Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) menyampaikan penyesalan mendalam atas pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR RI pada 14 November 2024. Dalam pernyataannya, LGBTQ disebut sebagai “ancaman negara” dan “masuk sebagai prioritas isu strategis nasional tahun 2025 di bidang sosial budaya”. KOMPAKS menilai pernyataan ini tidak berdasar, bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), serta berpotensi
melanggengkan dan memicu peningkatan tindak diskriminasi, persekusi, dan kekerasan terhadap individu maupun kelompok LGBTQ di Indonesia.
KOMPAKS sebagai koalisi yang fokus pada isu pencegahan dan penghapusan kekerasan berbasis gender dan seksualitas (KBGS) menyoroti beberapa hal yang bermasalah dari pernyataan Wantannas tersebut. Adapun hal-hal tersebut yaitu sebagai berikut:
- Pernyataan Wantannas yang mengategorikan LGBTQ sebagai ancaman negara mencerminkan kegagalan negara dalam memahami dan menghormati konstitusi sebagai landasan utama perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Pasal 28I UUD 1945 dengan tegas menjamin bahwa setiap orang berhak atas kebebasan dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun, serta berhak mendapatkan perlindungan yang setara di hadapan hukum.
- Klaim bahwa istilah “Queer” dalam akronim LGBTQ mencakup perilaku hubungan seksual dengan peralatan, hubungan seksual dengan boneka, dan pedofilia (menit 1:47:35) adalah tidak tepat serta merupakan misinformasi yang berbahaya. Narasi seperti ini tidak hanya memperkeruh stigma tetapi juga mencederai perjuangan perlindungan terhadap kelompok rentan yang seharusnya dilindungi oleh Wantannas sebagai perwakilan negara. Berdasarkan sejarah, awalnya kata “queer” yang berarti “sesuatu yang tidak biasa atau di luar kebiasaan” digunakan sebagai bentuk hinaan yang merendahkan serta bersifat homofobik, biphobik dan transfobik. Namun, kemudian kata tersebut diambil alih oleh komunitas LGBT dan digunakan sebagai istilah yang memberdayakan. Queer sekarang diartikan sebagai istilah payung untuk individu non-cis/heteroseksual dan tidak berkaitan dengan perilaku seksual dengan benda maupun pedofilia.
- Mengategorikan LGBTQ sebagai ancaman negara adalah bentuk sesat pikir, tidak berdasar, dan justru bertentangan dengan tujuan dibentuknya Wantannas sebagai institusi yang semestinya ikut menjamin keselamatan bangsa dan negara. Narasi usang ini muncul karena miskonsepsi dan stigma terhadap LGBTQ. LGBTQ disalahpahami sebagai sebuah ideologi, padahal LGBTQ adalah terminologi untuk menjelaskan keragaman gender dan seksualitas seseorang. Penyebutan LGBTQ artinya merujuk pada manusia, yang dalam konteks negara merupakan warga negara yang harus dijamin keselamatannya.
- Data menunjukkan bahwa kelompok LGBTQ menghadapi ancaman nyata berupa marginalisasi sosial, kekerasan, dan diskriminasi yang sistematis. Menyatakan LGBTQ sebagai ancaman negara hanya akan memperburuk situasi, mendorong lebih banyak kekerasan, dan memperkuat legitimasi tindakan diskriminatif terhadap mereka.
a. Laporan kekerasan terhadap perempuan tahun 2023 dari Komnas Perempuan menunjukkan adanya 54 kasus kekerasan yang dialami individu dengan ragam gender dan seksualitas dilaporkan pada periode Januari-Desember 2023. Laporan dari beberapa kelompok LGBTQ seperti transgender, lesbian, dan biseksual ini masih minim karena perspektif lembaga layanan dan aparat penegak hukum yang bias. Seringkali, korban dengan identitas gender tertentu malah mengalami kekerasan tambahan ketika melaporkan kasusnya. Pernyataan bahwa LGBTQ adalah ancaman negara akan memperburuk kerentanan yang dialami oleh LGBTQ yang, pada faktanya, sudah sangat terpinggirkan di Indonesia.
b. Berdasarkan data dari Crisis Response Mechanism (CRM), selama periode tahun 2021 hingga Juli 2024, tercatat 255 kasus kekerasan dan diskriminasi langsung terhadap individu LGBTQ di Indonesia. Kasus-kasus ini meliputi berbagai bentuk pelanggaran seperti kekerasan fisik, pelecehan verbal, pengusiran dari tempat tinggal, diskriminasi dalam layanan publik, hingga ancaman yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. - Negara seharusnya berfokus pada perlindungan kelompok yang rentan dan marjinal, termasuk LGBTQ, melalui pendekatan yang berbasis hak asasi manusia (HAM). Kebijakan yang mengucilkan atau menyalahkan kelompok ini bertentangan dengan semangat konstitusi serta komitmen internasional Indonesia dalam melindungi hak-hak seluruh warga negaranya.
a. Feminist Legal Theory menyoroti bahwa hukum tidak boleh menjadi alat untuk melegitimasi diskriminasi struktural. Sebaliknya, hukum harus menjadi sarana untuk menciptakan ruang yang setara dan inklusif. Pernyataan yang mengategorikan LGBTQ sebagai ancaman berisiko memperkuat stigma, yang pada gilirannya dapat mengurangi akses kelompok ini terhadap keadilan dan perlindungan hukum. Situasi ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan yang menjadi dasar sistem hukum modern.
b. Dalam situasi di mana teknologi informasi dan media sosial berkembang pesat, diperlukan pendekatan yang berbasis literasi dan edukasi, bukan stigma. Negara seharusnya fokus pada perlindungan seluruh warganya, termasuk kelompok LGBTQ, dari kekerasan dan diskriminasi.
Maka dari itu, KOMPAKS merekomendasikan Wantannas dan pemangku kebijakan terkait untuk:
1. Mendesak Wantannas untuk Meluruskan Narasi Publik: Menarik pernyataan Wantannas bahwa LGBTQ adalah ancaman negara yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi kelompok tersebut dan sebaliknya, mengakui bahwa LGBTQ merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang patut dilindungi hak-haknya sesuai dengan prinsip HAM dan konstitusi negara.
2. Mendesak Respons Komnas HAM: Komnas HAM perlu segera merespons pernyataan dari Wantannas yang bersifat diskriminatif dan berpotensi membahayakan kelompok LGBTQ. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas perlindungan dan penegakan hak asasi manusia, Komnas HAM diharapkan memberikan sikap tegas untuk memastikan penghormatan terhadap hak-hak kelompok rentan, termasuk LGBTQ, serta mendorong wacana yang mendukung keadilan dan kesetaraan.
3. Mendorong Mekanisme Perlindungan dari Kementerian Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenko H2IP): Kemenko H2IP perlu segera membuat mekanisme yang mumpuni untuk mencegah peningkatan terjadinya tindak diskriminasi, kekerasan, dan persekusi berbasis gender dan seksualitas, termasuk yang dialami oleh individu dan kelompok LGBTQ, serta menjamin perlindungan terhadap korbannya tanpa diskriminasi.
4. KOMPAKS menyerukan kepada semua pihak untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan inklusivitas demi menciptakan Indonesia yang aman, adil, dan sejahtera bagi semua warganya tanpa terkecuali.