Siaran Pers Komnas Perempuan
22 Agustus 2013
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan bahwa tes keperawanan adalah salah satu bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan bertentangan dengan Konstitusi. Tindakan tersebut merendahkan derajat martabat manusia dan bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Tes Keperawanan juga dapat berimplikasi memutus masa depan anak perempuan karena tidak dapat melanjutkan pendidikan dan hidup dalam stigma negatif di dalam masyarakat.
Wacana yang digulirkan oleh aparat pemerintah baik legislatif maupun eksekutif di daerah tersebut sebangun dengan kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas yang terus bertambah jumlahnya sejak tahun 1999 ketika otonomi daerah mulai bergulir. Sampai tanggal 18 Agustus 2013, Komnas Perempuan mencatat 342 kebijakan diskriminatif serupa ini. Ini berarti jumlah kebijakan diskriminatif bertambah 60 kebijakan dari tahun lalu, atau telah lebih dua kali lipat sejak Komnas Perempuan menyampaikan persoalan ini di tingkat nasional pada tahun 2009, dimana saat itu baru berjumlah 154 kebijakan. Seluruh kebijakan ini bertentangan dengan Konstitusi dan berbagai produk hukum nasional dan membutuhkan penyikapan tegas dan segera dari pemerintah.
Sebanyak 265 dari 342 kebijakan diskriminatif secara langsung menyasar perempuan atas nama agama dan moralitas. Termasuk dalam 265 kebijakan itu adalah 79 kebijakan yang mengatur cara berpakaian berdasarkan interpretasi tunggal ajaran agama penduduk mayoritas. Situasi ini membatasi hak kemerdekaan ber-ekspresi dan hak kemerdekaan beragama. Ada pula 124 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi, 27 kebijakan tentang pemisahan ruang publik laki-laki dan perempuan atas alasan moralitas (19 diantaranya menggunakan istilah khalwat atau mesum) dan 35 kebijakan terkait pembatasan jam keluar malam yang pengaturannya mengurangi hak perempuan bermobilitas, pilihan pekerjaan, serta perlindungan dan kepastian hukum.
Seluruh kebijakan diskriminatif ini jumlahnya terus bertambah dan belum ada langkah tegas dan signifikan dari negara untuk mencegah dan menghapuskannya. Sementara itu di tingkat nasional, Komnas Perempuan menyesalkan lambatnya pemerintah dalam menganulir kebijakan tentang sunat perempuan yang mengukuhkan praktik tradisi yang diskriminatif terhadap perempuan. Begitu pula halnya dengan revisi UU Pornografi yang dalam implementasinya justru mengkriminalisasi perempuan korban perdagangan orang dan eksploitasi seksual.
Kebijakan di atas menghalangi perempuan, secara langsung maupun tak langsung, untuk dapat menikmati hak atas rasa aman dan bebas dari rasa takut untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang merupakan hak asasinya.
Pada tahun 2012, Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan setidaknya ada 216.156 kasus yang ditangani oleh berbagai lembaga di seluruh Indonesia. Lebih 97% adalah kasus kekerasan di dalam rumah tangga. Dari pemantauan Komnas Perempuan selama ini, setidaknya ada 20 perempuan yang mengalami kekerasan seksual setiap harinya di Indonesia, kasus terbanyak adalah perkosaan.
Keterbatasan sumber daya pendampingan dan penanganan korban terutama karena sebagian besar kebijakan terkait penanganan kekerasan terhadap perempuan belum implementatif. Komnas Perempuan mencatat adanya penambahan dua kali lipat kebijakan kondusif yang mengatur tentang layanan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan, yaitu dari 252 di tahun 2012 menjadi 529 kebijakan per Agustus 2013 yang terdiri dari 513 di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten) dan 16 di tingkat nasional. Sebagian besar dari kebijakan itu menetapkan struktur lembaga layanan yang diselenggarakan pemerintah daerah.[1] Hanya sekitar 37% atau sebanyak 195 kebijakan saja yang mengatur secara lengkap substansi perlindungan, kelembagaan dan anggaran. Dari jumlah itu, hanya ada 12 kebijakan yang memastikan layanan optimal.[2] Komnas Perempuan berharap bahwa implementasi Undang Undang Bantuan Hukum, yang kini telah mengidentifikasi 310 lembaga pemberi bantuan hukum pada masyarakat miskin, dapat meneguhkan akses perempuan korban kekerasan atas keadilan. Peningkatan sensitivitas dan kapasitas aparat penegak hukum dan pendamping korban adalah juga kunci penguatan sumber daya pelayanan publik bagi perempuan korban kekerasan.
Terkait dengan pembatasan hak atas kebebasan beragama dan jaminan perlindungan bagi komunitas minoritas agama yang dikeluarkan di tingkat nasional dan daerah, Komnas Perempuan mencatat 31 kebijakan. Komnas Perempuan menyesalkan pejabat negara yang tidak mematuhi hukum, terutama dengan mengabaikan UU Penanganan Kerusuhan Sosial dalam menyikapi kasus konflik komunitas Sunni dan Syiah di Sampang, Jawa Timur, serta mengabaikan keputusan pengadilan atas izin pendirian rumah ibadah GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia, serta tidak adanya perlindungan hukum dan keamanan bagi kelompok Ahmadiyah di Lombok. Terlebih lagi, Komnas Perempuan menyesalkan kriminalisasi terhadap komunitas korban, termasuk mereka yang bertahan saat serangan kepada komunitas itu terjadi. Pemerintah dan aparat penegak hukum berdasarkan pengaduan korban, lebih mengakomodir kepentingan kelompok penyerang daripada melindungi kelompok korban. Komnas Perempuan belum menemukan langkah progresif, jangka panjang dan sistemik yang dilakukan oleh pemerintah terhadap situasi pengungsi maupun pemulihan korban, termasuk perempuan yang menjadi orang tua tunggal akibat penyerangan terhadap kelompok minoritas agama. Demikian pula tentang administrasi kependudukan yang sangat meresahkan perempuan kelompok minoritas agama, termasuk pemeluk agama leluhur dan penghayat agama kepercayaan. Sampai hari ini mereka sulit memperoleh kartu tanda penduduk untuk dapat mengakses layanan kesehatan dan mencatatkan perkawinan untuk memastikan akte kelahiran anak.
Dari seluruh situasi tersebut, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai meski ada kemajuan di berbagai bidang, namun perempuan Indonesia masih menikmati kemerdekaan semu dan belum utuh menikmati kesetaraan dan keadilan berbasis gender maupun hak-hak fundamental lainnya yang dijamin Konstitusi (UUD 1945).
Berhadapan dengan situasi di atas, dan untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki bagi perempuan Indonesia, Komnas Perempuan kembali mendesakkan rekomendasi yang disampaikan kepada Pemerintah, Lembaga Negara dan Pemerintahan Daerah, antara lain :
1. Presiden Republik Indonesia, agar:
- Membatalkan seluruh kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas, memastikan penguatan kapasitas Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhukham), serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam mencegah perkembangan kebijakan diskriminatif itu.
- Mengambil langkah tegas mencegah dan menangani tindak intoleransi terhadap kelompok minoritas agama. Termasuk di dalamnya memerintahkan pihak Kepolisian memastikan jaminan rasa aman bagi kelompok minoritas agama dari tindak intimidasi dan kekerasan dan menghentikan upaya kriminalisasi terhadap kelompok minoritas agama; Kemendagri memastikan pemerintah daerah menjalankan putusan pengadilan tentang pendirian rumah ibadah bagi GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia, membina dengan sungguh-sungguh kerukunan yang sejati antar umat beragama atas dasar penghormatan pada kebhinnekaan Indonesia, dan menyelenggarakan administrasi kependudukan dengan dasar hak atas persamaan di depan hukum dan pemerintahan tak terkecuali bagi kelompok minoritas agama dan penganut agama leluhur; dan Kementerian Sosial bekerjasama dengan kementerian yang relevan untuk memastikan upaya pemulihan korban.
2. Pemerintah dan Pemerintahan Daerah: merevisi dan/atau menyusun peraturan daerah yang implementatif bagi penyelenggaran pelayanan berkualitas dan optimal bagi perempuan korban kekerasan, serta secara berkelanjutan mengawasi dan memperkuat implementasi dari kebijakan tersebut.
3. Terkait dengan isu test keperawanan, Pemerintah baik legislatif maupun eksekutif serta masyarakat perlu melakukan beberapa hal diantaranya adalah: (a) Memastikan penyelenggara pendidikan, institusi profesi, juga lembaga masyarakat tidak melakukan tindak kekerasan seksual tersebut; (b) Melalui Kementerian Pendidikan Nasional perlu melarang tes keperawanan diwacanakan, dibuat dalam kebijakan, ataupun dilaksanakan dalam institusi pendidikan; (c) Eksekutif dan legislatif, di tingkat nasional dan daerah perlu tingkatkan pengetahuan dan sensitivitasnya pada isu kekerasan terhadap perempuan agar dapat membuat terobosan kebijakan dan program untuk pencegahan dan penanganan yang komprehensif bagi perempuan (dan anak) korban kekerasan, dan (d) Masyarakat perlu turut mengawasi dan mendukung pelaksanaan tanggung jawab negara itu, termasuk dengan menolak tes keperawanan.
Kontak Narasumber:
- Husein Muhammad, Ketua Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional (GK-PKHN)
- Andy Yentriyani, Ketua Sub Komisi Partisipasi Masyarakat
- Kunthi Tridewiyanti, Ketua Sub Komisi Reformasi Hukum dan Kebijakan
[1] Saat ini terdata 305 lembaga lembaga layanan tersebut, sebagaimana dilaporkan pemerintah Indonesia kepada Komite CEDAW, 2012, par.49.
[2] Dengan cara mengadopsi Standar Layanan Minimum, penyelenggaraan rumah aman, perlindungan saksi/ korban, ketersediaan penerjemah, pencatatan kasus, dan koordinasi lintas institusi, serta peran serta masyarakat dalam hal monitoring dan evaluasi