Ref: TG ASA 21/2013.013
Indeks: ASA 21/028/2013
Linda Agum Gumelar
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Jalan Medan Merdeka Barat No. 15
Jakarta, 10110
Indonesia
22 Agustus 2013
SURAT TERBUKA TENTANG MINIMNYA KEMAJUAN DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMITE PBB UNTUK PENGHAPUSAN DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN
Amnesty International dan CEDAW Working Group Indonesia (CWGI) menyampaikan surat terbuka kepada Anda mengenai implementasi kewajiban HAM Indonesia berdasarkan Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (UN Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW)) yang diratifikasi tahun 1984, dan dijadikan hukum nasional pada tahun yang sama (UU No.7/1984).
Pada 27 Juli 2012, Komite PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Komite CEDAW), kelompok ahli yang bertugas meninjau implementasi CEDAW, mengeluarkan Kesimpulan Pengamatannya (Concluding Observations) setelah meninjau perkembangan Indonesia dalam melindungi dan mempromosikan hak-hak perempuan. Dalam Kesimpulan Pengamatannya, Komite mengekspresikan keperihatinannya atas serangkaian hal di mana Indonesia dinilai gagal dalam memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi CEDAW, serta membuat serangkaian rekomendasi untuk memperbaiki penghormatan dan perlindungan hak-hak perempuan dan anak perempuan.
Namun, satu tahun kemudian, banyak dari rekomendasi yang bertujuan memberantas diskriminasi dan kekerasan berbasis jender ini sebagian besar belum diimplementasikan, dan juga, masih ada kurangnya pemahaman mengenai rekomendasi tersebut, terutama diantara institusi pemerintahan. Kegagalan mengambil langkah nyata untuk mengatasi diskriminasi dan kekerasan berbasis jender, sebagaimana direkomendasikan oleh Komite, membuat perempuan dan anak perempuan terus terpapar resiko pelanggaran HAM yang terus menerus, serta membuat komitmen pemerintah untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak mereka patut dipertanyakan.
Di antara banyak kekhawatiran Komite, salah satunya adalah kehadiran hukum dan peraturan yang diskriminatif di tingkat nasional dan lokal. Komite mengekspresikan kekhawatiran khususnya mengenai aturan dalam Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1/1974), misalnya terkait poligami dan usia menikah, serta hadirnya peraturan lokal yang mendiskriminasi perempuan, termasuk di Provinsi Aceh.
Komite merekomendasikan untuk mencabut atau mengamandemen semua Undang-Undang dan peraturan semacam itu dalam jangka waktu yang jelas. Lebih lanjut, Komite secara khusus meminta Indonesia mengirim laporan dalam kurun waktu dua tahun mengenai langkah yang sudah diambil untuk meninjau UU Perkawinan dan untuk mencabut tanpa penundaan peraturan yang diskriminatif di Aceh.
Walau organisasi kami mencatat bahwa sebuah “Peraturan tentang Parameter Hak Asasi Manusia dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah” (No. 20/2012 dan 77/2012)2 sudah dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM bersama dengan Menteri Dalam Negeri pada Desember 2012, namun pada kenyataannya aturan ini masih mempunyai efek yang kecil terhadap perempuan dan anak perempuan. Banyak peraturan bermasalah tetap berlaku di berbagai penjuru negeri dan peraturan diskriminatif baru terus dikeluarkan. Misalnya, pada Januari 2013, Walikota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, mengeluarkan surat edaran pelarangan perempuan untuk duduk mengangkang di sepeda motor. Lalu, pihak berwenang gagal memprioritaskan revisi UU Perkawinan dalam Program Legislasi Nasional 2013.
Komite CEDAW juga mengekspresikan keperihatinan mendalam mengenai apa yang digambarkan sebagai “kemunduran serius” terkait praktik mutilasi kelamin perempuan (MKP) dan merekomendasikan pihak berwenang Indonesia mengadopsi peraturan yang mengkriminalkan praktik tersebut. Sementara kami menyambut baik komitmen pemerintah untuk “menghapus praktik mutilasi kelamin perempuan di segala penjuru negeri” dan pembentukan tim lintas sektor untuk mengatasi praktik tersebut, Amnesty International dan CWGI kecewa karena pihak berwenang gagal mencabut peraturan tahun 2010 (Peraturan Menteri Kesehatan No. 1636/MENKES/ PER/XI/2010) yang memberikan wewenang terhadap praktisi kesehatan tertentu untuk melakukan “sunat perempuan,” atau untuk mengkriminalkan praktik tersebut. Amnesty International dan CWGI juga mencatat dalam Kesimpulan Pengamatan Juli 2013, Komite HAM PBB – kelompok ahli yang bertugas memonitor kepatuhan negara dengan kewajiban berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik- juga merekomendasikan pada pihak berwenang Indonesia untuk selekasnya mencabut peraturan tahun 2010 tentang “sunat perempuan”.
Organisasi kami khawatir rekomendasi untuk meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization-ILO) No.189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga dan menerapkan, dalam batas waktu yang jelas, Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, telah diabaikan. Hingga kini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia telah membuat kemajuan yang sangat lambat dalam menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Ketentuan terkait upah sakit, definisi waktu istirahat mingguan dan harian yang jelas, dan definisi tunjangan liburan yang jelas tidak masuk dalam rancangan undang-undang tersebut. Lalu dalam kondisi sekarang, rancangan undang-undang tersebut tidak mengandung ketentuan yang memadai mengenai upah, pembatasan waktu kerja, mekanisme penyelesaian masalah, atau ketentuan khusus terkait perempuan. Rancangan undang-undang tersebut harus diubah agar selaras dengan kewajiban Indonesia berdasarkan hukum internasional. Jika undang-undang tersebut tidak dibahas, diubah dan disahkan pada akhir tahun, pekerja rumah tangga, yang mayoritasnya perempuan dan anak perempuan akan terus terpapar risiko eksploitasi ekonomi dan pengingkaran terhadap hak-hak atas kondisi yang adil atas kerja, kesehatan dan pendidikan.
Komite CEDAW juga menyoroti “kekhawatiran yang mendalam dengan masih berlangsungnya kekerasan, penganiayaan dan eksploitasi yang dialami oleh pekerja migran perempuan secara terus menerus di negara penerima dan di tangan agen penyalur jasa tenaga kerja yang memfasilitasi penempatan mereka”. Walau Komite telah membuat serangkaian rekomendasi yang bertujuan memberikan perlindungan yang lebih baik pada hak-hak pekerja migran, namun dari penelitian oleh Amnesty International pada Maret dan April 2013, mengindikasikan banyak pekerja rumah tangga Indonesia yang terus menjadi korban perdagangan manusia dan kerja paksa oleh penyalur jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). Dan pemerintah gagal dalam menjalankan kewajibannya untuk secara layak meregulasi dan ketika diperlukan, menghukum mereka yang merugikan pekerja rumah tangga tersebut, serta mengambil tindakan terhadap agen penyalur yang terlibat dalam aktivitas tersebut.
Pihak berwenang Indonesia juga belum mengimplementasikan rekomendasi Komite CEDAW untuk melakukan langkah-langkah efektif untuk menyediakan keadilan, kebenaran, dan reparasi terhadap perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban pelanggaran HAM dalam konflik masa lalu, termasuk di Aceh dan Timor-Leste (dahulu bernama Timor Timur). Banyak penyintas perkosaan dan
kejahatan kekerasan seksual lainnya belum diberikan penanganan atau pelayanan medis, psikologis, kesehatan seksual, dan reproduksi yang berarti. Lalu, kegagalan untuk mengesahkan sebuah Undang- Undang baru untuk membentuk komisi kebenaran nasional, mengakibatkan banyak korban pelanggaran HAM dan keluarga mereka tidak memiliki mekanisme efektif atas kebenaran serta reparasi yang menyeluruh, efektif, dan transformatif.
Amnesty International dan CWGI mendesak pihak berwenang Indonesia, terutama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementeriaan Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk memenuhi kewajiban Indonesia berdasarkan Konvensi dan melakukan hal-hal di bawah ini sebagai prioritas:
- Meninjau dan mengubah UU Perkawinan (No. 1/1974) untuk menghapus ketentuan yang
mendiskriminasi perempuan, termasuk usia menikah dan poligami, atau yang melanggengkan
penstereotipean jender; - Melakukan peninjauan atas semua peraturan dan undang-undang daerah yang mendiskriminasi
perempuan dalam hukum, kebijakan dan praktik, termasuk menjamin mereka selaras sepenuhnya
dengan kewajiban Indonesia berdasarkan Konvensi;
- Segera mencabut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1636/MENKES/ PER/XI/2010 terkait “sunat
perempuan” dan menerapkan legislasi khusus yang mengatur pelarangan mutilasi kelamin
perempuan, dan menyediakan hukuman yang layak bagi mereka yang melakukan mutilasi kelamin
perempuan; - Menerapkan legislasi khusus yang mengatur hak kerja bagi pekerja rumah tangga sesuai dengan
hukum dan standar internasional; - Membahas, mengesahkan, dan menerapkan pada kesempatan terdekat, sebuah undang-undang baru
tentang komisi kebenaran yang selaras dengan hukum dan standar internasional, menjamin
kejahatan terhadap perempuan bisa ditangani secara memadai; - Menyediakan reparasi menyeluruh, efektif, dan transformatif bagi semua korban pelanggaran HAM
masa lalu dan mengambil tindakan khusus untuk memastikan perempuan bisa mengakses reparasi
yang efektif, termasuk tindakan yang dirancang untuk menghapus stigma dan diskriminasi yang
dialami penyintas kekerasan seksual dan stigma negatif yang mendasari diskriminasi dan kekerasan
terhadap perempuan; dan - Meratifikasi Protokol Opsional CEDAW dan Konvensi ILO tentang Pekerja Rumah Tangga No. 189,
memasukkan ketentuannya dalam hukum nasional, serta mengimplementasikannya dalam kebijakan
dan praktik.
Hormat Kami,
Isabelle Arradon Estu Fanani
Deputi Direktur Asia-Pasifik Koordinator CEDAW Working Group Indonesia (CWGI)
Cc: Amir Syamsuddin
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Gamawan Fauzi
Menteri Dalam Negeri
Nafsiah Mboi
Menteri Kesehatan
Usmawarnie Peter
Ketua Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia