Minggu, Agustus 3, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Siaran Pers

Komnas Perempuan: UU Adminduk Tahun 2006 Diskriminatif!

by Redaksi
27/11/2013
in Siaran Pers
Reading Time: 3min read
Ayo, Jangan Diam Hadapi Intoleransi!
Share on FacebookShare on Twitter

Pernyataan Sikap

Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan 

Jakarta, 27 November 2013

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan bahwa negara terus melanggengkan pelembagaan diskriminasi terhadap warga negara berdasarkan agama/kepercayaan. Salah satunya ditunjukkan dengan tidak adanya terobosan dalam pengaturan pencatatan kependudukan. Menteri Dalam Negeri, sebagaimana dikutip oleh berbagai media massa (26/11/2013), menyebutkan bahwa hanya 6 agama resmi yang boleh ditulis dalam e-KTP, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Khonghucu. Bagi pemeluk agama lain dan kepercayaan,  mereka tetap memperoleh e-KTP dengan kolom agama dikosongkan. Pengaturan ini merujuk pada UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Peraturan serupa ini, baik UU maupun aturan pelaksanaanya, jelas menghalangi negara menjalankan mandat Konstitusi untuk melindungi hak asasi warga negara, utamanya hak kemerdekaan tiap-tiap warga negara untuk memeluk agama dan menganut kepercayaannya, hak untuk bebas dari diskriminasi, dan hak untuk berkesamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan.

Komnas Perempuan mengingatkan bahwa peraturan yang diskriminatif itu menempatkan warga negara rentan diskriminasi, kriminalisasi dan kekerasan. Komnas Perempuan, karenanya, menilai peraturan ini menunjukkan negara lalai dalam mengenali persoalan sosial politik bangsanya. Dalam konteks Indonesia, atheisme diasosiasikan dengan komunisme dan kedua paham ini dilarang karena dianggap bertentangan dengan ideologi negara. Karenanya, warga negara yang KTP-nya mencantumkan kolom agama yang dikosongkan rentan dituduh atheis dan dapat dikenakan hukuman penjara. Ia juga rentan stigmatisasi di dalam masyarakat, yang dapat menghalanginya untuk mengakses layanan publik dan program-program pemerintah lainnya. Bahkan, di tengah meningkatnya politisasi agama, aturan yang menumbuhsuburkan stigmatisasi tersebut menempatkan warga negara rentan diserang dan mengalami penganiayaan.

Bagi perempuan, situasi ini memiliki dampak kerugian berlipat kali. Pertama, perempuan yang kolom agamanya dikosongkan gampang dituduh sebagai perempuan amoral. Hal ini berkait erat dengan kampanye hitam terhadap GERWANI yang dituduh melakukan penyiksaan seksual terhadap para Jenderal dalam peristiwa 30 September 1965. Stigma amoral ini menempatkan perempuan rentan penganiayaan, pelecehan seksual dan serangan seksual lainnya. Kedua, sebagaimana disampaikan oleh perempuan penghayat kepada Komnas Perempuan, pencatatan berbeda ini menyebabkan mereka juga kesulitan mendaftarkan perkawinannya. Lalu, anak-anak yang lahir dari perkawinan itu memperoleh akte kelahiran yang berbeda, yaitu tidak menyebutkan nama ayah. Akibatnya, anak-anak tersebut juga harus menanggung beban stigma anak yang lahir dari “perempuan nakal”.

Komnas Perempuan berpendapat bahwa seluruh persoalan di atas tidak terlepas dari masih diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Memang Mahkamah Konstitusi dalam putusan sidang pengujian UU tersebut berpendapat bahwa penyebutan agama-agama dalam penjelasan UU tersebut “hanyalah pengakuan secara faktual dan sosiologis keberadaan agama-agama di Indonesia pada saat UU Pencegahan Penodaan Agama dirumuskan.”  Namun, aturan pencatatan kependudukan yang menjadi sarana pelembagaan diskriminasi berbasis agama/kepercayaan tersebut di atas membuktikan kembali peringatan yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida dalam dissenting opinon atas keputusan sidang pengujian atas UU tersebut, bahwa:

“Walaupun dalam Undang-Undang a quo tidak menyebutkan adanya enam agama yang “diakui” oleh negara, namun di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan telah terbukti bahwa yang diberikan jaminan dan perlindungan serta bantuan-bantuan hanya keenam agama tersebut.”

Komnas Perempuan, karenanya, merekomendasikan:

  1. Presiden memerintahkan Menteri Dalam Negeri selaku Pembantu Presiden untuk membuat aturan pelaksana pencatatan kependudukan yang tidak membedakan warga negara atas dasar agama/kepercayaan dan yang menyebabkan warga negara rentan kriminalisasi, diskriminasi dan kekerasan;
  2. Presiden selaku Kepala Negara memerintahkan ditiadakannya kolom agama dalam KTP, demi tegaknya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, jika rekomendasi butir a tidak dapat dilaksanakan segera, yaitu hingga akhir tahun 2013;
  3. DPR RI untuk melakukan kajian ulang dan mengubah UU Administrasi Kependudukan agar berkesesuaian dengan mandat Konstitusi untuk penegakan Hak Asasi Manusia, tanpa kecuali;
  4. Presiden dan DPR RI mengupayakan pemulihan bagi korban, termasuk rehabilitasi atau pemulihan nama baik dari pemeluk agama/kepercayaan yang dirugikan akibat peraturan diskriminatif selama ini.

 

Komisioner Komnas Perempuan:  

Andy Yentriyani, Ketua Sub Komisi Partisipasi Masyarakat

Tumbu Saraswati, Gugus Kerja Pekerja Migran

Husein Muhammad, Ketua Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional

Tags: Headline
Previous Post

Cabut Kebijakan Diskriminatif terhadap Perempuan!

Next Post

Politik belah bambu nodai keberagaman

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ahmadiyah

Global Peace Foundation Indonesia Gelar Peace! Project: Membangun Harmoni dalam Keberagaman

21/05/2025
Jelang 17 Agustus Ahmadiyah Dilarang Gelar Bazar Kemerdekaan, YLBHI: Ini Pelanggaran Konstitusi RI

Jelang 17 Agustus Ahmadiyah Dilarang Gelar Bazar Kemerdekaan, YLBHI: Ini Pelanggaran Konstitusi RI

10/08/2024
Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Muslim Indonesia Terhadap Lingkungan serta Perubahan iklim

Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Muslim Indonesia Terhadap Lingkungan serta Perubahan iklim

24/07/2024
Dijegal Menjadi Kepala Daerah, Elemen Gerakan Perempuan Aceh Menegaskan: Partisipasi Perempuan dalam Pilkada adalah Hak Konstitusional

Dijegal Menjadi Kepala Daerah, Elemen Gerakan Perempuan Aceh Menegaskan: Partisipasi Perempuan dalam Pilkada adalah Hak Konstitusional

23/07/2024
Next Post
Korban Pelanggaran HAM se-Indonesia Berbagi Cerita

Politik belah bambu nodai keberagaman

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ribuan Mangrove untuk Masa Depan: Seruan Darurat Lintas Iman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Di Ranah Minang Gereja Dilarang Didirikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Biarkan PPHAM Berjuang dalam Ancaman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In