Sepatutnyakah bahasa-bahasa agama yang cenderung agresif dan menganjurkan kekerasan diberi kesempatan untuk memasuki ruang publik? Jika ya, mekanisme politik seperti apa yang bisa mewadahinya? Lantas, bagaimana membangun percakapan yang tepat antara agama dan yang sekular?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendominasi jalannya diskusi dan bedah buku