Peserta Workshop Pers Kampus Meliput Isu Keragaman di depan Sinagog Tondano, Minahasa (21/5)
Kehadiran Yahudi di Indonesia tidak diketahui bayak orang. Namun, siapa sangka mereka membaur di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah keberadaan mereka yang hidup bersama sebagai warga Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.
Ternyata terdapat beberapa penganut agama Yahudi di salah satu daerah di Tondano. Keberadaannya didukung dengan tempat ibadah yang lazim disebut Sinagog dan pemuka agama yang mereka namai Rabi.
Dilihat dari sejarahnya, layaknya agama lain, Yahudi juga bukanlah agama lokal Indonesia. “Agama ini berkembang di Indonesia karena ada orang Yahudi dari Belanda, Inggris, dan Portugis yang datang ke Indonesia,” kata Yaacov Baruch (33) selaku Rabi setempat, di atas mimbar Shaar Hashamayim Synagogue Sabtu sore (21/5/2016).
Menurutnya, pada saat penjajahan, agama ini ada di beberapa daerah seperti Aceh, Surabaya, Jakarta, dan Manado. Jumlah mereka saat itu pun mencapai puluhan ribu orang. Namun, kini jumlah tersebut menyusut hingga kurang lebih 1000 penganut.
Hal ini memperlihatkan bahwa ada permasalahan yang hadir di tengah kehidupan umat Yahudi. Dari paparan Rabi Yaacov, permasalahan itu justru datang dari leluhur mereka terdahulu.
“Selepas kemerdekaan, pendahulu kita tidak mendaftarkan agama ini ke pemerintah, sehingga ada beberapa dampak yang ditimbulkan,” ungkapnya. Dampak ini menyasar eksistensi umat Yahudi dalam kehidupan bernegara.
Problem Adminduk
Dampak paling utama adalah tidak adanya pengakuan yang sah terhadap agama ini. Agama Yahudi bukan salah satu agama resmi yang diakui pemerintah Indonesia layaknya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Menurut Rabi Yaacov, akibat dari tidak adanya pengakuan ini adalah tidak difasilitasinya hari-hari besar yang mereka miliki oleh pemerintah. Sampai sekarang pemerintah tidak memberikan pengakuan yang sah terhadap hari besar mereka.
Akibat selanjutnya, sambung Yaacov, tidak tersedianya pilihan Yahudi pada kolom agama di Kartu Tanda Penduduk. Di sisi lain, mereka sebagai penduduk Indonesia juga tidak bisa memilih untuk mengosongkan kolom agama karena hal itu akan sangat menyulitkan mereka, terutama ketika mengurus administrasi kependudukan (Adminduk) untuk keperluan yang terkait dengan pemenuhan hak-hak warga negara. Sehingga, pemeluk agama ini harus mengisi kolom tersebut dengan agama lain yang mereka pilih.
Tak dapat dipungkiri, nihilnya pengakuan dari pemerintah membuat pemeluk Yahudi susah memperoleh dokumen legal. Turunan dari hal tersebut ungkap Rabi Yaacov, selama ini umat Yahudi sulit mendapatkan pengakuan atas pernikahan, kelahiran, dan juga kematian dari negara. Ia juga menambahkan bahwa mereka harus mengadakan lebih dari satu kali pesta pernikahan. Setelah melakukan prosesi sesuai dengan agamanya, mereka juga melakukan pernikahan layaknya agama lain.
“Jadi setelah melakukan pernikahan layaknya Yahudi, kami juga melakukan pernikahan seperti Kristen ataupun akad nikah seperti umat Islam agar memperoleh pengakuan dari negara,” ungkapnya.
Absennya Yahudi dari enam besar agama yang diakui di Indonesia, membuat eksistensinya meredup, bahkan tenggelam. Banyak masyarakat yang belum paham tentang Yahudi dan tidak mengetahui keberadaannya. Tenggelamnya Yahudi dari perbincangan pascakemerdekaan membuat mereka harus mengenalkan agama ini dari awal. “Sekitar 20 tahun yang lalu ketika kami memulai membangun kembali, banyak masyarakat yang tidak paham karena sebelumnya agama ini kurang eksis,” tutur Rabi Yaacov.
Hilangnya Yahudi dari perbincangan masyarakat Indonesia membuat pemeluknya yang terdahulu banyak berpindah ke agama lain. Mereka memilih untuk menganut agama yang sudah diakui di Indonesia. Menurut Rabi Yaacov ketika mereka mulai mendata jumlah umat Yahudi yang ada di Indonesia, banyak ditemukan bahwa orang keturunan Yahudi telah memeluk agama lain.
Damai dalam Perbedaan
Kendatipun menjadi agama yang minoritas, khususnya di Tondano, tidak ada perasaan tidak nyaman yang dirasakan oleh pemeluknya. Olva Pinontoan (32), salah satu pemeluk agama Yahudi, menuturkan bahwa ia sangat nyaman berada di tengah mayoritas masyarakat yang notabene menganut agama Kristen. Ova bahkan menegaskan bahwa beberapa warga kerap membantu pengunjung-pengunjung yang hendak ke Sinagog.
Pun ketika mendapatkan undangan menghadiri acara keagamaan agama lain, Ova juga akan menghadirinya. “Kita hidup saling mengormati saja. Bukan berarti karena saya tak beragama Kristen, lalu saya tak hadir dalam undangan acara-acara mereka,” paparnya.
Meski demikian, Ova terkadang dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Saat ia diundang dalam acara yang dilaksanakan oleh agama Kristen, makanan yang tersedia adalah makanan yang dilarang dalam ajaran Yahudi. Sebab ajaran Yahudi sangat ketat dalam mengatur makanan-makanan yang boleh dikonsumsi umatnya.
Namun begitu, ia tak ingin membuat orang yang telah mengundangnya kecewa serta sakit hati. Sebagai jalan keluarnya, ia harus memilih makanan yang dibolehkan untuk dimakan dalam ajaran Yahudi.
Bagaimanapun Ova sadar betul, ia hidup di tengah masyarakat yang multikultur. Orang-orang yang ada di sekitarnya bukan hanya orang dengan keyakinan yang sama. Jadi ia harus tetap menjaga toleransi dan komunikasi yang baik satu sama lain.
Saat ini, kata Ova, penganut Agama Yahudi di Manado sekitar 50 orang. Mereka memiliki komunikasi yang sangat baik dengan warga yang tidak memeluk agama Yahudi.
“Beragama itu suatu kebebasan untuk semua orang, kita tak perlu menuntut orang lain untuk beragama seperti kita. Yang terpenting kita saling menghormati, karena semua kebenaran yang tahu hanya Tuhan,” kata Ova.
Menilik konflik agama yang banyak terjadi di Indonesia, Ova berharap agar pemeluk masing-masing agama memiliki toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Pasalnya, sambung Ova, toleransi sangat dibutuhkan dalam menjalin komunikasi dengan banyak orang. Sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dan menimbulkan stigma yang buruk. Seperti stigma yang selama ini muncul di benak banyak orang yang beranggapan bahwa Yahudi itu buruk.
Menanggapi kesalahpahaman masyarakat Indonesia terhadap agama Yahudi, Rabi Yaakov menyayangkan beredarnya informasi-informasi yang tidak benar yang memojokkan penganut Yahudi. “Banyak yang anti dengan Yahudi karena dendam terhadap penjajah,” kata Rabi Yaacov.
Tak hanya itu, anggapan banyak orang tentang Israel yang menjadi salah satu negara yang memiliki pemeluk agama Yahudi terbesar juga buruk. Orang Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam menganggap akses mereka untuk ke Israel sangat terbatas. Namun, hal itu tidak sepenuhnya benar.
Yobbi Ehsel (55) yang sama-sama Rabi di Sinagog Shaar Hashamayim Tondano mengatakan bahwa banyak orang yang sebenarnya belum tahu tentang fakta di Israel. Menurutnya banyak sekali orang yang hanya mendengar desas-desus yang tidak sesuai dengan kenyataan. Padahal, banyak orang Islam Indonesia yang melakukan umrah kemudian mengunjungi masjid al-Aqsa. Mereka bisa dan mudah berkunjung ke sana dengan terlebih dahulu memasuki Israel.
“Tetangga saya yang baru saja kembali dari sana membantah isu sulitnya masuk ke Israel. Ia mengatakan kalau penerimaan masyarakat Israel terhadap Islam sangat baik,” pungkasnya.
*** Tulisan ini adalah tugas liputan Workshop Pers Kampus: Meliput Isu Keragaman kerjasama LPM Inovasi Universitas Samratulangi, Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF), dan SEJUK 20 – 22 Mei 2016 di Manado
Tim penulis:
Kiri ke kanan Ni Luh Putu Juli Wirawati (BALAIRUNG Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Ika Puspitasari (INSTITUT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Ritly Ratubala (UKM PERS Politeknik Negeri Manado), Muh. Nuriman Husain (VOICE OF COMMUNICATION Universitas Negeri Gorontalo), dan Muhammad Chairudin (INOVASI Universitas Samratulangi Manado)