Menurunnya angka diskriminasi, intoleransi dan kekerasan atas nama agama sepanjang tahun 2013 belum dinilai The Wahid Institute (WI) menjadi keberhasilan pemerintah. Hasil pemantauan lembaga yang didirikan mendiang Gus Dur ini menyimpulkan bahwa perbaikan kualitas dan jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) oleh negara belum menunjukkan perubahan signifikan.
Bahkan, pantauan WI mencatat ada tiga menteri yang menjadi pelaku pelanggaran. Karena itu pula peneliti WI M. Subhi Azhari dalam acara Peluncuran dan Seminar Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 2013 di Balai Kartini, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Senin (20/1), sangat menyayangkan ketidakmauan aparat pemerintah di segala sektor untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran KBB. Pelaku dari negara masih banyak. Subhi memaparkan, “Pemerintah kabupaten/kota menempati peringkat paling atas dengan 32 pelanggaran disusul aparat kepolisian sebanyak 30.”
Memang, dari segi kuantitas, 245 jumlah kasus KBB tahun 2013 sebagaimana dilansir WI menyusut jika dibandingkan tahun 2012 sebanyak 278 kasus. Tiga tahun sebelumnya WI menemukan 121 (2009), 184 (2010), dan 267 (2011) kasus.
Laporan WI yang menunjuk pemerintah belum serius mengatasi kasus KBB direspon dengan nada gusar oleh Wakil Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Muhammad Choirul Anam. Sebagai salah satu penanggap laporan WI, pada kesempatan itu ia mengingatkan bahwa para bupati dan walikota tidak bisa seenaknya membuat kebijakan atau regulasi diskriminatif yang merampas hak-hak warga negara dalam beragama, berkeyakinan dan menjalankan ibadah.
Untuk itu ia menegaskan, “Pembatasan kebebasan beragama dan berkeyakinan hanya bisa melalui undang-undang. Itu yang diamanatkan konstitusi.” Penerbitan aturan atau keputusan pemerintah daerah, pemberlakuan Surat Keputusan Bersama (SKB) ataupun Peraturan Bersama (Perber) untuk mengurangi bahkan meringkus hak dan kebebasan beragama menyalahi konstitusi. “Silakan aparat-aparat itu lihat Pasal 28 J!” tantangnya.
Ia juga menyoroti Polri yang kerap mendasarkan praktik kriminaslisasi atas nama agama kepada kalangan minoritas dari fatwa MUI. “Hendaknya polisi patuh pada hukum, bukan MUI!” kritik Anam.
Dituduh Polri tidak profesional, Brigadir Jenderal Polisi Boy Rafli Amar yang juga menjadi penanggap mengatakan bahwa penegakan hukum yang rasional adalah dasar aparat kepolisian mengatasi masalah-masalah sosial dan kebudayaan yang terkait dengan agama. “Tetapi karena ini persoalan yang sensitif dan rawan, dalam menegakkan hukum polisi bekerjasama dengan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk berkoordinasi dengan alim ulama. Tentu saja, di antaranya MUI agar pengaruhnya bisa membantu mencegah umatnya melakukan intoleransi dan kekerasan atas nama agama,” kilahnya.
Terkait masih banyaknya regulasi diskriminatif di daerah-daerah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Republik Indonesia (Karopenmas Divhumas Polri) yang menjadi wakil pemerintah pada acara itu mengajak para kepala daerah agar berlaku adil, berdiri di atas semua pihak untuk menjamin seluruh hak-hak warga negara.
Himbauan melegakan dari Boy Rafli Amar ini semoga saja tidak sekadar retorika, sehingga bisa diharapkan mengantisipasi gejala meningkat dan terus bertumbuhya intoleransi di masyarakat. Kecenderungan masyarakat Indonesia yang intoleran ini oleh beberapa peserta seminar dianggap sudah kelewat meresahkan banyak kalangan. Hal serupa dirasakan semua narasumber. Mereka satu persepsi: kekerasan atas nama agama itu berbahaya, tetapi jauh lebih berbahaya merebaknya intoleransi agama di masyarakat. (Thowik SEJUK)