialami penghayat Tolotang di Sulawesi Selatan.

“Namanya Djani Karjani seorang seniman. Di kolom agama terpampang Konghucu. Padahal dia jelas-jelas Tolotang,” ucap Dewi.

Tak hanya itu, tahun 2010 lalu saat masih tinggal di Jakarta, dia berniat mengganti KTP. Dalam KTP sebelumnya, kolom agama diisi strip (-). Namun begitu KTP baru jadi, dia pun kaget. Karena di kolom agama dituliskan Islam.

Dia pun kembali mengajukan pembuatan KTP untuk memperbaiki kolom agama. Lagi-lagi aparat menganggap enteng dan menuliskan agama di luar keyakinan Dewi.
“Akhirnya saya menulis surat ke lurah Cilandak Jakarta Barat tertanggal 15 Juni 2010 atas kekeliruan yang dilakukan petugas di sana. Selain surat, saya sertakan bukti hidden camera percakapan saya dengan petugas pembuatan KTP. Setelah itu, baru KTP saya benar, kolom agama dikosongkan. Pokoknya saat itu, dalam empat hari, dicetak 3 KTP atas nama saya,” terangnya.

Kejadian lain yang tak kalah menyedihkan ketika dia kehilangan dompet. Untuk mengurus KTP dan ATM yang raib bersama dompet tersebut, Dewi mendatangi kepolisian hendak membuat surat kehilangan.

Dia pun mulai ditanya identitas diri untuk diisi ke form surat kehilangan yang sudah komputerize. Begitu masuk ke kolom agama, polisi kebingungan.

“Saya jawab, agama saya kepercayaan. Polisi bertanya, apa tuh? Gak ada di kolomnya. Saya meminta untuk dikosongkan, dan polisi berkata kalau dikosongkan, suratnya tak bisa dicetak dan gak bisa dapetin surat kehilangan. Akhirnya, saya bilang, cari kolom agama yang penganutnya sedikit saja. Polisi pun mengisi Konghucu,” sambungnya.

Belum lagi ketika berbicara soal PNS. Dewi bercerita, beberapa tahun lalu adiknya hendak mendaftar PNS secara online. Namun hal itu urung dilakukan karena dalam form itu hanya tercantum agama yang diakui negara.

Sebenarnya, sambung Dewi, yang diperjuangkannya selama ini bukan hanya pengakuan dalam selembar KTP. Yang dibutuhkan penghayat adalah perlindungan tanpa diskriminasi. Jika akan dicantumkan di KTP, maka harus semua tanpa syarat. Karena identitas itu hak mendasar. Apalagi Sunda Wiwitan sudah ada sebelum negara ini berdiri.

“Bahkan leluhur kami ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, meskipun mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan sejak zaman Belanda,” tuturnya.

Dari Masa ke Masa

Anak tetua adat Sunda Wiwitan Dewi Kanti mengatakan, diskriminasi yang diperoleh para penghayat sudah terjadi sejak zaman Belanda. Karena bersikukuh pada spiritual leluhur, para penghayat kerap menjadi sasaran tembak.

Belanda mengadu domba penghayat dengan kalangan muslim dan kelompok pesantren seolah penghayat ingin mendirikan agama baru bernama Jawa Sunda. Padahal, Sunda Wiwitan menggali spiritual lama bukan baru.

“Mengapa kami seolah-olah menjadi musuh besar, sehingga perlu meminjam tangan kelompok muslim untuk menghabisi kami? Karena gerakan budaya kami saat itu, untuk menumbuhkan nasionalisme. Kami menyebutnya dengan strategi perlawanan kultural,” terangnya.

Perlawanan lewat budaya ini sengaja dilakukan para sesepuh Sunda Wiwitan, karena mereka punya pengalaman buruk dengan perlawanan fisik. Sang kakek yang juga sesepuh Sunda Wiwitan, Ki Madrais pernah memimpin pemberontakan fisik di Ambon. Dari tindakannya itu, beberapa pengawal dipancung Belanda. Dari sanalah dia mengubah strategi perlawanan.

Namun Belanda tak tinggal diam. Mereka berusaha untuk menyingkirkan Madrais dan keluarganya. Ki Madrais pernah dibuang ke Papua. Namun di sana, dia malah sukses menanam bawang merah. Dia pun dimasukkan ke LP Sukamiskin, di sana malah menyembuhkan orang gila.

Bahkan dia sempat dituduh kriminalistas. Tapi karena Madrais tengah sakit, sang anak, Pangeran Jatikusuma di penjara menggantikan ayannya tanpa proses hukum.
“Karena tak ada saksi memberatkan, ayah saya keluar tanpa proses hukum pula,” imbuhnya.

Zaman Jepang

Tekanan terhadap penghayat tak berhenti di sini. Jelang masuknya Jepang ke Indonesia, Belanda melegitimasi hukum perkawinan adat. Namun hasil negosiasi bertahun-tahun ini dinilai lain oleh Jepang. Penghayat Sunda Wiwitan dinilai sebagai antek Belanda.

Untuk menarik simpati muslim, Jepang mendirikan catatan Kantor Urusan Agama (KUA). Dari situ mulai muncul pembedaan catatan antara muslim dan nonmuslim. Meski demikian, tahun 1945-1955, para penghayat ikut menyiapkan kemerdekaan dan merancang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Ketika Wongsonegoro menjadi menteri, mulailah ada angin segar bagi penghayat (dulu aliran kebatinan). Namun memasuki tahun 1950-an, penghayat diintimidasi oleh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Saat itu, kampung dikepung, tetua adat dicari untuk dibunuh. Gesung Paseban dan kampong dibakar. Namun untungnya Paseban selamat, yang terbakar hanya bagian dapur dan satu unit mobil.

“Sesepuh adat menyamar jadi petani dan berhasil diselematkan. Dia dan keluarga akhirnya mengungsi ke Bandung. Tahun 1960-an kondisi sedikit aman, keluargapun kembali ke Cigugur,” terangnya.

Tahun 1964, politik kembali memanas, masuknya lewat perkawinan. Pernikahan yang tidak dicatat dianggap perkawinan liar dan dipanggil polisi. Banyak pengantin setelah menikah bukan bulan madu, tapi diinterogasi polisi. Semua ini dilakukan untuk memancing ketua adat. [rni]

 

Tulisan sebelumnya: Mereka Dipaksa Menjadi Bunglon

*Tulisan ini terbit di www.inilahkoran.com pada 13 Agustus 2014. Merupakan salah satu peraih Fellowship Liputan Keberagaman SEJUK tahun 2014 kategori media online. Tulisan di atas merupakan karya yang dihasilkan penulis untuk fellowship SEJUK

Tags: #SundaWiwitanAgamaFellowship
Previous Post

Mereka Dipaksa Menjadi Bunglon

Next Post

Bertaruh Nyawa Demi Keyakinan

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post
Bertaruh Nyawa Demi Keyakinan

Bertaruh Nyawa Demi Keyakinan

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Jangan Toleran-Toleran Amat, Nanti Kebablasan!”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In