Siaran pers
Atas Tindak Perkosaan Berkelompok terhadap Perempuan Terduga Pelanggar Aturan Daerah di Langsa, Aceh (01/05/2014)
Prioritaskan Pemulihan Korban dan Proses Hukum Pelaku Perkosaan, Bongkar Akar Kekerasan Berulang di Aceh
Jakarta, 9 Mei 2014
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengecam kebiadaban tindak perkosaan berkelompok (gang rape) dalam aksi main hakim sendiri masyarakat di Gampong Lhok Bani Kota Langsa (1/05/2014). Perkosaan dilakukan oleh 8 orang, salah satunya masih berusia anak 13 tahun, terhadap Y, perempuan yang dituduh melakukan pelanggaran atas aturan daerah tentang khalwat/mesum. Komnas Perempuan memperingatkan semua pihak untuk memprioritaskan pemulihan perempuan korban, upaya penegakan hukum, memutus impunitas pelaku kekerasan dan mengurai akar masalah dalam menyikapi persoalan ini.
Perkosaan adalah tindak kejahatan luar biasa yang berakibat trauma berkepanjangan dan bahkan mampu menghancurkan diri dan kehidupan korban. Upaya pemulihan hak-hak korban, karenanya, membutuhkan dukungan banyak pihak. Hal ini dapat diperoleh dengan penerapan pendekatan layanan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT). Sistem ini memberikan perlakuan khusus dan kemudahan bagi korban dalam mengakses keadilan, melalui koordinasi layanan pemulihan komprehensif yang melibatkan lintas sektor, seperti layanan medis, psikologi, bantuan hukum dan pendampingan,serta jaminan perlindungan memadai dari perlakuan diskriminasi hukum dan ancaman yang membuat korban takut memberikan keterangan atas perkosaan yang dialaminya. Koordinasi akan efektif terbentuk bila berpijak pada pengalaman korban dengan tidak menyalahkan korban. Perkosaan yang dialami Y sebagai perbuatan yang harus diberantas. Latar peristiwa tidak dapat dijadikan alasan pembenar melainkan disikapi sebagai bentuk penghukuman tidak manusiawi yang tidak dapat ditolerir.
Berkaitan dengan itu, Komnas Perempuan mengingatkan bahwa Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memandatkan pemerintah daerah setempat memastikan perlindungan bagi perempuan. Sebagai turunannya, peraturan daerah Aceh tentang Perlindungan Perempuan (Qanun No. 6 Tahun 2009), Pemerintah Daerah di semua tingkat berkewajiban memastikan bantuan pengamanan, konsultasi dan bantuan hukum serta pendampingan psikosial bagi perempuan korban. Untuk itu, Komnas Perempuan mendorong Pusat Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Langsa menyelenggarakan koordinasi yang dimaksudkan di atas untuk memastikan akses korban pada keadilan.
Komnas perempuan juga mendukung langkah kepolisian untuk segera melakukan penyelidikan atas kasus perkosaan berkelompok ini. Komnas Perempuan mendesak kepolisian agar mengusut tuntas dan memastikan proses hukum bagi semua pelaku. Hal ini mengingat bahwa pada kasus sebelumnya (2010), sebagian pelaku perkosaan terhadap tahanan perempuan yang diduga melakukan pelanggaran aturan daerah di Langsa masih melenggang bebas. Demi kewibawaan hukum dan keadilan, Komnas Perempuan berharap langkah proaktif Kepolisian juga akan diikuti oleh pihak Kejaksaan dan Pengadilan dalam memastikan proses hukum bagi pelaku dengan ancaman hukuman maksimal.
Perkosaan berkelompok ini adalah puncak dari pembiaran aksi main hakim sendiri atas nama penegakan Syariat Islam dan/atau otonomi khusus Aceh yang telah berulangkali terjadi. Dalam aksi tersebut, kekerasan terhadap perempuan menjadi bagian inheren; ini juga bukan pertama kalinya perkosaan menjadi bagian dari aksi main hakim sendiri tersebut. Komnas Perempuan mencermati bahwa hingga kini belum ada upaya sungguh-sungguh untuk mencegah aksi main hakim sendiri maupun penegakkan hukum yang menjerakan pelaku kekerasan. Sebaliknya, justru pelaku kekerasan kerap mendapat pembelaan dengan antara lain menggunakan pasal multitafsir di dalam aturan daerah tersebut tentang peran serta masyarakat.
Hasil pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan rentan terjadi dalam pelaksanaan kebijakan yang diskriminatif dan inkonstitusional atau bertentangan dengan Konstitusi. Hingga Maret 2014, Komnas Perempuan mencatat adanya 342 kebijakan diskriminatif, 334 diantaranya adalah kebijakan daerah. Dalam konteks Aceh, keberadaan kebijakan daerah yang diskriminatif tidak terlepas dari adanya pasal-pasal multitafsir dalam UU tentang Pemerintahan Aceh yang seolah membolehkan Pemerintah Aceh mengatur hukumnya sendiri meskipun bertolakbelakang dengan hukum nasional. Situasi ini selain melahirkan peraturan daerah yang menghadirkan kekerasan terhadap perempuan secara berlapis dalam pengaturan maupun praktiknya, serta juga akhirnya menggerogoti integritas hukum nasional.
Untuk penuntasan kasus dan agar kebiadaban serupa tidak berulang maupun ditolerir atas nama otonomi khusus, Komnas Perempuan:
– Memperingatkan semua pihak memprioritaskan langkah-langkah pemulihan korban dan proses hukum pelaku perkosaan, sebagaimana yang dijabarkan di atas;
– Mengingatkan pihak aparat penegak hukum hukum juga mempergunakan UU Peradilan Anak dalam penuntasan kasus perkosaan berkelompok ini dalam hal pelaku masih berusia anak
– Mengingatkan Pemerintah Kota Langsa untuk menjalankan kewajiban memastikan perempuan yang menghadapi masalah hukum diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma.
– Mengapresiasi inisiatif Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh untuk memfasilitasi dan melindungi perempuan korban dalam kerangka menjalankan kewajiban Pemerintah Aceh memastikan perlindungan bagi perempuan, termasuk untuk bebas dari penyiksaan dan penghukuman dan perlakuan tidak manusiawi lainnya;
– Mendorong Pemerintah Aceh untuk menjabarkan dengan jelas dan tegas batasan peran serta masyarakat
– Mendukung Pemerintah Aceh mengembangkan dan melaksanakan langkah pencegahan dan penanganan aksi main hakim sendiri dalam penyelenggaraan aturan daerah, dengan perhatian khusus pada kerentanan anak diajak menjadi pelaku kekerasan;
– Mendukung upaya Pemerintah Aceh menata ulang kerangka penyelenggaraan otonomi khusus yang berpijak pada penghormatan pada harkat, martabat dan hak-hak asasi manusia sebagai bagian tidak terpisahkan dari nilai-nilai agama demi menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Aceh, tanpa terkecuali, sebagaimana yang menjadi cita-cita dari Perjanjian Damai.
– Mendesak Kementerian Dalam Negeri untuk segera mengklarifikasi dan membatalkan peraturan daerah yang diskriminatif, termasuk di Aceh, dalam kerangka menegakkan Konstitusi di era otonomi daerah maupun otonomi khusus;
– Mengajak Mahkamah Agung segera mengambil langkah proaktif untuk mengoreksi peraturan daerah Aceh dalam kerangka menegakkan kewibawaan dan integritas hukum nasional;
– Menegaskan bahwa Pemerintah Nasional perlu segera melakukan kajian serius dan memperbaiki kerangka otonomi khusus Aceh agar tidak menciderai rasa keadilan, menyimpang dari mandat Konstitusi dan kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Langkah ini perlu menjadi agenda prioritas Presiden dan DPR RI, baik yang masih menjabat maupun yang terpilih dari PEMILU 2014.