Sabtu, Agustus 2, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Nyanyian Pilu Kong Joksan Tentang Kebebasan Berekspresi Etnis Tionghoa

by Redaksi
10/04/2014
in Uncategorized
Reading Time: 2min read
Nyanyian Pilu Kong Joksan Tentang Kebebasan Berekspresi Etnis Tionghoa
Share on FacebookShare on Twitter

Bagus Prihantoro Nugroho – detikNews

Kong Joksan

Jakarta – Delapan belas bilah bambu berjejer di atas kotak kayu besar berwarna merah. Diketuk-ketuknya bilah-bilah bambu yang ukurannya berbeda itu oleh Kong Joksan (71), sehingga terdengarlah musik gambang mengalun merdu.

Gambang milik Kong Joksan masih berlaras pentatonik, sehingga alat itu berjenis ritmik. Tak lengkap jika alat musik ritmik tak mengiringi melodis ataupun nyanyian suara hati. Ketika itulah sambil Kong Joksan bercerita.

“Dulu waktu zaman Pak Harto memang seni tradisional seperti ini sangat dihargai. Tapi etnis Tionghoa seperti kami biasanya dibatasi ekspresinya. Main gambang kromong ataupun tari cokek boleh, tapi main barongsai atau liong tidak boleh,” ungkap Kong Joksan diiringi merdu suara gambang di Jl. Kampung Melayu, Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Senin (24/3/2014).

Untunglah komunitas Tionghoa memiliki hubungan erat satu sama lain. Cukuplah tampil di komunitas sendiri ketika imlek datang dapat mengobati kebebasan mereka yang sakit karena dibatasi.

Mereka pun tak dibolehkan memakai nama dari bahasa Mandarin sehingga harus mengganti nama mereka.

“Padahal kalau dirunut lagi seni Tari Cokek dan Gambang Kromong itu asalnya dari Tiongkok. Waktu itu ketika pedagang asal sana pada kemari, seni ini diperkenalkan. Makanya di Gambang Kromong ada alat musik Tehyan, yang digesek. Lalu Tari Cokek juga asal katanya Cukian,” ucap Kong Joksan menerangkan.

“Tapi setelah zaman Gus Dur itu kami boleh keluar bebas. Kami bebas berekspresi, tak ada diskriminasi. Tambah lagi musik tradisional juga masih sering tampil pas zaman itu,” kata Kong Joksan.

Terhenti sejenak, Kong Joksan memainkan gambang berwarna merah yang tadi dia mainkan. Kemudian dia bertutur lirih soal kebudayaan tradisional yang kian terkikis zaman.

“Zaman setelah Gus Dur itu makin dicuekin seni tradisional. Mungkin dipikirnya kalau seni itu bukan bagian dari pembangunan, jadi dikesampingkan. Apalagi zaman sekarang makin parah lagi, yang barat-barat terus yang main di mana-mana,” kata Kong Joksan.

“Padahal kalau seni tradisional itu biasanya maknanya dalam, nggak dangkal kayak lagu-lagu zaman sekarang yang kebanyakan ini. Banyak pelajaran budi pekerti dari situ, jadi sudah seharusnya dibangkitkan lagi,” tutur dia yang mulai kembali memukulkan gambang merdu bertuliskan ‘Naga Jaya’.

 

Sumber:http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/04/07/133754/2547688/1567/nyanyian-pilu-kong-joksan-tentang-kebebasan-berekspresi-etnis-tionghoa?9922022

 

Tags: Headline
Previous Post

Sebagian warga Sampang tanpa undangan pemilu

Next Post

Sumarsih: Aktivis HAM Mendamba Pemimpin yang Jujur

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post
Sumarsih: Aktivis HAM Mendamba Pemimpin yang Jujur

Sumarsih: Aktivis HAM Mendamba Pemimpin yang Jujur

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ribuan Mangrove untuk Masa Depan: Seruan Darurat Lintas Iman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Di Ranah Minang Gereja Dilarang Didirikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Biarkan PPHAM Berjuang dalam Ancaman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In