Siaran Pers
Bupati Ciamis Memperuncing Konflik Agama di Ciamis
Jemaat Ahmadiyah Indonesia terus mendapat tekanan. Kali ini menimpa Jemaat Ahmadiyah Ciamis, Jawa Barat. Tekanan bukan hanya datang dari massa intoleran, namun juga dari pejabat pemerintah yang mestinya memberikan perlindungan kepada warganya ; Bupati Ciamis.
Senin, 23 Juni 2014, di Ciamis berlangsung pawai Ta’aruf. Pawai ini juga berlanjut di Tasikmalaya dan Garut. Ta’aruf dalam bahasa Indonesia berarti perkenalan. Sekitar 300-an massa Front Pembela Islam meramaikan pawai tahunan ini. Sangat disesalkan, bahwa dalam pawai ini selain mereka mengusung agenda penyambutan bulan Ramadhan dan deklarasi Capres, FPI juga memiliki agenda khusus, yaitu penutupan Masjid Ahmadiyah Ciamis pada awal pawai.
Agenda ketiga tidak terjadi. Setelah mendapat kabar penutupan masjid itu, jemaat Ahmadi bergegas mengajukan permohonan perlindungan ke Kepolisian Sektor Ciamis. Beberapa polisi dari Polsek Ciamis termasuk Kapolsek berjaga di Masjid Ahmadiyah. Namun di akhir pawainya, FPI berorasi, berunjukrasa di pendopo, meneriakkan agar Masjid Ahmadiyah Ciamis disegel. Unjukrasa disambut langsung oleh Bupati Ciamis. Dalam statmennya di depan massa FPI, Bupati Ciamis menyatakan bahwa ia secara pribadi menolak Ahmadiyah. Ia meminta kepada FPI agar bersabar, sebab untuk melakukan penutupan masjid terdapat prosedur yang harus ditempuh.
Pernyataan Bupati Ciamis itu jelas tidak bisa dikategorikan sebagai statmen pribadi. Namun statmen yang sangat berbahaya dari seorang kepala daerah yang dapat berimplikasi terhadap praktek penyebaran kebencian dan terintimidasinya minoritas Ahmadiyah, terutama di Ciamis.
Pernyataan Bupati Ciamis bukanlah solusi dari kanflik yang ada. Justru sebaliknya akan menyuburkan konflik yang sedang terjadi. Pernyataan Bupati Ciamis tersebut, sekali lagi, dapat menyulut aksi yang lebih luas dari kelompok intoleran. Kelompok intoleran merasa mendapat amunisi.
Sebagai pelayan masyarakat, seorang Bupati mestinya bersikap dan menunjukkan keseriusannya dalam melindungi warganya yang menghadapi tekanan atau bahaya dari kelompok lain. Ia harus mampu memberikan jaminan dan perlindungan tiap warganya untuk menjalankan agama atau kepercayaannya masing-masing, sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi UUD 1945. Sebagai Kepala Daerah, Bupati juga harus menjalankan kewajibannya sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yaitu melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU 32/2004 menegaskan pula bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, seorang kepala daerah mempunyai kewajiban untuk memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sekali lagi, pemakluman Bupati/ pejabat pemerintah melalui pernyataannya (condoning) tersebut, sangat berbahaya dan dapat merusak kerukunan antar umat beragama. Oleh karena itu Koalisi Pemantau Peradilan Kebebasan Beragama Berkeyakinan [KPP-KBB] mendesak agar :
1. Bupati Ciamis menghentikan praktek penyebaran kebencian melalui statmen-statmen yang berpotensi merusak kerukunan umat beragama, dan memperuncing konflik yang ada ;
2. Bupati Ciamis menarik kembali statmennya dan meminta maaf kepada Jemaat Ahmadiyah atas statmennya. Sebagai pejabat pemerintah harus melindungi semua warganya termasuk kelompok minoritas dengan tindakan, sikap, dan kebijakan yang mencerminkan penghormatan terhadap hak asasi manusia;
3. Kepolisian Resort maupun Sektor Ciamis terus meningkatkan fungsi perlindungan dan pengayoman terhadap kelompok Jemaat Ahmadiyah Ciamis;
4. Menteri Dalam Negeri memberikan himbauan dan teguran kepada Bupati Ciamis atas pernyataannya, dan agar tidak mengulangi praktek penyebaran kebencian, serta terus berupaya menjaga kerukunan umat beragama
Jakarta, 23 Juni 2014
Atas Nama Koalisi Pemantau Peradilan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan [KPP-KBB]