Pernyataan Sikap Komnas Perempuan
Jelang Satu Dasawarsa UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Jakarta 12 September 2013
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan di Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang semestinya melindungi pihak-pihak yang paling rentan di dalam rumah, yaitu perempuan dan anak, telah digunakan untuk justru mengkriminalisasi perempuan korban kekerasan. Hal ini terutama karena aparat penegak hukum (APH) tidak mempertimbangkan relasi timpang suami dan istri, juga anak, dalam menerapkan UU PKDRT. Akibatnya, perempuan korban tidak mendapatkan haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Kasus EN, yang menjadi perhatian publik sejak beberapa hari ini karena harus menghadapi hukuman penjara selama 4 (empat) bulan adalah contoh situasi yang memprihatinkan tersebut.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa UU PKDRT adalah terobosan hukum penting bagi upaya menghadirkan keadilan di Indonesia. UU PKDRT merupakan salah satu wujud komitmen negara untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia setelah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui UU No. 7 tahun 1984 pada tanggal 24 Juli 1984.
UU PKDRT menjadi terobosan hukum karena, a.l., menempatkan kekerasan di dalam rumah tangga, khususnya terhadap istri, sebagai sebuah delik pidana/kejahatan. Padahal, kekerasan serupa ini kerap dianggap sebagai sebuah persoalan pribadi/privat. Sejak UU PKDRT diterapkan, Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan bahwa semakin banyak perempuan yang berani melaporkan kasusnya dan mencari keadilan. Sejak lima tahun terakhir, data tentang KDRT, khususnya kekerasan terhadap istri (KTI) menjadi mayoritas kasus yang ditangani lembaga layanan. Sepanjang tahun 2012 saja, tercatat 8.315 kasus KTI atau 66% dari kasus yang ditangani. Hampir setengah (46%) dari kasus tersebut adalah kekerasan psikis, 28% kekerasan fisik, 17% kekerasan seksual, dan 8% kekerasan ekonomi. Bentuk KDRT lain yang tengah marak dilaporkan dilakukan oleh pejabat publik adalah berupa kejahatan perkawinan.
Namun, upaya korban mencari keadilan dihadapkan pada banyak hambatan. APH juga belum mampu menyediakan perlindungan dan pendampingan optimal bagi korban dalam melaksanakan UU PKDRT. Rumah aman dan bantuan hukum masih langka dan sebagian besar masih sulit diakses korban. Unit penanganan perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan tidak dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai. Komnas Perempuan juga menerima laporan di mana APH melakukan memediasi pelaku dan korban tanpa dikerangkai misi memutus siklus kekerasan dan memberi efek jera pada pelaku. Sejumlah APH juga mengabaikan hak korban atas informasi yang utuh tentang proses hukum yang akan dijalani dan akibat hukumnya. Semua situasi ini menyebabkan korban merasa terintimidasi dan akibatnya, sejumlah banyak korban mencabut laporannya atau meminta APH menghentikan proses kasus atas kekerasan yang dialami.
Di dalam perkembangannya, perempuan dalam posisinya sebagai istri yang melaporkan kekerasan yang ia alami rentan kriminalisasi. Korban dilaporkan kembali oleh suaminya dengan berbagai alasan, termasuk kekerasan, pengabaian keluarga, juga pencemaran nama baik. Data pengaduan masuk ke Komnas Perempuan tahun 2011- Juni 2013 menunjukkan bahwa 60% korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mengalami kriminalisasi; 10% dikriminalkan melalui UU PKDRT hingga menjadi narapidana. Salah satunya adalah ibu EN, yang pada tahun 2013 Peninjauan Kembalinya ditolak Mahkamah Agung dan diputus dengan hukuman 4 (empat) bulan penjara. Sebelumnya juga ada kasus-kasus lain, seperti DA yang telah dijatuhi hukuman 6 (enam) tahun penjara, serta TM yang dijatuhi hukuman tahanan rumah selama 30 (tiga puluh) hari, di rumah tempat tinggal TM dan suami. Padahal rumah tersebut demi menghindari kekerasan suami, telah ditinggalkan TM dan anak-anak, mereka tinggal di Rumah Aman untuk para korban KDRT dengan status dalam perlindungan LPSK.
Situasi kriminalisasi ini terjadi karena aparat penegak hukum (APH) dalam menerapkan UU PKDRT justru belum menjalankan perintah UU PKDRT, yaitu untuk melakukan analisis hubungan timpang antara suami-istri yang mengakibatkan terjadinya siklus kekerasan di dalam pasangan tersebut dalam penanganan perkara. Perkara KDRT kerap diperlakukan sebagaimana kasus kriminal lainnya dimana APH hanya menggunakan perspektif normatif dan mendasarkan pada pemenuhan unsur-unsur delik pidana dan pengumpulan saksi serta alat bukti. Karena itu, ketika terjadi pelaporan balik oleh pihak suami yang sebelumnya telah melakukan kekerasan, APH meletakkan posisi perempuan korban justru sebagai pelaku kekerasan tanpa mengindahkan fakta kekerasan gender dalam relasi rumah tangga. Situasi ini tampak dalam proses peradilan dari sejak tingkat penyidikan hingga putusan pengadilan. Singkatnya, kriminalisasi perempuan korban KDRT merupakan bentuk diskriminasi terhadap korban dan melanggengkan praktik pelanggaran hak perempuan di ranah privat.
Melihat fakta tersebut, Komnas Perempuan berpendapat bahwa kriminalisasi korban KDRT melalui UU PKDRT harus dipahami sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang sangat serius. Situasi ini bertentangan dengan jaminan hak konstitusional, khususnya Pasal 28 I Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sistem Peradilan yang tidak mempertimbangkan situasi dan kondisi perempuan korban KDRT rentan akibat diskriminasi gender adalah tindakan yang melanggar Pasal 2 huruf (c) CEDAW yang telah menjadi bagian dari hukum nasional melalui UU No. 7 Tahun 1984.
Berdasarkan hal tersebut, agar tidak terjadi keberulangan kriminalisi dan/atau diskriminasi terhadap perempuan dan anak korban KDRT, maka Komnas Perempuan meminta:
1. Pimpinan institusi dan aparat penegak hukum harus berkomitmen untuk segera menghentikan praktik kriminalisasi korban dan berpegang teguh bahwa KDRT adalah kejahatan kemanusian.
2. Pemerintah dan institusi APH bekerjasama untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan APH tentang HAM dan Gender sebagai instrumen dan atau analisis hukum dan analisis sosial penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kasus KDRT.
3. Pimpinan di institusi Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung R.I segera melakukan koordinasi guna menghentikan kriminalisasi korban KDRT dengan menggunakan UU PKDRT dalam kerangka Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan.
4. Institusi APH bersungguh-Sungguh membangun mekanisme perlindungan, di institusi masing-masing maupun sistem rujukan di antara mereka
5. Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial melakukan pemantauan secara terus menerus perilaku Polisi, Jaksa dan Hakim dalam memeriksa korban KDRT yang diproses sebagai tersangka dalam rangka memastikan pengadilan nasional memberikan perlindungan hukum dalam menghapuskan diskriminasi.
6. Kementerian Pendidikan agar mengembangkan pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM) dan gender bagi tenaga pengajar untuk meningkatkan pemahaman di lingkungan institusi pendidikan
7. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I memastikan para pihak, khususnya Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Mahkmah Agung R.I mengimplementasikan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Penanganan Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam penanganan korban sebagai tersangka kekerasan akibat pelaporan balik.